Rabu, 24 Juli 2019

MENEMANI CINTA DI LANGIT MERAH SAGA

Lelaki paruh baya itu duduk termenung di pinggir makam. Sejak aku datang dia sudah disitu. Aku belum menghiraukannya sampai aku selesai menjiarahi makam ibu angkatku. Karena mengenali sosoknya maka kuhampiri Ia ketika hendak beranjak pulang.

"Bang Iyan..." Sapaku seraya mendekatinya.

Ia menoleh pelan, dahinya mengernyit mencoba mengenaliku. Lalu parasnya berubah lebih cerah, sepertinya dia sudah mengingat ku.

"Hai...Nang!" Ia bangkit dan menyambut tangan ku yang terulur menyalaminya. Tangan kirinya buru-buru mengusap sisa air mata yang menggenang.

Aku duduk sejenak di pinggir makam dan berdoa. Makam istri Bang Iyan yang meninggal setahun lalu. Makam sederhana dengan rumput gajah mini diatasnya yang bersih dan terawat bertabur bunga mawar merah segar dari sang suami.

Setelah selesai aku mengajak Bang Iyan ke pondok dekat area pemakaman keluarga tak jauh dari situ. Pondok yang sengaja dibuat selain untuk penjaga makam juga tempat duduk-duduk berkumpul setelah berjiarah atau saat ada prosesi pemakaman. Pondok dari kayu-kayu bulat disusun kokoh yang diteduhi pohon Sonokeling dan dikelilingi taman penuh bunga warna-warni. Ada bangku-bangku gelondongan kayu dan batu-batu besar yang disusun cantik di halaman pondok untuk tempat duduk. Mang Koko, penjaga makam bergegas membuatkan kami kopi setelah sempat berbasa-basi sebentar dengan kami.

"Kapan kamu tiba, Nang?" Tanya Bang Iyan membuka percakapan seraya menyeruput kopi yang sudah dihidangkan Mang Koko.

"Tadi pagi, bang" jawabku.

Aku menceritakan perjalanan dinasku yang kali ini kebetulan melewati desa kami hingga aku menyempatkan diri untuk mampir bersilaturahmi dan berziarah sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi.

Bang Iyan manggut-manggut. Matanya terlihat menerawang jauh. Banyak yang berubah dari penampilannya. Wajahnya terlihat tirus dan muram namun terlihat lebih matang dan bijak. Tubuhnya yang dulu gempal juga agak kurus tapi terlihat sehat dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Rambutnya gondrong dikuncir. Semenjak mendengar kabar Teh Neneng meninggal baru kali ini aku bertemu dengannya. Aku tak sempat melayat dulu karena sedang bertugas di luar kota. 

"Abang kapan tiba dari Jakarta?"

"Sejak Neneng meninggal aku tak pernah kembali lagi ke Jakarta. Aku memutuskan menetap disini" jawabnya membuat ku heran.

Lelaki yang terbiasa hidup di kota besar, dengan usaha yang mapan, pergaulan luas, kenapa jadi betah tinggal di kota kecil  yang jauh dari hiruk pikuk kemewahan kota. Teh Neneng dan Bang Iyan tinggal dan bekerja di Jakarta. Kehidupan mereka sangat baik. Tapi mereka tersandung kasus narkoba. Mereka digrebek di rumahnya saat sedang menggunakan sabu. Kejadian yang sangat mengejutkan banyak orang, tetangga, teman dan kerabat, yang tak menyangka kalau mereka ternyata pemakai. Sempat dipenjarakan namun akhirnya menjalani rehabilitasi. Tak lama dari kejadian itulah kabarnya Teh Neneng sakit dan akhirnya meninggal.

"Aku minta maaf dulu tak sempat melayat saat Teteh meninggal" kataku.

"Iya, Bapakmu bilang kau sedang tugas ke luar kota. Beliau ada menyampaikan salam dari mu" Sahut Bang Iyan memaklumi. 

"Kenapa Abang tidak lagi kembali ke Jakarta?" Tanyaku penasaran.

Usaha mereka di Jakarta terbilang sukses. Rasanya sangat disayangkan kalau ditinggal. Walaupun di desa ini mereka juga punya beberapa lahan sawah dan perkebunan. 

"Kehidupan di desa lebih tenang. Dan aku senang bisa menemani Teteh disini" Jawab Bang Iyan dengan mata berkaca-kaca.

Aku menepuk-nepuk punggung tangannya. Sangat terasa olehku Bang Iyan masih berduka atas kehilangan Teh Neneng. Sebelum menikahi Teteh, anak sepupu ibu angkatku, Iyan adalah rekan kerjaku. Aku yang mengenalkannya pada Teh Neneng yang waktu itu sudah menjanda dua kali. Meskipun usia Iyan lima tahun lebih muda dari Teh Neneng tapi terbukti rumah tangga mereka awet dan baik-baik saja. Bahkan sejak bersuamikan Iyan usaha catering Teteh makin maju dan berkembang. Mereka bahkan merambah ke usaha event organizer dan penyewaan alat-alat perhelatan.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara isakan pilu Bang Iyan. Dia mencengkeram telapak tanganku seolah sedang bersusah payah menahan gejolak jiwanya. Bahunya terguncang menahan tangis.

"Kamu tahu, Nang,... Siapa yang melapor polisi hingga kami digrebek waktu itu?" Tanyanya berderai air mata.

Selintas aku mengingat kembali kejadian dulu. Transaksi pembelian narkoba yang dilakukan Teh Neneng termasuk sangat bersih. Terbukti dalam pengakuannya bahwa Ia sudah menjadi pemakai selama belasan tahun dan tidak pernah menimbulkan kecurigaan. Dalam pergaulan sehari-hari juga tak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan Ia seorang pemakai. Kalau bukan perbuatan seorang pengkhianat mungkin mereka tak pernah ketahuan. Tapi waktu itu berita yang disoroti hanya tentang seorang Neneng yang tak disangka-sangka adalah pemakai. Tak ada yang perduli siapa yang melaporkan atau bagaimana polisi akhirnya bisa tahu dan menggerebek rumah mereka di kawasan elit itu. Orang bergunjing Neneng pasti kena pengaruh suaminya hingga bisa kenal barang haram tersebut. Namun dalam proses pemeriksaan Neneng mengakui malah dia lah sebenarnya yang mengajak suaminya memakai narkoba. Berulang kali Iyan memintanya berhenti tapi tak diindahkannya. Neneng tak sanggup melepaskan diri dari jeratan barang haram itu. 

Aku menatap mata Iyan dalam-dalam. Tangisnya surut. Sebaris senyum getir menghiasi bibirnya. 

"Aku yang melaporkannya" suaranya bergetar lirih.

Aku terperangah tak percaya. Bagaimana bisa?? Aku tahu Iyan sangat mencintai Teh Neneng. Ia selalu memperlakukan istrinya dengan kasih sayang. Menjaga dan mengayomi.

"Aku seperti disambar petir ketika tahu Ia pecandu narkoba. Hati ku hancur. Aku marah dan kecewa. Aku memintanya berhenti. Kunasihati dengan lembut, kuajak rehabilitasi, tidak bisa. Ku diamkan dia, kujauhi, tetap tidak bisa. Kalau dia habis makai aku buang muka darinya, menghindar, bahkan kutinggal tidur sendiri. Sempat dia berjanji untuk berhenti tapi ternyata dia masih makai sembunyi-sembunyi di belakangku. Pas ketahuan, Aku berang, marah besar sampai meneriakinya. Kami bertengkar hebat. Selama ini aku tak pernah kasar padanya, tak pernah bersuara keras apalagi membentak, dia shock atas pertengkaran kami. Dia sakit, demam dan aku tak tahan hati melihatnya sakau. Akhirnya dengan putus asa kubiarkan saja dia pakai lagi. Bahkan kadang dia merengek manja minta ditemani dan kuturuti. Itu berlangsung beberapa bulan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melaporkannya."

"Tapi Abang juga terbukti pakai saat penggrebekan itu,...?" Tanyaku tak habis pikir.

"Supaya Neneng tidak curiga dan kalau aku juga ditangkap kami jadi bisa tetap bersama. Aku meminta pengacara untuk mengupayakan rehabilitasi. Kalau tidak dengan kejadian itu Neneng tak kan mau direhabilitasi. Neneng sulit untuk berhenti. Kadang seseorang harus dibenturkan dulu dengan masalah baru mau sadar."

Aku terhenyak mendengar kisah yang disampaikan Bang Iyan. 

"Neneng akhirnya direhabilitasi, tapi ternyata rasa malu membuatnya tertekan dan stress. Kesehatannya merosot tajam hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Dan akhirnya meninggal...." Dihembuskannya nafas perlahan seolah baru saja menyingkirkan beban berat yang menghimpit paru-parunya.

Kulihat cangkir kopi dalam cengkeraman tangannya bergetar tertahan.

"Dia yang ternyata sudah belasan tahun jadi pecandu, tapi malah mati karena rasa malu" bisik Bang Iyan dengan suara gemetar. Ditekapkan telapak tangannya menutupi wajah penuh sesalan. Seolah merasa bersalah atas tindakannya melaporkan Teh Neneng.

"Sudahlah, bang... Jangan disesali" hiburku sambil menepuk-nepuk bahunya.

Lama kami terdiam kehilangan kata-kata. Hingga matahari nyaris tenggelam menyisakan warna merah saga. Bang Iyan berpamitan. Kukira pamit pulang tapi ternyata bukan. Dengan langkah mantap dia menuju kembali ke makam Teh Neneng dan duduk disampingnya. Menurut Mang Koko hampir setiap senja Bang Iyan melakukan itu. Katanya Ia menemani Teh Neneng menikmati senja turun. Sesuai janjinya dulu pada Teteh.

Mang Koko juga cerita kalau  perawatan makam Teh Neneng ditangani langsung oleh Bang Iyan. Waktunya lebih banyak dihabiskan di area pemakaman keluarga ini. Membantu Mang Koko merawat tanaman dan membersihkan  pemakaman. Semua usahanya di Jakarta sudah diserahkan pada anak sulung Teteh. Bang Iyan melepaskan semua dan hidup sederhana di sebidang tanah tak jauh dari area pemakaman. Hidup dari hasil pertanian dan ternaknya.

Sebelum matahari benar-benar menghilang aku beranjak pulang. Masih sempat kulihat Bang Iyan yang duduk memeluk lutut menikmati hembusan angin sore yang semakin sejuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar