Selasa, 06 Juni 2017

DICULIK HANTU






berkali-kali diabaikan, kalau ditambah sekali lagi itu gak apa-apa. Sungguh gak apa-apa. Aku berbalik meninggalkan mereka pelan-pelan. Berjalan menunduk menyeret kantong mainan ku ditangan kiri dan seekor burung yang sekarat ditangan kanan.


#30HariMenulis - Day 6

Tak ada yang memperhatikan ku pergi. Tidak pula ada yang perduli airmata ku yang nyaris tumpah. Mereka masih sibuk menghitung hasil panen yang mereka petik hari ini. Begitu juga Bapak dan Ibu. Ibu bahkan sempat menepis tanganku saat kutunjukkan burung kenari ku yang sekarat. Aku butuh pendapat apa yang harus kulakukan dengannya. Alih-alih menjawab Ibu malah menyingkirkan tubuhku yang menghalangi timbangan.

Tubuhku yang mungil nyaris tak terlihat menyelinap diantara para kuli perkebunan dan keluar dari kerumunan.

Aku terus saja berjalan. Pelan seolah menghitung satu persatu langkahku dan berharap di langkah kesekian ada yang memanggilku dan meminta ku kembali. Tapi sampai jauh aku berjalan, sampai letih kaki ku melangkah, tak juga ada yang memanggil. 

Tak lagi menjadi 'tidak apa-apa' kemarahan dan kecewaku meledak. Ku tumpahkan pada daun-daun dan buah kopi di sepanjang jalan setapak yang kulalui dengan menjambak dan mencabik mereka lalu menghamburkannya ke jalanan.

Aku tidak menyadari kemana arahku berjalan. Yang kurasakan hanya aku berjalan di jalan setapak yang luruuuuus jauh dengan kiri kanannya pepohonan serupa pintu gerbang melengkung yang sedang merentangkan tangannya untuk memelukku.
Sementara bunyi Tonggeret terdengar seperti hymne yang mengiringi langkah seorang putri di balairung kerajaan.

Ketika aku tersadar, hari mulai gelap. Angin senja mulai merayapi tubuhku. Aku melihat sekeliling. Hanya hamparan pohon-pohon kopi berhias buah merah hijau berkilat. Beberapa bunga kopi berwarna putih masih terlihat menghiasi serupa mahkota cantik nan wangi. Aku tidak tau berada dimana.

Tiba-tiba saja aku tak dapat melihat jalan yang tadi kulalui. Aku bahkan tidak ingat kemana barang-barang yang tadi kubawa. Aku mulai gelisah. Berpikir untuk pulang. Tapi bagaimana? Aku menyusuri barisan pohon kopi berusaha tetap lurus satu ruas. Tapi tetap saja tak ada jalan setapak tadi. Aku mulai ketakutan. Dan menangis.

Gigitan nyamuk di kulitku tak lagi ku perdulikan. Pun nyamuk-nyamuk yang merubungi seluruh tubuhku. Dingin, gelap, sendiri. Betapa kecewanya aku. Tak ada yang perduli. Apa mereka tidak merasa kehilanganku? Umurku masih lima tahun, dan mereka tidak perduli anak lima tahun sudah masuk gerbang malam begini tidak ada di rumah. Aku sungguh kecewa dan terluka.

Aku berhenti menangis. Walau masih dicekam rasa takut yang luar biasa. Seolah kegelapan menjadi sosok raksasa yang mendekapku. Belum lagi bunyi-bunyi serangga malam yang mirip seperti orang sedang mengobrol hiruk pikuk. Aku duduk meringkuk bersandar di batang kopi.

Kedinginan, letih, ketakutan, kecewa, marah dan tak berdaya membuat tubuhku serasa tak bertulang. Aku mulai mendengar suara-suara aneh. Seperti suara lebah. Kilatan-kilatan cahaya dan suara-suara tapak kaki di daun kering.

"Maylaaa....."

"Maylaaaaaaa....."

Sayup-sayup kudengar namaku dipanggil. Aku diam saja. Aku tak mampu memutuskan harus menjawab atau diam saja. Akhirnya ya aku diam saja. Pikiranku terasa kosong.

"Aku menemukan mainannya di sekitar sini" ujar seseorang.

"Benar, daun-daun dan buah kopi yang berserakan seperti sengaja di hambur juga mengarah kesini" timpal yang lain. Sinar lampu senter terlihat menyorot kesana kemari.

"Maylaaaa...." itu suara Bapak.

"Maylaaaaa..." aku mengenali suara Ibu.

Mereka terus berteriak memanggilku. Semua orang memanggilku. Untuk apa? Kenapa tadi sore mereka tak perduli. Aku sedikit lega mereka akhirnya menemukanku meringkuk ketakutan ditumpukan daun kering bersandar di batang kopi. Dengan tubuh dingin, wajah pucat dan tatapan yang kosong. Kudengar mereka saling berbisik melihat kondisi ku yang demikian bahwa aku baru saja diculik hantu.


                                     ******************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar