Rabu, 14 Juni 2017

SALAH KADO

#30HariMenulis - Day 14

"Dua hari lagi ulang tahun mama, ayo lah kak, bantu aku beli kado" rengek Yaya pada kakaknya.

"Mau beli kado apa dek?" tanya Lala.

"Aku mau beli dompet hp. Punya mama sudah mengelupas kulitnya" jawab Yaya.

"Baiklah, nanti kakak kasih uangnya. Kamu beli lah dan bungkus yang rapi"

Yaya melonjak gembira. Walau tidak ada perayaan dia selalu senang memberikan kado setiap kali Mama ulang tahun. Kado nya tidak harus mahal kadang hanya sebatang coklat pun jadilah.

Malam itu Lea sibuk mengutak-atik hp nya. Sepertinya ada yang salah. Hp yang biasa dipakainya tiba-tiba tidak bisa hidup. Sudah dicoba restart masih saja tidak berfungsi seperti biasanya. Karena tidak juga berhasil memperbaikinya Lea memutuskan untuk membawanya ke konter besok untuk diperiksa.

Pagi-pagi sekali Yaya sudah minta diantar ke sekolah. Dan berpesan untuk tidak dijemput. Masih setengah mengantuk Lea bangkit dari tempat tidur. Cuci muka dan mengantar anaknya sekolah. Tak lupa dibawanya hp untuk diperbaiki.

"Wah, bu..ini yang kena mmc nya." ujar petugas konter setelah memeriksa hp Lea.

"Berapa tuh biaya dandannya" tanya Lea cemas. Dia tidak siap kalau harus tanpa hp hari ini. 

"Kira-kira Rp.400.000" jawab petugas.

"Wah..kalau segitu rasanya saya tunda dulu deh" Lea membawa pulang hpnya dengan sedih. Dirumah dicopotnya batre hp dan menyimpannya hpnya baik-baik.

Pagi itu dihabiskannya dengan membersihkan rumah dan pekarangan. Menyiapkan makan siang untuk Yaya yang mungkin hari ini akan pulang cepat karena sudah selesai ulangan.

Lea pergi ke kebun belakang yang teduh. Membersihkan rumput dan daun-daun kering berserakan. Mengikatkan tali hammocknya di dua pohon yang berdekatan. Lalu berbaring disana dengan nyaman sambil menunggu Yaya pulang.

"Assalamualaikum..." teriak Yaya dari pintu gerbang.

"Waalaikumsalam.." jawab Lea. Dihampirinya anaknya. Seperti biasa ritual cium tangan, pipi kanan, pipi kiri lalu, cuppp..bibir mungil Yaya yang lucu di kecupnya.

"Gimana ulangannya, Ya?'
" Aman mah, bisa semua" jawab Yaya berbinar riang mata bulatnya.

Lea mengacak rambutnya pelan. 

"Baguslah..anak baiik" katanya sambil mencuil pipi Yaya. "Mama baring di kebun belakang ya sebentar, kalau kamu sudah lapar kita bisa makan sekarang"

"Nanti aja ya mah" jawab Yaya. Lalu pergi ke kamarnya.

Lea kembali berbaring di hammocknya. Angin sejuk yang bertiup membuatnya mengantuk. Tak terasa matanya terpejam.

Sayup-sayup di dengarnya lagu ulang tahun dinyanyikan. Dibukanya mata pelan. Dilihatnya Yaya meletakkan sesuatu di meja kayu tak jauh darinya dan bergegas pergi. Dilihatnya secangkir kopi mengepul. Dia tersenyum, dihampirinya meja. Dilihatnya ada sebuah bungkusan kado.

"Hehe..Yaya anak maniiis. Selalu begitu setiap tahun, Memberinya kado ulang tahun dan kejutan.

Dibukanya kertas yang membungkus kado. Dan tersenyum miris. Sebuah dompet hp yang khusus untuk type hp miliknya berwarna marun.

" Selamat ulang tahun mamaaah" teriak Yaya dari belakang. Dipeluknya Lea dengan hangat.

"Makasih ya Yaya sayang" ucap Lea. Dikecupnya kening Yaya.

"Pake ya mah" pinta Yaya. "Mana hp mama?"

"Nanti ya pakenya, sekarang hpnya lagi tidur panjang" jelas Lea. Wajah Yaya langsung berubah kecewa. Lea tertawa. Dipeluknya Yaya sekali lagi.

"Nanti dipake buat menyimpan hp yah" hibur Lea

"Yaahhh...salah kado aku" ujar Yaya seraya menepuk jidat.

           ***************




Selasa, 13 Juni 2017

ANAK-ANAK MUDIK

#30HariMenulis - Day 13

Hari ini aku bener-bener punya alasan untuk nggak menulis. Bukan malas sih, tapi waktu ku banyak terpakai untuk melepas rindu, mengobrol dan bercengkrama.

Anak-anak pulang dari rantau. Setelah sekian lama tak bersama karena mereka kuliah di luar kota. Jadi ceritanya mudik lah gitu. Mudik lebih awal untuk menyiasati kenaikan tarif angkutan dan ramainya arus mudik. Untungnya mereka juga sudah mulai libur setelah selesai UAS.

Menanti anak-anak pulang dari rantau itu seperti menanti ibu yang pulang dari belanja di pasar. Sensasinya gimanaa gitu. Mereka masih belasan kilometer dari rumah saja pintu gerbang sudah dibuka lebar-lebar. Selebar dua tangan terbentang saat mereka muncul di depan pintu.

Suasana jumpa di saat menjelang Lebaran memang luar biasa. Bayi-bayi mungilku dulu yang kini sudah menjelma jadi gadis-gadis cantik menempuh ribuan kilometer untuk sampai ke pelukan ibu. Warbiyasahhh.

Keadaan rumah langsung berubah begitu mereka tiba. Rasa kayak ada taman bunga dengan bunga-bunga bermekaran gitu. Makan sahur juga jadi lebih bersemangat. Apalagi pas bangun sahur sudah ada makanan di meja hasil kerja anak gadis. Uiiyy..enaknyee.

Pagi-pagi rumah sudah rapi, bersih dan terasa sentuhan remajanya. Enak ya. Mudah-mudahan nanti saat mereka harus kembali ke kampus aku jadi gak manja dan terbiasa kembali merawat rumah sendiri.

Saat berbuka puasa juga jadi meriah. Lagi-lagi disiapkan oleh anak-anak. Sambil makan sambil berkisah dan bercengkrama. Padahal kan makan gak baik ya sambil ngobrol. Hehe..

Sudah dulu ah, mau buat list kunjungan dulu untuk anak-anak. Kan banyak keluarga yang harus dikunjungi untuk menjaga tali silaturahmi. Maklum karena jauh mereka jarang pulang kampung. Jadi saat mudik harus dimanfaatkan dengan baik.

                    ***************

Senin, 12 Juni 2017

PENDEKAR MALU HATI

#30HariMenulis - Day 12

Aku dapat tugas bikin trek sepeda untuk acara gowes bersama klub-klub sepeda di kotaku. Sudah ada lima belas klub yang mendaftarkan anggotanya untuk ikutan acara ini. Perkiraan akan ada dua ratusan pesepeda yang hadir. 

Sebenarnya aku meracik trek ini tidak sendiri, tapi ada berapa teman yang kemarin sudah ikut survey dan menentukan lokasi. Berhubung mereka berhalangan ikut untuk memasang safety line sebagai penanda lintasan sepeda jadilah hari ini aku bekerja sendirian. Gak masalah, aku sudah biasa membuat trek di klub lari ku, walau sedikit berbeda dengan trek sepeda setidaknya ada mirip-mirip lah. Yang sama itu ya sama-sama di alam terbuka.

Supaya lebih cepat bergerak aku tidak pakai sepeda. Lagian trek ini berjarak total 30km, capek kan kalau pakai sepeda. Dengan ransel di pundak berisi airminum dan safety line aku berangkat menyusuri jalan-jalan yang kemarin sudah kami tentukan.

Rencananya titik kumpul akan ditetapkan di kantor Polres karena yang punya hajat Pak Kapolresnya. Setelah itu keluar menuju bypass dan berbelok ke arah Desa Kulur sekitar 2km. Kemudian berbelok masuk ke jalan setapak perkebunan sawit. Menuju area pertambangan timah. 

Beberapa penambang menatap curiga melihatku berkeliaran, dibeberapa titik memasang garis-garis polisi berwarna kuning hitam dan hitam putih yang membuat mereka rada ngeri juga. Khawatir karena penambangan yang mereka lakukan termasuk kategori ilegal, dan polisi jadi sosok yang meresahkan buat mereka.

Seorang penambang menghampiri ku dengan wajah tidak bersahabat. Apalagi sempat dilihatnya aku mengambil beberapa foto pemandangan kolong (kolam air bekas galian tambang) yang airnya berwarna kebiruan dan sangat cantik.

"Ada apa ini pakai-pakai ditandai garis polisi?" tanyanya.

Aku tersenyum tenang. Bapak itu mengamati ku dari ujung kepala sampai kaki. Memandang gagang golok yang menyembul di ransel di pundak ku dan menilik motor ku. Agaknya dia sedikit kaget menyadari ternyata aku wanitahh. 

"Permisi,Yak.. ku tengah masang tanda untuk trek sepeda" jelasku. Ayak adalah panggilan untuk abang dalam bahasa lokal.

"Oooh...trek sepeda... kire ku ade ape. Ade lomba sepeda rupe e" katanya lega.

"Ukan lomba, Yak..hanya gowes bersama kek kawan-kawan seluruh klub sepeda di Bangka ni," kataku meralat kata-katanya. Mungkin dikiranya akan ada perlombaan jika sudah pakai pasang garis polisi begini.

Setelah bercakap-cakap sejenak aku pamit melanjutkan pekerjaan.

Lepas dari area pertambangan aku memasuki perkebunan karet dan lada. Melalu jalan menanjak dan menurun hanya selebar tidak lebih dari satu setengah meter. Aku mesti konsentrasi mengendalikan motor kalau tidak ingin terjatuh. Belum lagi harus memastikan tanda di pasang cukup rapat agar bisa diikuti peserta gowes dan meminimalisir goweser yang nyasar. Dan setiap tikungan dan jalan bercabang wajib di beri penanda yang lebih panjang.

Sedang tegang-tegangnya berkonsentrasi mengendalikan motor dan sudah merasa cukup lelah tiba-tiba aku mendengar hiruk pikuk dari arah depanku. Agak jauh. Aku menerka-nerka apa gerangan kehebohan itu.

Memasuki area berpasir motor makin sulit dikendalikan. Pelan-pelan aku makin dekat ke arah sumber suara. Apa tuh, kok seperti ada jerit-jeritan ketakutan lalu kembali tidak jelas..begitu beberapa kali.

Wah, karena tempat itu sepi, agak masuk ke area hutan jauh dari perkebunan penduduk aku jadi was-was juga, jangan-jangan itu tindak kejahatan.  Lalu suara seperti orang yang dilemparkan ke air di iringi jeritan dan tawa yang ku bayangkan itu yang tertawa pasti sambil menyeringai.

Rada takut juga sebenarnya mau mendatangi sumber suara. Tapi jiwa pendekar dalam diri ku ini, ciee..cieee pendekar..hahak... rasanya tidak tega mengabaikan begitu saja tindak kejahatan terjadi tanpa berbuat sesuatu.

Ku parkirkan motor agak jauh dari lokasi yang terdengar ramai itu. Karena jalannya menanjak dan berpasir. Setengah berlari aku mendekat. Golok ku keluarkan dari ransel. Sempat ku siapkan nomor telpon Pak Kapolres yang aku yakin selalu standby, siapa tau aku butuh bantuan mendadak jadi beliau bisa perintahkan anak buahnya mengirim bantuan.

Begitu sekali lagi ada teriakan, aku langsung merangsek masuk ke arena, eh maksudnya menyibak semak belukar yang menutupi tekape. Benar saja, seorang pemuda kurus hitam dekil hanya mengenakan celana dalam sedang meronta dipegangi tiga orang lelaki yang tubuhnya lebih besar. 

"Hei!!!..." aku membentak mereka. Tapi pemuda kurus itu sudah terlanjur terlempar ke kolong. Dan lelaki yang melemparkannya terkejut menoleh ke arahku. Memandangi ku penuh tanda tanya.Tapi aku tak kurang terkejutnya memandang sekeliling.

Beberapa sepeda bergeletakan. Ada beberapa orang lagi disana. Ada yang sedang berbaring santai di rerumputan, ada yang sedang makan, mengobrol, mencuci sepeda. Semuanya hanya pakai sempak, celana dalam, bertelanjang dada. Malah ada satu orang sedang mandi membelakangi ku, tanpa sehelai benang pun. Dan mereka semua serentak menoleh kearahku heran dan kaget karena bentakan ku.

Aku langsung menyadari apa yang terjadi, tergagap dan minta maaf. Lalu buru-buru kabur dengan wajah merah padam karena jengah dan malu diiringi pandangan heran mereka.

*********************
 



    

Sabtu, 10 Juni 2017

ANDAI LEBAY

#30HariMenulis - Day 10

(Tema : Andaikan kamu ALADDIN yang menemukan lampu ajaib dan bertemu dengan Jin baik yang akan memberimu 3 PERMINTAAN, permintaan apa yang kamu inginkan?)


Duh, bakal menggali keserakahan dalam diriku nih. Hihii..gak apalah, mumpung ada yang nawarin. Aiih, enak amat yah andaikan bukan berandai-andai.

Yang pertama aku pengen minta doraemon sama kantong ajaibnya. Kok gak kantong doraemon aja? Enggak ah, pengen sepaket ama doraemon. Biar ada yang menemani main, mengiburku saat aku sedih, mendengarkan ku saat aku pengen ngomel, kasih aku solusi saat aku kena masalah.

Mau butuh apa-apa tinggal cari di kantong doraemon. Apalagi aku suka banget tuh sama baling-baling bambunya. Bisa kemana-mana gak capek, gak berat di ongkos, bisa sambil liat pemandangan alam dari atas lagi. Aku pengen banget main paralayang tapi belum pernah kesampain. Dengan baling-baling bambu rasanya mungkin rada-rada mirip yah.

Yang kedua aku pengen minta jadi diriku sendiri, bukan jadi Aladin. Kan gak enak masa aku cuma pake rompi ama celana gombrang berserut itu melulu. Aku kan pengen juga pake jersey, pake baju senam, celana kargo, dan aku gak suka naek permadani, pengennya pake sepeda mtb kayak patrol idamanku ato minimal kayak Yayank Omay ku deh.

Yang ketiga aku pengen minta andai-andai ini jadi nyata. Udah itu aja lah. Percuma juga minta ini minta itu kalo cuma andai. Nyebelin tau.

Padahal berandai-andai itu enak-enak gimanaaa gitu. Tapi udahnya pahit-pahit gimanaaa gitu. Mendingan juga ngopi, sederhana tapi nyata.

Yuk ngopi yuuk...biar rasa ada kamu gitu, biar inget D
Ahhayyyy..


                 **********************




Jumat, 09 Juni 2017

TULIS AJA JANGAN KEBANYAKAN BENGONG

#30HariMenulis - Day 9

Sudah sore dan aku belum menulis untuk hari ini. Bukan belum sih sebenarnya. Belum selesai. Keburu ilang mood karena sesuatu dan lain hal.

Pengennya sih nerusin kisah Mayla kemaren, kali ini kembali ke sudut pandang tokoh utama, Ardy (Turning Point). Kemaren kurasa bagian ini akan lebih mudah, seluruh ceritanya udah ada di kepala. Tapi ya gitu deh, nyusunnya dan numpahinnya ke dalam tulisan itu gak mudah buat ku. Hahahhh..dasar amatir.

Abis baca tulisannya si 'Rangga' bukannya tambah termotivasi nulis malah bikin drop. Kok tulisannya bagus gitu, enak gitu bacanya. Sedangkan tulisan ku..hadeh, payah. Nah, ini nih penyakit penulis amatiran. Suka takut tulisannya jelek. Padahal aku tau banget, klo mau nulis tuh tulis aja, jangan kebanyakan mikir negatif. Justru kalo baca tulisan orang laen bagus ya mesti lebih belajar dari sana, lebih termotivasi lagi buat ngbagusin tulisan. Tapiiii...ya gitu, aku mah omong doank, prakteknya susssyaaah.

Tapi bukan itu lho yang bikin aku ilang mood buat lanjutin kisah Ardy. Asli hanya karena tiba-tiba ilang mood. Bukannya dicari moodnya malah aku tidur siang dan bermimpi buruk. Nah lo rasain dah. Bangun tidur kirain jadi fresh malah tambah malas nulis.

Rasanya pengen matiin hp beberapa hari. Padahal aku nulis cuma ngandelin hp. Biarlah rasanya aku gak akan nulis buat hari ini dan beberapa hari ke depan. Pelan, kutekan tombol off. Triiiinggg..nada off smartphone ku bunyi. Proses sebentar, lalu layar gelap. Sudah. Hp off total.

Duduk santai di dapur. Bengong. Beresin dapur bentar. Duduk lagi, bengong lagi. Terus mikir, ini dia salah satu tantangan #30hariMenulis itu. Ngalahin rasa malas, berjuang untuk konsisten menulis 30 hari berturut-turut. 

Kali ini enak, tema gak ditentukan sama admin. Jadi lebih bebas mau nulis tentang apa aja. Banyak pesertanya yang sibuk dengan pekerjaan tapi masih berusaha menyelesaikan tugas nulis. Masa aku yang punya lebih banyak waktu luang gak mau berusaha. 

Akhirnya kuhidupkan lagi hp dan mulai menulis. Masih bingung mau nulis apa. Masih gak mood nerusin kisah Ardy. Tapi harus nulis. Jadi mau nulis apa??? Bengong lagi jadinya. Ah, Amoy, kebanyakan bengong lo!

Udahlah ngopi aja, kebetulan lagi gak puasa..hihi. 

                     ************************

Kamis, 08 Juni 2017

MAYLA, A SAD LONELY LIL GIRL INSIDE



#30HariMenulis - Day 8

Aku lagi melow, aku lagi sedih, kecewa, terluka, gak berdaya. Rasanya pengen nangis meraung-raung kayak srigala ketusuk duri sawit yang berbisa. Tapi gak bisa, aku kan manusia bukan srigala. Lagian aku terlalu manis untuk berlaku seperti itu.

Hati ku sakit, jiwa ku terluka, rasanya nyesek di dada, cenat-cenut di hati. Pengen curhat, pengen nangis di pangkuan seseorang. Tapi gak bisa. Kalau ketemu orang aku suka gak tahan pasti senyum atau diam tanpa ekspresi.

Rasanya pengen ngebut bawa motor. Gas abis sampe kecepatan paling tinggi di aspal item yang mulus, trus belokin sedikit stangnya mendadak, kejungkal dan braaaaaakkkkk!! Ngglosor diaspal, bedarah-darah, mati! Aduh, astaghfirullahaladziem...jangan donk!! Ntar gak ikutan lebaran. Lagian aku gak bisa bawa motor.

Jadi gimana donk?? Akhirnya aku cuma bisa duduk bengong di pojokan ranjang. Memeluk lutut, menatap kosong. Sendirian. Lemas. Perut kosong, bibir sama tenggorokan kering, soalnya lagi puasa.

Tuitt-tuiiiit...tuitt-tuiiiit.... Bunyi nada pesan, itu khusus nada dering yang ku setting buat Ardy. Aku sempat ngirain itu bunyi perut ku yang melilit keroncongan. Aku diem aja. Masih dengan pikiran dan tatapan kosong. Perut ku juga dink, kosong.

 *
***

Beberapa hari yang lalu secara gak sengaja aku ketemu dia. Aku sama perawat lagi di pasar cari mangga. Ada yang lagi motoin aku dari samping. Ih ya tu orang gak sopan, moto gak pake ijin. Dia kira bagus kali ya objek foto perempuan diatas kursi roda berkeliaran di pasar.

Pas aku noleh, dia nurunin kamera yang nutupin wajahnya. Mukanya terpana. Aku juga kaget banget. Lelaki tinggi yang kokoh itu, menghampiri ku dengan wajah bengongnya.

Makin dekat aku makin yakin itu siapa. Wajahnya keliatan jelas kaget campur gembira.

"Mayla?...Maylaaa?? Ini kamu Mae?" katanya setengah gak percaya.

Dia bersimpuh di kursi roda ku, memegang tangan ku, natap mata ku penuh rasa kangen. Aku diam aja. Wajah ku datar aja, tatapan ku juga kosong rasanya.

Tiba-tiba pasar yang rame itu terasa sepi dan mati. Rasanya cuma ada kami berdua. Perasaan ku campur aduk. Yang pasti dominan, aku ngrasa seneng, bahagia, ketemu sahabat kanak-kanak ku yang dulu tumbuh bersama. Yang dulu selalu jagain, ngelindungin, nyayangin dan menghibur ku.

Tapi aku udah terbiasa gak bisa ngungkapin perasaan. Aku selalu punya kesulitan nunjukin perasaan ku.

Aku masih diam aja saat Ardy ngambil alih kursi roda ku dari perawat. Mendorong pelan-pelan nganterin ku pulang kerumah.

Sampe rumah Ardy menggendong ku ke sofa jati ruang tamu. Aku nurut aja dengan lemah nyandarin kepala di dadanya. Duh, nyamannya. Ini Ardy-ku dulu, temen masa kanak-kanak dan kekasih saat remaja. Perawat ngambil alih kursi roda ku dan masuk ke dalam ninggalin kami berdua.

Di sofa itu Ardy gak langsung meletakkan ku tapi dia duduk sambil mangku memeluk tubuh ku yang terasa mungil dalam dekapannya. Diciuminya rambut ku sambil nangis terisak-isak. Aku masih diam aja. Tapi ada airmata ngalir di pipi ku. 

"Apa yang sudah terjadi sama kamu, Mae?..Ada apa? Kemana aja kamu selama ini ngilang tanpa berita?" tanyanya lembuuut banget sambil nangis. Pertanyaan yang gak menuntut jawaban. Persis seperti dulu saat aku hilang di perkebunan dan ditemukan dalam keadaan shock tanpa ekspresi.

Aku diam aja, sembunyiin wajah di dadanya. Dia dekap kepala ku. Dieratinnya pelukannya. Dia nangis, aku nangis, kami nangis bareng sampe capek.

Akhirnya diletakkannya aku berbaring di sofa. Dia bersimpuh di samping ku. Merapihkan rambut ku dan mengusapnya penuh kasih sayang. Aku nangis lagi terharu. Digenggamnya tangan ku, seolah mau ngeyakinkan semuanya akan baik-baik aja. Lagi-lagi persis sama seperti waktu itu. Dejavu.

Ardy bangkit ke belakang. Ngambil air hangat dan nyodorin ke aku sambil bantu aku bangkit untuk minum.

Lalu pergi ke belakang, sepertinya ngobrol sama perawat. Lama. Pas dia kembali langsung pamitan untuk pulang ke pondoknya di perkebunan.

Sejak hari itu kami jadi sering kontak. Kata Ardy, dia baru beberapa bulan kembali dari rantau. Menjauh dari kehidupan dunia modern, mengasingkan diri di perkebunan. Bahkan katanya dia baru beli hp setelah ketemu sama aku lagi. Soalnya jarak dari kampung ke perkebunan agak jauh dan dia jarang turun ke kampung. Dia melanggar konsep hidup barunya demi aku, pake hp.  Pelanggaran kedua setelah dia mulai lagi pakai kamera.

Banyak yang dia ceritain ke aku. Tentang konsep permakultur yang sedang dia terapkan di perkebunan. Tentang kegiatan edukasi penduduk dan kebiasaan larinya. Tentang khayalan-khayalannya ke depan. Dan tentang harapannya akan hubungan kami.

Aku juga sempat cerita tentang hidup ku. Keluarga ku yang berantakan gara-gara suami selingkuh dan memilih menikahi sekretarisnya. Tentang kenapa dulu aku pergi ninggalin dia tanpa pamit. Dan tentang kenapa akhirnya aku harus pake kursi roda.

Ketika sampai ke pertanyaan, apa aku pernah selama ini ngehayalin dia seperti dia ngehidupin aku dalam khayalannya, kujawab jujur, enggak. Karena merasa bersalah dan gak pantas buat dia, aku memilih menyimpannya rapih di ruang terindah hati ku dan setengah mati berusaha ku lupain, meski gagal. Bagiku, dia dan kenangan indah tentangnya terlalu sakral untuk ku utak-atik dalam sebuah khayalan. Dia kecewa, terluka dan gak terima atas jawaban ku. Baginya sungguh gak adil sementara dia selalu memikirkan ku tapi aku malah nglupain dia. Sementara dia menanam dan memupuk rasanya pada ku, membiarkannya terus tumbuh dan berbunga, aku malah mengubur dan membekukannya. Dia menyalahkan ku berulang-ulang.

Aku ketakutan liat reaksinya. Dia bilang kalau dia sayang banget sama aku, tapi juga jadi benci banget. Katanya aku adalah soulmate-nya tapi juga nightmare-nya.  Aku takut dia pergi ninggalin aku, mengabaikan ku. Ketakutan yang sama seperti saat aku sendirian nyasar di perkebunan, kedinginan dalam gelap dan dalam serangan rasa nggak diinginkan oleh siapa-siapa.

Aku kecewa, terluka sama kemarahan Ardy. Aku tahan. Aku terima. Sebagai wanita dewasa aku bisa maklum dan bersabar. Tapi Ardy lupa, there's a sad lonely litle girl inside me. Yang berusaha keluar dari diriku. Aku dikuasai trauma masa kecilku.

Seharusnya Ardy yang paling kenal aku saat kecil tau kalau aku punya trauma. Seharusnya dia yang paling bisa pahami aku.  Berhenti menyalahkan ku karena itu bikin aku ngrasa gak diinginkan. Itulah sebabnya aku bener-bener nangis habis-habisan di kamar sampe mata ku bengkak. Aku sampai takut kalau kebanyakan nangis ntar mataku jadi buta dan gak bisa mandangin foto Ardy lagi yang kujadiin wallpaper di hp ku.

Beberapa kali pesan dari Ardy masuk tetep aku gak bereaksi. Diam mandangin hp di tangan. Gak lama dia telpon. Bunyinya makin lama makin memekakkan telinga. Hp ku jatuh di pangkuan. Ku jatohin badan ku ke kasur. Meringkuk meluk lutut. Airmata mulai banjir ngebasahin kasur.

Aku mulai berpikir. Mengkaji ulang hubungan kami. Apa sebaiknya ku hentikan aja. Aku betul-betul gak sempurna buat dia. Dia hanya akan banyak terluka. Mungkin lebih baik aku menyingkir aja dari jalan hidupnya. Kembali mengurung diri dan menutup rapat hati ku. Lama aku mikir, dan nangisin apa yang sedang kupikirkan.

Pelan-pelan ku raih hp dan mulai mengetik.

"Kita gak lagi akan sering2 bicara. 

Aku gak akan menyela dalam kehidupan mu. 

Aku berharap kamu tetep semangat dan berbahagia seperti biasanya. 

Maaf atas semua kesalahan dan kekurangan ku. Maaf atas smua luka mu yang aku sebabkan.

Terimakasih atas seluruh cinta mu yang tercurah buat ku

Aku pamit untuk kembali ke gudang kosong yang gelap itu dan berharap utk gak pernah jatuh cinta lagi. Krn aku pengen kamu jd yg terakhir.

Kita akan saling mencintai dengan cara kita masing2. Dalam khayalan kita sendiri-sendiri."

Airmata ku jatoh berderai-derai saat ngbaca pesan yang ku buat. Berkali-kali kubaca dengan mata kabur karena kebasahan airmata. Lalu ku bulatkan hati ngirim pesan itu ke Ardy. Klik! Pesan terkirim.

Aku duduk di pojokan tempat tidur meringkuk memeluk lutut. Natap jauh entah kemana, tanpa ekspresi.

                                              **************************


    

Rabu, 07 Juni 2017

MAYLA HILANG



#30HariMenulis - Day 7

Hari yang melelahkan. Tapi aku senang akhirnya selesai juga pekerjaan hari ini. Hasil panen kopi sudah ditimbang dan besok siap dihampar di halaman untuk dikeringkan.

Upah petik dan angkut para pekerja sudah selesai dihitung. Sebagian sudah dibayarkan. Senang melihat wajah-wajah mereka sumringah puas menghitung uang dan pulang dengan semangat menemui anak istri yang sudah menunggu di rumah.

Aku membereskan gelas-gelas kopi yang berserakan. Mengelap meja dan meletakkan kembali kursi-kursi di tempatnya. Merapihkan karung-karung dan kinjar- keranjang untuk memetik kopi- menggantungnya agar besok siap untuk digunakan lagi.

Malam ini kami tidak akan menginap di pondok kebun. Jadi aku bersiap untuk pulang. Suami ku juga sudah selesai membereskan pondok.

Aku ke bilik mencari Mayla. Tadi dia ribut sekali saat aku sedang sibuk-sibuknya menangani pekerjaan. Betapa hiruk pikuknya keadaan siang tadi. Orang lalu lalang memikul biji-biji kopi basah, menimbangnya dan memindahkannya ke tempat lain. Sementara Mayla memaksa minta perhatian bertanya soal burung kenarinya yang sudah sekarat.

Hampir saja tubuh mungil Mayla tersenggol karung kopi yang dihempaskan pekerja ke timbangan jika aku tidak menyambar dan menyingkirkannya dari sana.

Saat masih kesal dan harus buru-buru mencatatkan hasil timbangan Mayla malah menyodorkan burung di tangannya ke wajahku. Menyesal tadi aku sempat menepiskan tangannya karena terkejut.

Aku sempat melihatnya terpana dan berbalik pergi. Menyelinap di antara kerumunan orang. Ku kira dia pergi ke bilik merawat burung kesayangannya, bermain dan tertidur.

Tapi dia tidak ada di bilik. Aku mencarinya ke sekitar pondok. Tidak ada. Aku pergi ke pondok tetangga. Disana biasanya dia main dengan Ardy, anak tetangga pondok kami.

Pondok Ardy lebih luas dan indah. Terbuat dari kayu hitam berkilat. Halamannya ditumbuhi rumput hijau yang terawat rapih. Ada gazebo di sudut halaman tempat biasanya Mayla dan Ardy bermain.

"Ada apa tante?" Ardy keluar dari pondok menyapaku.

"Apa Mayla main kemari?" tanyaku.

"Enggak, Te" Ardy menggeleng. "Dari siang tadi Mayla nggak main kesini. Memangnya kenapa Mayla?" 

Aku menangkap kegelisahan di mata Ardy. Dia menyayangi Mayla seperti adiknya sendiri. Menjaganya setiap kali mereka main bersama mencari kupu-kupu atau buah-buahan di kebun.

"Wah, kemana ya dia. Tadi tante kira dia tidur di bilik tapi nggak ada. Biasanya kan main kesini" kataku mulai khawatir.

Aku segera berpamitan pada Ardy untuk kembali mencari Mayla. Ardy ikut membantu mencari dan menghubungi orang-orang dan meminta mereka membantu.

Tiba-tiba suasana senja di dusun kecil di perkebunan itu yang tadi mulai hening kembali heboh gara-gara mencari Mayla. Masing-masing memberitahu kan apa yang mereka tahu. Apa yang mereka perkirakan kemana Mayla pergi.

"Terakhir aku melihatnya saat ibu menyingkirkannya dari dekat timbangan" kata salah satu pekerja.

"Aku melihatnya dipinggir jalan setapak. Tapi aku tidak tahu selanjutnya dia kemana" ujar yang lainnya.

Akhirnya kami sepakat menyebar mencari. Ada yang ke arah dusun menuju ke kampung di luar perkebunan karena berpikir siapa tahu Mayla menuju jalan pulang. Beberapa menyusuri jalan setapak menuju perkebunan. Sebagian lagi ke arah sungai. Karena Mayla suka bermain di sungai bersama Ardy.

Aku sangat gelisah dan cemas. Hari mulai gelap, bagaimana jika Mayla belum ditemukan. Bagaimana keadaannya. Dia tentu akan ketakutan. Oh, Tuhan...tolong jaga anakku. Aku mulai menangis membayangkan anak sekecil itu, sendirian, kedinginan dan ketakutan di suatu tempat entah dimana. Tanpa aku di sampingnya. Aku sangat menyesal sudah mengabaikannya tadi. Aku menangis memikirkan keadaan dan perasaan Mayla ku.

Aku mengikuti orang-orang yang mencari kearah jalan setapak menuju perkebunan. Karena beberapa dari mereka menemukan mainan Mayla yang tercecer bersama bangkai burung yang tadi dipegang Mayla. Dibeberapa tempat di jalan setapak itu terlihat daun-daun kopi dan buahnya berceceran berserak. Kami berpikir Mayla yang melakukan ini dengan marah. Kami menelusuri jejak ceceran daun dah buah kopi itu.

Kami berteriak bersahut-sahutan memanggil Mayla. Sementara kegelapan makin pekat. Suara serangga malam terdengar memekakkan telinga. Kilau senter bergerak kesana kemari menyinari sela-sela pohon dan daun kopi. Udara semakin dingin. 

Tiba-tiba seseorang berteriak dari sebelah lain.

"Kami menemukannya!!!"
Aku berlari kearah suara itu secepat kilat sampai menabrak-nabrak batang pisang atau tersebat ranting kopi. Aku tak perduli.

Kudapati Mayla duduk meringkuk di tumpukan daun kering bersandar di batang kopi, kedinginan, wajahnya pucat, matanya sembab menatap kosong. Aku memeluknya erat-erat sambil menangis. Menggendongnya dan membawanya pulang.

Para pencari mengiringi kami sambil berbisik-bisik mengatakan kemungkinan Mayla diculik hantu, karena melihat kondisi Mayla yang tetap diam, tatapannya kosong tanpa ekspresi.

                                                  *********************************

Pic by google

Selasa, 06 Juni 2017

DICULIK HANTU






berkali-kali diabaikan, kalau ditambah sekali lagi itu gak apa-apa. Sungguh gak apa-apa. Aku berbalik meninggalkan mereka pelan-pelan. Berjalan menunduk menyeret kantong mainan ku ditangan kiri dan seekor burung yang sekarat ditangan kanan.


#30HariMenulis - Day 6

Tak ada yang memperhatikan ku pergi. Tidak pula ada yang perduli airmata ku yang nyaris tumpah. Mereka masih sibuk menghitung hasil panen yang mereka petik hari ini. Begitu juga Bapak dan Ibu. Ibu bahkan sempat menepis tanganku saat kutunjukkan burung kenari ku yang sekarat. Aku butuh pendapat apa yang harus kulakukan dengannya. Alih-alih menjawab Ibu malah menyingkirkan tubuhku yang menghalangi timbangan.

Tubuhku yang mungil nyaris tak terlihat menyelinap diantara para kuli perkebunan dan keluar dari kerumunan.

Aku terus saja berjalan. Pelan seolah menghitung satu persatu langkahku dan berharap di langkah kesekian ada yang memanggilku dan meminta ku kembali. Tapi sampai jauh aku berjalan, sampai letih kaki ku melangkah, tak juga ada yang memanggil. 

Tak lagi menjadi 'tidak apa-apa' kemarahan dan kecewaku meledak. Ku tumpahkan pada daun-daun dan buah kopi di sepanjang jalan setapak yang kulalui dengan menjambak dan mencabik mereka lalu menghamburkannya ke jalanan.

Aku tidak menyadari kemana arahku berjalan. Yang kurasakan hanya aku berjalan di jalan setapak yang luruuuuus jauh dengan kiri kanannya pepohonan serupa pintu gerbang melengkung yang sedang merentangkan tangannya untuk memelukku.
Sementara bunyi Tonggeret terdengar seperti hymne yang mengiringi langkah seorang putri di balairung kerajaan.

Ketika aku tersadar, hari mulai gelap. Angin senja mulai merayapi tubuhku. Aku melihat sekeliling. Hanya hamparan pohon-pohon kopi berhias buah merah hijau berkilat. Beberapa bunga kopi berwarna putih masih terlihat menghiasi serupa mahkota cantik nan wangi. Aku tidak tau berada dimana.

Tiba-tiba saja aku tak dapat melihat jalan yang tadi kulalui. Aku bahkan tidak ingat kemana barang-barang yang tadi kubawa. Aku mulai gelisah. Berpikir untuk pulang. Tapi bagaimana? Aku menyusuri barisan pohon kopi berusaha tetap lurus satu ruas. Tapi tetap saja tak ada jalan setapak tadi. Aku mulai ketakutan. Dan menangis.

Gigitan nyamuk di kulitku tak lagi ku perdulikan. Pun nyamuk-nyamuk yang merubungi seluruh tubuhku. Dingin, gelap, sendiri. Betapa kecewanya aku. Tak ada yang perduli. Apa mereka tidak merasa kehilanganku? Umurku masih lima tahun, dan mereka tidak perduli anak lima tahun sudah masuk gerbang malam begini tidak ada di rumah. Aku sungguh kecewa dan terluka.

Aku berhenti menangis. Walau masih dicekam rasa takut yang luar biasa. Seolah kegelapan menjadi sosok raksasa yang mendekapku. Belum lagi bunyi-bunyi serangga malam yang mirip seperti orang sedang mengobrol hiruk pikuk. Aku duduk meringkuk bersandar di batang kopi.

Kedinginan, letih, ketakutan, kecewa, marah dan tak berdaya membuat tubuhku serasa tak bertulang. Aku mulai mendengar suara-suara aneh. Seperti suara lebah. Kilatan-kilatan cahaya dan suara-suara tapak kaki di daun kering.

"Maylaaa....."

"Maylaaaaaaa....."

Sayup-sayup kudengar namaku dipanggil. Aku diam saja. Aku tak mampu memutuskan harus menjawab atau diam saja. Akhirnya ya aku diam saja. Pikiranku terasa kosong.

"Aku menemukan mainannya di sekitar sini" ujar seseorang.

"Benar, daun-daun dan buah kopi yang berserakan seperti sengaja di hambur juga mengarah kesini" timpal yang lain. Sinar lampu senter terlihat menyorot kesana kemari.

"Maylaaaa...." itu suara Bapak.

"Maylaaaaa..." aku mengenali suara Ibu.

Mereka terus berteriak memanggilku. Semua orang memanggilku. Untuk apa? Kenapa tadi sore mereka tak perduli. Aku sedikit lega mereka akhirnya menemukanku meringkuk ketakutan ditumpukan daun kering bersandar di batang kopi. Dengan tubuh dingin, wajah pucat dan tatapan yang kosong. Kudengar mereka saling berbisik melihat kondisi ku yang demikian bahwa aku baru saja diculik hantu.


                                     ******************


Senin, 05 Juni 2017

SINAR

#30HariMenulis - Day 5

Aku tertidur di kamar belakang. Diam-diam matahari mengusap rambutku. Membelai wajahku. Hangat. Aku diam saja. Persis seperti dulu jika Ibu diam-diam mendatangi kamarku, memeriksa luka yang kudapat hasil terjun bebas di jalanan kampung saat bersepeda. Tadi Ibu mengomeliku habis-habisan. Mungkin dia menyesal. Diusapnya kepalaku. Dirabainya wajahku. Aku terjaga tapi pura-pura tetap tidur. Sampai dia menciumku dan pergi meninggalkan kamarku.

Matahari mungkin gemas karena aku diam saja. Dijelajahinya wajahku. Makin lama makin panas. Aku bergeser kesamping. Matahari menyentuh bahuku. Aku berputar 30 derajat. Memunggungi matahari. Diam-diam matahari mengejarku, mengapai punggungku. Aku berputar lagi 30 derajat. Sekarang matahari merayapi kaki ku. Panas. Matahari terlalu terik. Atau ia terlalu memaksa minta perhatianku? Sepertinya aku harus pindah ke kamar lain.

Tapi tubuhku masih lemas. Malas bangkit dari tempat tidur. Jadi kugeser lagi tubuhku. Amaan. Tak lama. Kembali matahari menyentuhku. Aku berbalik. Memandang ke luar jendela. 

Matahari memang terik. Seolah kulihat dia tersenyum lebar. Pas betul buat jemur-jemur. Tiba-tiba aku teringat cucian di mesin cuci yang belum ku keluarkan.

Astaga,...aku lupa. Aku belum menjemur cucianku. Aku bangkit dari tempat tidur. Matahari rupanya mengingatkan ku kalau dia nyaris turun dari titik tertingginya. Sementara tadi aku baru mencuci bedcover yang kalau tidak langsung kering akan berbau tidak sedap. Aku menoleh pada matahari dan bilang :

"terima kasih sudah mengingatkan ku" ucapku sambil tersenyum. Entah kenapa lagi-lagi aku seperti melihat matahari tersenyum manis seperti ikon smiley berwarna kuning itu.

Aku bergegas ke dapur. Mengeluarkan cucian dan membawanya ke belakang. Kebun tempat aku biasa menjemur pakaian. Kubiarkan matahari memeluk seluruh tubuhku. Aku hanya tersenyum menatap ke arahnya sambil menyipitkan mata. Silau.

"Peluklah aku, sesuka mu. Tidak mengapa jika kulitku akan menjadi gosong" ujarku padanya.

Matahari tergelak.

                                         *******************

Sabtu, 03 Juni 2017

IDE DAN MOOD LAGI TERJUN BEBAS

#30HariMenulis - Day 3
(Task : Buatlah tulisan dari sudut pandang seorang Ibu, kalau kamu bukan ibu, berimajinasilah)

Inspirasi bisa datang kapan aja. Dimana aja dan saat lagi gimana dan apa aja. Kadang pas lagi mandi cibang cibung..tinggg.. tiba-tiba ada lampu di atas kepala. Kepikiran mau nulis apa gitu. trus mulai dah ada mesin ketik di otak yang cetak cetek cetak cetek mulai ngetik cerita dengan lancar dan ngaliiir banget. 

Begitu selesai mandi rencana sih mau buru-buru ngetikin ide yang tadi udah diketik di otak. Mau dipindahin ke hengpong biar gak lupa. Eh dilalah itu aer di teko bersiul udah nguing nguiiing berisik tanda airnya dah mendidih. Jadilah ngurusin aer dulu. Matiin kompor. Sekalian ah tuang aernya ke termos. Duh aernya malah tumpah-tumpah ke lantai. Daripada ntar becek bikin kepeleset mending di lap dulu deh. 

Ujung-ujungnya terlupakanlah niat menuangkan  ide di kamar mandi tadi . Langsung aja ganti baju. Make-up an..wangi-wangian. Setelah selesai baru ngambil hp dan mulai menulis. Inget-inget lagi aja ide tadi. Hmmm...tapi kok jadi susah ya nyusunnya. 

Perasaan tadi di kamar mandi lancar jaya, plotnya udah kena banget . Duh apa kudu balik lagi neh ke kamar mandi? bila perlu nongki sejenak di wece? tapi itu emang pernah ku cobain loh. Alhasil ya tetep mentok juga. Hadeh. Seriing bener kejadian kayak gitu.

Nah, itu terjadi juga untuk mood. Pas lagi lancar-lancarnya nulis rasanya ada jutaan kata yang bisa dituangkan. Bakal banyak paragraph, bakal ada sequel, bakal bersambung.  Widiw, dengan semangat 45 ngetiiik ampe banyak. 

Tiba-tiba si Asa teriak histeri dari halaman,

"Mamaaaaahh!!..."

Aku kenal betul nada suara itu. Teriakan yang gak boleh diabaikan. Biasalah..naluri emak-emak. Langsung aja hp ditinggal dan bergegas nyamperin Asa. Kulihat dia lagi jongkok disamping bunga matahari tanemannya. Mukanya terlungkup di pangkuannya.

"Kenapa sa?

Dia diem aja. Ku hampiri, ku lihat bunga mataharinya yang sudah geletakan disamping pohonnya. Tercabik-cabik. Padahal dari kemaren Asa sudah merengek gak sabaran mau petik tapi ku bilang bijinya belum cukup tua jadi tunggu beberapa hari lagi.

Aku bisa bayangin dah perasaan Asa gimana. Bunga yang disemai sendiri, ditanem, disiramin tiap sore, pas mulai berbunga dengan bangga dia fotoin trus dipamerin ke kakaknya yang di luar kota, dia tunggu sampe itu bijinya siap buat dipetik, -Asa suka makan kuaci-, tau-tau sudah tergeletak di tanah, dicabik-cabik anak- anak bandel tanpa perasaan. Olala..how poor..

Aku gak ngomong apa-apa. Ku raih bahunya, kubantu angkat berdiri. Asa mandangin aku, mukanya bilang kalau dia marah, kesal, kecewa, butuh mengomel dan memaki panjang pendek.

Aku ngangguk, ngeyakinin dia buat mengekspresikan perasaannya. Dia buang muka, nghampiri kembangnya, dan mulai ngomelin anak-anak bandel yang menganiaya bunga kesayangannya. 

" Mamah...!!..Aku....." dia keabisan kata dan matanya udah mau nangis.

"Kesel banget ya? Mau nangis? Sini peluk mamah"

Kubentangin kedua tanganku. Pelan-pelan Asa ngedeket, meluk aku dan nangis dah. Sebentar aja. Udah itu dia langsung beresin tanemannya lagi.

Huffffhh...inilah..mom's duty. Gak banyak kan, just show you care. 

Sudah tenang, sekarang bisa lanjut lagi nulis. Pas mau mulai lagi kok mood ilang. Udah dicari di kolong meja, di langit-langit, di balik bantal, di bawah kasur, di antara bisikan angin, di pahitnya kopi klasik, di helai-helai dedaunan, di antara bintang gemintang, di antara rindu tak bertuan, di kedalaman hati mu -helehhh..hahahah..lebay- tetep aja gak ada. Mandek dah. Ya udah ditunggu lagi aja lah mood-nya.

Tapi gimana kalau tulisannya sudah ditunggu. Pake tenggat. Terpaksalah tulis aja yang bisa ditulis. Ya kayak sekarang ini nih contohnya. Aku nulis apa aja jadinya. Padahal kemaren punya ide mau terusin cerita Point Turning yang masih panjaaaaang. Karena yang kemaren itu sebenernya masih awal kisah. Belum tengahnya apalagi akhirnya.

Tapi aku sakit gara-gara keujanan, kurang nutrisi dan jarang olahraga, hehe. Tau-tau aku jadi males nerusin ceritanya. Tiba-tiba gak tau harus mulai dari mana. Gak tau mau disusun kayak apa plotnya. Hmmm..

Sudahlah. Semoga besok mood dan ide berjalan lagi seperti seharusnya. Kuambil hammock, iketin kedua ujungnya di pohon kakao, baring-baring disitu nemenin Asa berkebun. Siapa tau dapet ide lagi :D

                                               *****************

Jumat, 02 Juni 2017

TURNING POINT


#30HariMenulis - Day 2

Kubanting laporan keuangan ditanganku. Kusapu semua benda diatas meja kerjaku. Aku muak. Marah. Kesal. Kecewa. Aku lelah dengan semua ini.

Pendapatan yang terus menurun. Tagihan bank. Kesulitan pasokan. Penunggakan pembayaran. Belum lagi gaji karyawan yang harus dibayar.

Kuhempaskan tubuh di sofa. Kupejamkan mata. Apakah semua ini bisa kuatasi...aku sudah mencapai titik jenuh. Sepertinya aku butuh pergi beberapa waktu.

Kutinggalkan kantor sambil berpesan pada Selly untuk membereskan ruanganku dan membatalkan semua acaraku hari ini. Aku mau pulang.

Di rumah aku termenung sedih. Rumah ini sudah lama kosong. Istri ku pergi karena tak tahan pada ku yang gila kerja. Kami berpisah dan dia membawa serta anak-anak.

Aku tersenyum miris. Benar yang dikatakan Ayu, pada akhirnya aku hanya diperbudak pekerjaan. Dan berakhir dengan tidak memiliki apa-apa.

Teman? Aku hampir tidak punya teman. Teman ku hanyalah mereka yang ada di sekelilingku saat aku senang saja. Ketika aku terpuruk mereka selalu punya alasan untuk menghilang. Jangankan dimintai bantuan, dimintai waktu untuk curhat saja mereka enggan.

Pernah beberapa hari lalu aku minta tolong urus pengiriman barangku yang terhambat, tapi malah di oper kesana kemari.

Peraturan penambangan timah inkonvensional makin ketat. Aparat-aparat yang dulu rajin merapat ke rumahku untuk 'silaturahmi' sekarang malah ikutan merazia tambang-tambang milikku. Padahal dulu setiap ada razia mereka rajin membisiki ku.

Bankir-bankir yang rajin ikut klub lari ku agar lebih mudah melobi sekarang mulai kasak-kusuk menghitung asetku yang bisa disita. Jangankan menyetujui penambahan pinjaman..memberi penangguhan sita saja mereka sulit.

Aku muak dengan semua ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Kutelpon Thomas, orang kepercayaanku. Yang biasa menjalankan usaha bersamaku. Dia yang masih selalu setia mendampingiku dalam susah dan senang. Tidak hanya di perusahaan, dalam kehidupan pribadi pun kami sangat dekat. Aku percaya penuh padanya.

Thomas bergegas datang tak lama setelah aku menelponnya.

Dia menghela nafas panjang melihat rumah berantakan.

"Pembantu sudah lama gak pernah datang?" tanyanya.

Aku diam saja. Dia mengambil minuman dan duduk di sebelahku. Menyalakan rokoknya dan terdiam. 

"Tom...aku bosan dan muak. Aku mau meninggalkan semuanya" kataku memula percakapan. Dia masih saja diam tak bergeming. Mungkin dipikirnya aku hanya butuh meluapkan emosi seperti biasa jika ada masalah.

"Kuserahkan semuanya ke kamu, uruslah. Jual semua alat berat, bayar gaji karyawan. Tagih piutang kita dan lunasi hutang-hutang di bank. Yang tidak bisa diselamatkan biar saja disita atau usahakan jual. Tunggakan pajak dan uang bulanan anak-anakku tolong kau urus. Aku mau pergi"

Dia bergeming. Menatapku lekat-lekat. Aku membalasnya tanpa berkedip untuk meyakinkannya bahwa aku sudah bertekad bulat.

"Kita masih bisa mulai dari awal lagi." katanya

Aku menggeleng

"Capek,Tom"

Tom mencengkram lengan ku. Menatap tajam. Mencari kesungguhan dimata ku. Lalu tangannya terkulai dan dia menunduk dalam. Dia sangat mengenalku. Hafal bahasa tubuhku. Tau kalau aku bersungguh-sungguh.

"Aku ikut kamu bertahun-tahun, mas. Kamu sudah seperti kakak, guru dan orang tua buat ku. Jatuh bangun kita bersama. Aku mengagumi mu sebagai lelaki tangguh, negosiator handal dan pengusaha yang murah hati. Kamu berkali-kali gagal dan berkali kali kali kalii berjaya...aku gak percaya akan berakhir begini"

Kudengar suaranya bergetar. Ada sedikit isakan. Kutepuk bahunya. Banyak yang ingin kukatakan tapi aku hanya diam.

Pagi-pagi sekali aku sudah turun ke ruang tamu dengan membawa ransel berkapasitas 80L berisi barang-barang pribadi ku. Tom menatapku sedih.

"Aku segini saja" kataku sambil melirik ransel.

"Yang lain-lain terserah kamu"

Kuserahkan padanya setumpuk dokumen, buku rekening tabungan pribadi dan kunci-kunci.

"Aku yakin dan percaya kamu tau apa yang harus kamu lakukan." kataku mantap.

"Setidaknya bawalah mobil. Atau motor?" bujuknya. Aku menggeleng.

"Ayo antarkan aku ke bandara. Kita sarapan disana saja"

Tom mengusap wajahnya. Menutupinya sejenak. Menghempaskan nafasnya dan memandangiku tak berdaya. Aku mengangguk mantap. Akhirnya tanpa berkata-kata lagi diraihnya ranselku menuju mobil.

"Let's go!" teriaknya. Aku tersenyum gembira.

"Kabari aku ya mas kalau sudah tiba" ujar Tom sambil menyetir dalam perjalanan ke bandara. Aku menggeleng. Tersenyum.

"Aku juga meninggalkan hp ku"

"What?!!" Tom terbelalak. "Lalu gimana aku bisa menghubungi mu? Kalau aku harus buat keputusan dan butuh pendapat mu??"

Aku tertawa. Lagi-lagi kutepuk bahunya kali ini lebih keras.

"Pokoknya semua terserah kau boy"

Dia mendengus kesal. Aku pura-pura tak melihatnya.

"Nanti Tom..beri aku waktu. Kalau sudah tiba masanya, kau bolehlah kunjungi mas mu ini di kampung dan kita akan bicara banyak."

Kami tak bicara lagi..pun tidak saat sarapan di Bandara. Kami hanya berpelukan ketika sudah waktunya aku pamit untuk boarding.
 
                                                   ************

Aku terpaku dihadapan dua makam yang sudah sangat lama tak ku kunjungi. Alih-alih pulang kerumah, aku malah langsung ke pemakaman keluarga. Kusingkirkan rumput liar di atasnya. Ibu..Bapak..aku pulang. Bisikku. Sebentar saja disana lalu aku beranjak pergi.

Ada rasa enggan untuk pulang ke rumah. Disana sepi, tak ada siapapun. Rumah itu dibiarkan kosong dirawat tetangga sebelah.

Aku memilih ke perkebunan dengan diantar ojek. Tukang ojek menatapku sekilas ketika kusebut mau kemana. Mungkin dia heran ada orang segagah aku dengan ransel tingginya yang  padat pulang menuju perkebunan itu..haha.

Aku meminta tukang ojek berhenti diujung jalan dusun kecil di perkebunan itu. Karena untuk menuju pondok kebunku yang berada di bukit rasanya akan menyulitkan buat motornya yang agak tua. Aku membayarnya dan dia segera pergi.

Kutatap bukit di depanku. Dulu, duluuu sekali, disana ada rumah di tepian hutan. Bersih, asri, hijau. Dengan tangga tanah jika mau menuju ke rumah.
Rumah itu menghadap ke lembah. Diantara lembah itu ada bangunan silouette istana,  begitu jika terlihat dari kejauhan, dengan kabut menghiasi setiap pagi atau menjelang malam.

Rumah kayu dengan teras depan yang rendah. Lantai terasnya  dari batu putih yang ditata bagus. Atapnya agak menjorok agar  tidak tempias jika hujan.

Ada tanaman hias yang membatasi halaman dengan tebing yang agak curam. Di sudut ada gazebo tempat bercengkrama setelah lelah berkebun. Di tengah gazebo ada gantungan untuk hiasan. Kami menempelkan kulit kayu trembesu disana sebagai ornamen.

Kutelusuri perlahan jalan akses kesana, jalan setapak dengan batu hitam kasar.

Aku terpana saat tiba di depan pondok. Rasanya tak percaya aku ada disini lagi. Sayang keadaannya tak lagi seperti dulu. Kusam dan sedih.

Dulu disisi kanan kirinya ada landscape rumput hijau yang terawat rapih. Sekarang rumputnya tumbuh tinggi tak beraturan. Di gazebo ada kepingan bambu bergantungan yang akan menimbulkan suara saat tertiup angin. Sekarang bambu-bambu itu masih berbisik lirih seolah mengucapkan selamat datang padaku.

Rumah kayu dengan tiang kokoh dari kayu Gelam. Dulu lantai kayunya bersih, hitam karena sering digosok dengan minyak. Aku merogoh ke balik tiang yang menempel ke dinding. Dulu kami biasa menyimpan kunci disitu. Hmm..syukurlah, masih ada. Aku bergegas membuka pintu dan masuk kedalamnya. Perlahan kutatapi ruangan- ruangannya yang menyimpan banyak kenangan. 

Ruang tamu dengan kursi besar yang bisa dipakai untuk tiduran, ruang makan mungil dengan perabotan kayu harimau yang hanya di melamik tanpa cat, dan tungku dari tanah liat.

Kamar tidurnya luas. Berlantai kayu  cendana. Wangi meski berdebu dan kotor. Kuletakkan ransel ku disana. Aku baru melepas  kemeja flanel ku dan mengenakan kaos oblong ketika aku mendengar suara-suara di luar. Aku bergegas keluar.

Tiga orang pria dan seorang perempuan menghampiri ku. Kusodorkan tangan mengajak bersalaman.

"Maaf, ini mas  Ardy?" tanya pria yang lebih tua dengan sopan. Aku tersenyum mengangguk. Dia menghambur memeluk dan menepuk-nepuk punggung ku.

"Ya Allah leee..Alhamdulillah kita masih bisa bertemu disini. Alangkah lamanya kamu ndak kemari le" katanya dengan suka cita. Dia paman penggarap perkebunan yang sudah puluhan tahun ikut keluarga kami. Aku tertawa. Dia menatapku,

"Masih inget ora karo aku le?" tanyanya

"Yo inget lah Pakde, Pak Wondo, toh" jawabku. " Dulu aku suka merengek minta dibuatkan kereta sorong, ketapel atau bermacam mainan sama Pakde"

Dia tergelak senang. Lalu memperkenalkan anak dan menantunya yang sedari tadi memandangi kami. 

Aku mengungkapkan keinginanku untuk tinggal di pondok. Pak Wondo sangat senang dan menyuruh anak-anaknya membersihkan pondok.

Kami bersama-sama bekerja membereskan semuanya hingga kembali seperti mula lagi.

Aku tersenyum puas memandangi pondok yang sudah kembali cantik. Kami duduk mengobrol di gazebo sementara menantu Pak Wondo menyiapkan makanan. Lalu kami makan bersama.

Tak terasa hari mulai gelap. Mereka berpamitan dan berjanji akan datang lagi menjenguk ku. Mbak Kirah membawa kain- kain kotor untuk dicuci. Dia juga tadi sudah memasakkan air minum dan suaminya sudah mengisi bak air di kamar mandi.

Kunyalakan lampu minyak yang terdiri dari campuran minyak kelapa dan minyak sereh. Cahayanya terang dan tidak berjelaga, minyak sereh membuat aromanya wangi dan jauh dari nyamuk . 

Kuhempaskan tubuh di kursi besar itu. Penat rasanya tubuhku. Tapi pikiranku jadi lebih tenang, ringan dan segar. Suara serangga malam menemaniku menggantikan musik hingar bingar yang biasa kudengar.

Tak ada televisi, tak ada handphone, tak ada berita-berita yang memusingkan kepala. Tak ada telepon tanya ini tanya itu nego ini nego itu. Aku tersenyum membayangkan Tom mengomel karena terpaksa mengambil alih tugasku.

Kupandangi poster yang tergantung di dinding, foto Pak Soeharto dan Tri Sutrisno yang kertasnya menguning.  Dan Radio transistor tua kesayangan ibu di lemari kayu.

Tanpa sadar aku bangkit berjalan menuju radio itu. Kuraih kain lap dan berniat menyekanya. Aku tersenyum ingat dulu sering berebut menempelkan kuping disitu untuk mendengar sandiwara radio.

Kuseka debu dari badan radio yang terbuat dari kotak kayu itu. Tak sengaja aku menyentuh sesuatu dibaliknya. Kuangkat radio itu untuk melihat apa gerangan yang ada dibelakang kotak radio tua ini.

Sebuah kulit kerang. Yang sudah halus diampelas. Warnanya kehijauan sedikit berdebu. Bagian dalamnya putih mengkilap. Ada pahatan hurup. Kubersihkan debu yang menutupinya dan mendekatkan ke lampu. Aku terkesiap disitu terpahat nama ku..dan namanya,.. Mayla..

Aku ingat dia memberikan ini saat kami berduaan di sungai dibawah sana. Dan itu terakhir kali aku melihatnya.

Mayla adalah anak pemilik perkebunan yang berbatasan dengan perkebunan kami. Kami sering bertemu setiap kali sedang berada di perkebunan. Bermain bersama. Aku minta Pak Wondo membuatkan kereta sorong. Mayla akan naik diatasnya dan aku akan berlari suka cita mendorongnya. Kami tertawa tawa gembira.

Tumbuh remaja bersama, saling sayang, saling cinta. Berjalan menapaki jalan setapak menuju sungai bergandengan tangan. Berlarian di padang rumput mengejar capung atau kupu-kupu. Jika musim durian tiba, pagi-pagi buta aku sudah teriak di halaman pondoknya mengajaknya mencari durian runtuh. Terbayang olehku gelak tawanya riang saat menemukan durian bergeletakan dibawah pohon. Aku akan membukakan durian untuknya. Dan dia akan menyuapiku dengan durian yang kadang separuhnya sudah dia makan. Aiih indah nian romantisme masa remaja kami. 

Pernah kami memetik buah jambu dan berlari ketakutan ke arah sungai  dikejar mbah Mugi yang marah karena jambunya kami lempari. Bersembunyi di balik batu- batu besar sampai mbah Mugi pergi. Sementara si mbah mengomel panjang pendek mencari kami, kami malah asyik main gunting dan batu sambil cekikikan.

Berbagai kenangan berlompat lompatan di kepalaku tentangnya. Mayla ku yang manis. Mayla mungil ku. Aku sering meledek mengatainya kakinya terlalu pendek hanya separuh kaki ku. Dia membalas dengan mengolok rambut keritingku.

Aku begitu nelangsa saat ia pergi tanpa pamit, saat aku tak pernah lagi menemukannya di bukit ini. Pondok kebunnya kosong. Dia tak pernah kembali. Tak pernah mengabariku. Kata Ibu orang tuanya juga tak pernah lagi terlihat di perkebunan. Kata penggarap kebun mereka pindah keluar kota.

Aku tertidur di kursi dengan kerang kenangan itu terdekap didada ku.

Tak terasa seminggu sudah aku tinggal di pondok dan meninggalkan semuanya. Semua. Kembali ke titik nol. Aku bahkan meninggalkan handphone yang kalau dulu bagiku lebih baik ketinggalan dompet di rumah daripada ketinggalan hp. 

Hidup tenang di alam yang masih lugu. Tanpa gadget, tanpa alat elektronik, tanpa sentuhan dunia modern. Kembali ke alam. Hidup sederhana tanpa pusing berpikir bisnis dan uang.

Setiap pagi bangun tidur menyalakan api di tungku, merebus air untuk menyedu kopi yang sudah masak setelah aku selesai sholat. Lalu ngopi di gazebo sambil menunggu matahari terbit. 

Lalu membuat sarapan dan mengelilingi perkebunan. Bertemu dan mengobrol dengan penggarap. Merapihkan pondok dan memulai rencana ke depan untuk  menerapkan konsep permakultur di perkebunan ini. Sebuah konsep desain lingkungan yang mengembangkan arsitektur berkelanjutan dan sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam.

Konsep yang intinya adalah peduli bumi karena tanpa bumi yang sehat, manusia tidak bisa sejahtera. Peduli manusia agar seluruh manusia mendapatkan akses ke sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup. Dan mengembalikan surplus input dan hasil pertanian ke sistem, termasuk mengembalikan limbah pertanian dengan daur ulang. 

Untuk langkah awal, aku menggantunglan papan di halaman pondok dengan tulisan merah dari getah daun jati : NO PLASTIC AREA

                                          *************