Jumat, 02 Juni 2017

TURNING POINT


#30HariMenulis - Day 2

Kubanting laporan keuangan ditanganku. Kusapu semua benda diatas meja kerjaku. Aku muak. Marah. Kesal. Kecewa. Aku lelah dengan semua ini.

Pendapatan yang terus menurun. Tagihan bank. Kesulitan pasokan. Penunggakan pembayaran. Belum lagi gaji karyawan yang harus dibayar.

Kuhempaskan tubuh di sofa. Kupejamkan mata. Apakah semua ini bisa kuatasi...aku sudah mencapai titik jenuh. Sepertinya aku butuh pergi beberapa waktu.

Kutinggalkan kantor sambil berpesan pada Selly untuk membereskan ruanganku dan membatalkan semua acaraku hari ini. Aku mau pulang.

Di rumah aku termenung sedih. Rumah ini sudah lama kosong. Istri ku pergi karena tak tahan pada ku yang gila kerja. Kami berpisah dan dia membawa serta anak-anak.

Aku tersenyum miris. Benar yang dikatakan Ayu, pada akhirnya aku hanya diperbudak pekerjaan. Dan berakhir dengan tidak memiliki apa-apa.

Teman? Aku hampir tidak punya teman. Teman ku hanyalah mereka yang ada di sekelilingku saat aku senang saja. Ketika aku terpuruk mereka selalu punya alasan untuk menghilang. Jangankan dimintai bantuan, dimintai waktu untuk curhat saja mereka enggan.

Pernah beberapa hari lalu aku minta tolong urus pengiriman barangku yang terhambat, tapi malah di oper kesana kemari.

Peraturan penambangan timah inkonvensional makin ketat. Aparat-aparat yang dulu rajin merapat ke rumahku untuk 'silaturahmi' sekarang malah ikutan merazia tambang-tambang milikku. Padahal dulu setiap ada razia mereka rajin membisiki ku.

Bankir-bankir yang rajin ikut klub lari ku agar lebih mudah melobi sekarang mulai kasak-kusuk menghitung asetku yang bisa disita. Jangankan menyetujui penambahan pinjaman..memberi penangguhan sita saja mereka sulit.

Aku muak dengan semua ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Kutelpon Thomas, orang kepercayaanku. Yang biasa menjalankan usaha bersamaku. Dia yang masih selalu setia mendampingiku dalam susah dan senang. Tidak hanya di perusahaan, dalam kehidupan pribadi pun kami sangat dekat. Aku percaya penuh padanya.

Thomas bergegas datang tak lama setelah aku menelponnya.

Dia menghela nafas panjang melihat rumah berantakan.

"Pembantu sudah lama gak pernah datang?" tanyanya.

Aku diam saja. Dia mengambil minuman dan duduk di sebelahku. Menyalakan rokoknya dan terdiam. 

"Tom...aku bosan dan muak. Aku mau meninggalkan semuanya" kataku memula percakapan. Dia masih saja diam tak bergeming. Mungkin dipikirnya aku hanya butuh meluapkan emosi seperti biasa jika ada masalah.

"Kuserahkan semuanya ke kamu, uruslah. Jual semua alat berat, bayar gaji karyawan. Tagih piutang kita dan lunasi hutang-hutang di bank. Yang tidak bisa diselamatkan biar saja disita atau usahakan jual. Tunggakan pajak dan uang bulanan anak-anakku tolong kau urus. Aku mau pergi"

Dia bergeming. Menatapku lekat-lekat. Aku membalasnya tanpa berkedip untuk meyakinkannya bahwa aku sudah bertekad bulat.

"Kita masih bisa mulai dari awal lagi." katanya

Aku menggeleng

"Capek,Tom"

Tom mencengkram lengan ku. Menatap tajam. Mencari kesungguhan dimata ku. Lalu tangannya terkulai dan dia menunduk dalam. Dia sangat mengenalku. Hafal bahasa tubuhku. Tau kalau aku bersungguh-sungguh.

"Aku ikut kamu bertahun-tahun, mas. Kamu sudah seperti kakak, guru dan orang tua buat ku. Jatuh bangun kita bersama. Aku mengagumi mu sebagai lelaki tangguh, negosiator handal dan pengusaha yang murah hati. Kamu berkali-kali gagal dan berkali kali kali kalii berjaya...aku gak percaya akan berakhir begini"

Kudengar suaranya bergetar. Ada sedikit isakan. Kutepuk bahunya. Banyak yang ingin kukatakan tapi aku hanya diam.

Pagi-pagi sekali aku sudah turun ke ruang tamu dengan membawa ransel berkapasitas 80L berisi barang-barang pribadi ku. Tom menatapku sedih.

"Aku segini saja" kataku sambil melirik ransel.

"Yang lain-lain terserah kamu"

Kuserahkan padanya setumpuk dokumen, buku rekening tabungan pribadi dan kunci-kunci.

"Aku yakin dan percaya kamu tau apa yang harus kamu lakukan." kataku mantap.

"Setidaknya bawalah mobil. Atau motor?" bujuknya. Aku menggeleng.

"Ayo antarkan aku ke bandara. Kita sarapan disana saja"

Tom mengusap wajahnya. Menutupinya sejenak. Menghempaskan nafasnya dan memandangiku tak berdaya. Aku mengangguk mantap. Akhirnya tanpa berkata-kata lagi diraihnya ranselku menuju mobil.

"Let's go!" teriaknya. Aku tersenyum gembira.

"Kabari aku ya mas kalau sudah tiba" ujar Tom sambil menyetir dalam perjalanan ke bandara. Aku menggeleng. Tersenyum.

"Aku juga meninggalkan hp ku"

"What?!!" Tom terbelalak. "Lalu gimana aku bisa menghubungi mu? Kalau aku harus buat keputusan dan butuh pendapat mu??"

Aku tertawa. Lagi-lagi kutepuk bahunya kali ini lebih keras.

"Pokoknya semua terserah kau boy"

Dia mendengus kesal. Aku pura-pura tak melihatnya.

"Nanti Tom..beri aku waktu. Kalau sudah tiba masanya, kau bolehlah kunjungi mas mu ini di kampung dan kita akan bicara banyak."

Kami tak bicara lagi..pun tidak saat sarapan di Bandara. Kami hanya berpelukan ketika sudah waktunya aku pamit untuk boarding.
 
                                                   ************

Aku terpaku dihadapan dua makam yang sudah sangat lama tak ku kunjungi. Alih-alih pulang kerumah, aku malah langsung ke pemakaman keluarga. Kusingkirkan rumput liar di atasnya. Ibu..Bapak..aku pulang. Bisikku. Sebentar saja disana lalu aku beranjak pergi.

Ada rasa enggan untuk pulang ke rumah. Disana sepi, tak ada siapapun. Rumah itu dibiarkan kosong dirawat tetangga sebelah.

Aku memilih ke perkebunan dengan diantar ojek. Tukang ojek menatapku sekilas ketika kusebut mau kemana. Mungkin dia heran ada orang segagah aku dengan ransel tingginya yang  padat pulang menuju perkebunan itu..haha.

Aku meminta tukang ojek berhenti diujung jalan dusun kecil di perkebunan itu. Karena untuk menuju pondok kebunku yang berada di bukit rasanya akan menyulitkan buat motornya yang agak tua. Aku membayarnya dan dia segera pergi.

Kutatap bukit di depanku. Dulu, duluuu sekali, disana ada rumah di tepian hutan. Bersih, asri, hijau. Dengan tangga tanah jika mau menuju ke rumah.
Rumah itu menghadap ke lembah. Diantara lembah itu ada bangunan silouette istana,  begitu jika terlihat dari kejauhan, dengan kabut menghiasi setiap pagi atau menjelang malam.

Rumah kayu dengan teras depan yang rendah. Lantai terasnya  dari batu putih yang ditata bagus. Atapnya agak menjorok agar  tidak tempias jika hujan.

Ada tanaman hias yang membatasi halaman dengan tebing yang agak curam. Di sudut ada gazebo tempat bercengkrama setelah lelah berkebun. Di tengah gazebo ada gantungan untuk hiasan. Kami menempelkan kulit kayu trembesu disana sebagai ornamen.

Kutelusuri perlahan jalan akses kesana, jalan setapak dengan batu hitam kasar.

Aku terpana saat tiba di depan pondok. Rasanya tak percaya aku ada disini lagi. Sayang keadaannya tak lagi seperti dulu. Kusam dan sedih.

Dulu disisi kanan kirinya ada landscape rumput hijau yang terawat rapih. Sekarang rumputnya tumbuh tinggi tak beraturan. Di gazebo ada kepingan bambu bergantungan yang akan menimbulkan suara saat tertiup angin. Sekarang bambu-bambu itu masih berbisik lirih seolah mengucapkan selamat datang padaku.

Rumah kayu dengan tiang kokoh dari kayu Gelam. Dulu lantai kayunya bersih, hitam karena sering digosok dengan minyak. Aku merogoh ke balik tiang yang menempel ke dinding. Dulu kami biasa menyimpan kunci disitu. Hmm..syukurlah, masih ada. Aku bergegas membuka pintu dan masuk kedalamnya. Perlahan kutatapi ruangan- ruangannya yang menyimpan banyak kenangan. 

Ruang tamu dengan kursi besar yang bisa dipakai untuk tiduran, ruang makan mungil dengan perabotan kayu harimau yang hanya di melamik tanpa cat, dan tungku dari tanah liat.

Kamar tidurnya luas. Berlantai kayu  cendana. Wangi meski berdebu dan kotor. Kuletakkan ransel ku disana. Aku baru melepas  kemeja flanel ku dan mengenakan kaos oblong ketika aku mendengar suara-suara di luar. Aku bergegas keluar.

Tiga orang pria dan seorang perempuan menghampiri ku. Kusodorkan tangan mengajak bersalaman.

"Maaf, ini mas  Ardy?" tanya pria yang lebih tua dengan sopan. Aku tersenyum mengangguk. Dia menghambur memeluk dan menepuk-nepuk punggung ku.

"Ya Allah leee..Alhamdulillah kita masih bisa bertemu disini. Alangkah lamanya kamu ndak kemari le" katanya dengan suka cita. Dia paman penggarap perkebunan yang sudah puluhan tahun ikut keluarga kami. Aku tertawa. Dia menatapku,

"Masih inget ora karo aku le?" tanyanya

"Yo inget lah Pakde, Pak Wondo, toh" jawabku. " Dulu aku suka merengek minta dibuatkan kereta sorong, ketapel atau bermacam mainan sama Pakde"

Dia tergelak senang. Lalu memperkenalkan anak dan menantunya yang sedari tadi memandangi kami. 

Aku mengungkapkan keinginanku untuk tinggal di pondok. Pak Wondo sangat senang dan menyuruh anak-anaknya membersihkan pondok.

Kami bersama-sama bekerja membereskan semuanya hingga kembali seperti mula lagi.

Aku tersenyum puas memandangi pondok yang sudah kembali cantik. Kami duduk mengobrol di gazebo sementara menantu Pak Wondo menyiapkan makanan. Lalu kami makan bersama.

Tak terasa hari mulai gelap. Mereka berpamitan dan berjanji akan datang lagi menjenguk ku. Mbak Kirah membawa kain- kain kotor untuk dicuci. Dia juga tadi sudah memasakkan air minum dan suaminya sudah mengisi bak air di kamar mandi.

Kunyalakan lampu minyak yang terdiri dari campuran minyak kelapa dan minyak sereh. Cahayanya terang dan tidak berjelaga, minyak sereh membuat aromanya wangi dan jauh dari nyamuk . 

Kuhempaskan tubuh di kursi besar itu. Penat rasanya tubuhku. Tapi pikiranku jadi lebih tenang, ringan dan segar. Suara serangga malam menemaniku menggantikan musik hingar bingar yang biasa kudengar.

Tak ada televisi, tak ada handphone, tak ada berita-berita yang memusingkan kepala. Tak ada telepon tanya ini tanya itu nego ini nego itu. Aku tersenyum membayangkan Tom mengomel karena terpaksa mengambil alih tugasku.

Kupandangi poster yang tergantung di dinding, foto Pak Soeharto dan Tri Sutrisno yang kertasnya menguning.  Dan Radio transistor tua kesayangan ibu di lemari kayu.

Tanpa sadar aku bangkit berjalan menuju radio itu. Kuraih kain lap dan berniat menyekanya. Aku tersenyum ingat dulu sering berebut menempelkan kuping disitu untuk mendengar sandiwara radio.

Kuseka debu dari badan radio yang terbuat dari kotak kayu itu. Tak sengaja aku menyentuh sesuatu dibaliknya. Kuangkat radio itu untuk melihat apa gerangan yang ada dibelakang kotak radio tua ini.

Sebuah kulit kerang. Yang sudah halus diampelas. Warnanya kehijauan sedikit berdebu. Bagian dalamnya putih mengkilap. Ada pahatan hurup. Kubersihkan debu yang menutupinya dan mendekatkan ke lampu. Aku terkesiap disitu terpahat nama ku..dan namanya,.. Mayla..

Aku ingat dia memberikan ini saat kami berduaan di sungai dibawah sana. Dan itu terakhir kali aku melihatnya.

Mayla adalah anak pemilik perkebunan yang berbatasan dengan perkebunan kami. Kami sering bertemu setiap kali sedang berada di perkebunan. Bermain bersama. Aku minta Pak Wondo membuatkan kereta sorong. Mayla akan naik diatasnya dan aku akan berlari suka cita mendorongnya. Kami tertawa tawa gembira.

Tumbuh remaja bersama, saling sayang, saling cinta. Berjalan menapaki jalan setapak menuju sungai bergandengan tangan. Berlarian di padang rumput mengejar capung atau kupu-kupu. Jika musim durian tiba, pagi-pagi buta aku sudah teriak di halaman pondoknya mengajaknya mencari durian runtuh. Terbayang olehku gelak tawanya riang saat menemukan durian bergeletakan dibawah pohon. Aku akan membukakan durian untuknya. Dan dia akan menyuapiku dengan durian yang kadang separuhnya sudah dia makan. Aiih indah nian romantisme masa remaja kami. 

Pernah kami memetik buah jambu dan berlari ketakutan ke arah sungai  dikejar mbah Mugi yang marah karena jambunya kami lempari. Bersembunyi di balik batu- batu besar sampai mbah Mugi pergi. Sementara si mbah mengomel panjang pendek mencari kami, kami malah asyik main gunting dan batu sambil cekikikan.

Berbagai kenangan berlompat lompatan di kepalaku tentangnya. Mayla ku yang manis. Mayla mungil ku. Aku sering meledek mengatainya kakinya terlalu pendek hanya separuh kaki ku. Dia membalas dengan mengolok rambut keritingku.

Aku begitu nelangsa saat ia pergi tanpa pamit, saat aku tak pernah lagi menemukannya di bukit ini. Pondok kebunnya kosong. Dia tak pernah kembali. Tak pernah mengabariku. Kata Ibu orang tuanya juga tak pernah lagi terlihat di perkebunan. Kata penggarap kebun mereka pindah keluar kota.

Aku tertidur di kursi dengan kerang kenangan itu terdekap didada ku.

Tak terasa seminggu sudah aku tinggal di pondok dan meninggalkan semuanya. Semua. Kembali ke titik nol. Aku bahkan meninggalkan handphone yang kalau dulu bagiku lebih baik ketinggalan dompet di rumah daripada ketinggalan hp. 

Hidup tenang di alam yang masih lugu. Tanpa gadget, tanpa alat elektronik, tanpa sentuhan dunia modern. Kembali ke alam. Hidup sederhana tanpa pusing berpikir bisnis dan uang.

Setiap pagi bangun tidur menyalakan api di tungku, merebus air untuk menyedu kopi yang sudah masak setelah aku selesai sholat. Lalu ngopi di gazebo sambil menunggu matahari terbit. 

Lalu membuat sarapan dan mengelilingi perkebunan. Bertemu dan mengobrol dengan penggarap. Merapihkan pondok dan memulai rencana ke depan untuk  menerapkan konsep permakultur di perkebunan ini. Sebuah konsep desain lingkungan yang mengembangkan arsitektur berkelanjutan dan sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam.

Konsep yang intinya adalah peduli bumi karena tanpa bumi yang sehat, manusia tidak bisa sejahtera. Peduli manusia agar seluruh manusia mendapatkan akses ke sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup. Dan mengembalikan surplus input dan hasil pertanian ke sistem, termasuk mengembalikan limbah pertanian dengan daur ulang. 

Untuk langkah awal, aku menggantunglan papan di halaman pondok dengan tulisan merah dari getah daun jati : NO PLASTIC AREA

                                          *************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar