Jumat, 28 September 2018

IBU

Beberapa bulan yang lalu aku datang untuk melayat almarhum bapak. Ibu yang menemuiku tersenyum manis dan kurasakan sangat tulus. 

"Amilia, ya?" tanyanya  memastikan saat menyambut salamku.

Aku tersenyum sumringah seraya mengangguk. Dalam hati aku mencoba mengingat-ingat, seberapa sering aku dulu berinteraksi dengan Ibu hingga setelah lebih dari 25th Ia masih mengingatku, bahkan nama panjangku yang tidak banyak orang tau. Aku malah tidak mengingat satu momen pun pernah bertemu Ibu. Ahh..Ibu, bagaimana bisa.

Ibu mempersilahkanku duduk dan bertanya kabarku dengan ramah. Aku menjawabnya dengan tersipu karena beberapa tamu lain ikut memperhatikanku sambil bertanya-tanya siapa aku.

Ibu menjelaskan bahwa aku teman Ivan anaknya lalu menyebutkan nama ayahku, pemilik persawahan yang tak jauh dari rumah Ibu. Tamu yang bertanya mengangguk faham karena mereka juga mengenal Ayah.

Dalam suasana duka karena kematian bapak yang mendadak, aku tidak banyak bicara. Duduk diam diantara pelayat yang lain. Tapi aku selalu tertarik memperhatikan Ibu. Wanita tua yang sebaya dengan almarhum Ibuku. Wajahnya terlihat sangat damai. Senyumnya yang tulus ikhlas seolah tak terampas oleh duka kehilangan suami tercinta. Aku bahkan baru tau ternyata Ibu dalam keadaan lumpuh dan selalu sakit-sakitan. Meski sering sakit tapi Ibu terlihat sehat dengan kulit wajah yang tetap kencang putih berseri. Tampil dengan pakaian sederhana  Ia terlihat sangat bersahaja.

Pagi ini aku datang kembali ke rumah temanku Ivan. Dengan tujuan yang sama, melayat.

Aku datang seorang diri. Rumah duka masih ramai karena jenazah belum dikebumikan. Di halaman rumah tampak ramai pelayat laki-laki duduk mengobrol. Aku masuk lewat pintu samping. Seorang nenek meminta ibu-ibu pelayat yang menumpuk di ruangan samping memberikan jalan untuk ku lewat menuju ruang tengah tempat jenazah dibaringkan.

Aku duduk di hadapan jenazah dan berdoa. Selesai berdoa kusingkapkan kain penutup wajah jenazah. Subhanallah, wajah penuh ikhlas itu seperti sedang tertidur dalam damai. Aku tersenyum seolah sedang membalas senyumnya.

"Selamat jalan, Ibu. Semoga husnul khotimah dan Allah memberikan tempat terbaik untuk mu, aamiin" bisikku dan perlahan menutup kain penutup wajahnya.


                        *******

Sabtu, 27 Januari 2018

INGIN IKUT PULANG

Hari sudah sore ditandai makin ramainya suara tonggeret yang riuh menjerit menghiasi senja menyambut malam. Matahari sudah sejak tadi tergelincir. Gerimis kecil mulai menitik satu satu membasahi dedaunan.


Aku bergegas membereskan barang barang bawaanku dan beranjak dari pondok melalui sela sela batang kopi menuju tempat aku memarkirkan motorku. Tanpa sengaja mataku tertumbuk pada makam kecil tak jauh dari tempatku lewat ketika datang tadi. Aku tersenyum senang memandang makam itu dirawat dengan baik oleh penjaga kebun. Sepertinya baru saja dibersihkan. Tanahnya merah segar tanpa rumput.


Makam itu hanya ditandai dengan botol di sisi kepala dan kakinya. Tak tampak gundukan tanah sebagai ciri itu sebuah makam. Yang kuingat dulu Ayah pernah bilang itu adalah makam kakak sepupuku yang meninggal saat kanak-kanak. Aku lupa siapa namanya. Tapi ingat kalau dulu saat aku kecil sering bertengkar dengan kakakku yang sama-sama berebut mengakui bahwa foto kakak sepupu ini adalah foto kami. Foto anak perempuan kecil yang putih mungil dengan rambut kucir kelapanya yang lucu.


Setengah berlari aku melalui makam itu karena gerimis semakin lebat. Kunyalakan motor dan bergegas ke pondok tetangga untuk berteduh. Hujan ternyata tak lama. Aku pun segera pulang ke rumah karena khawatir kemalaman.


Baru beberapa ratus meter kukendarai motorku, aku sudah merasa kaki kiriku seperti lemas dan dingin. Kupikir karena kehujanan dan sempat lari-lari tadi. Kuabaikan saja rasa itu dan sibuk menyapa penduduk kampung yang kulalui.


Setelah melewati perkampungan aku merasa kaki kiriku sangat berat seperti diganduli beban. Wah jangan jangan kram nih, pikirku. Kucoba kebas kebaskan. Tapi sama sekali tidak mengurangi rasa berat itu. Aku melajukan motorku pelan karena khawatir terpeleset di jalan setapak yang agak becek karena hujan. Sementara rasa berat di kakiku makin terasa dan bulu kudukku sedikit meremang melalui jalanan yang kiri kanannya diapit perkebunan kopi serta mulai gelap dan sangat sepi.


Tiba-tiba seperti ada angin menepuk lengan atasku. Agak terkejut aku memperlambat laju motorku. Dan bertambah terkejut saat tanpa sengaja aku seolah melihat bayangan samar sesosok anak kecil bergelayut di kaki kiriku. Astaghfirullahaladziim..


Aku meyakinkan diriku kalau itu hanya halusinasi belaka dari pikiran negatif saja. Kuabaikan pikiran itu dan berusaha tetap tenang. Tak lama lagi setelah melalui jalanan berbatu ini aku akan sampai ke jalan raya dan perkampungan yang padat penduduk. Pasti tadi aku sedang terbawa suasana jalan setapak perkebunan yang sepi hingga melihat yang tidak-tidak, pikirku. Tapi aihhh, tak bisa kuhindari aku seolah sedang mendengar seseorang berkata padaku bahwa sesuatu atau seseorang menyukaiku dan ingin ikut pulang, suara itu menyarankan untuk membaca ayat kursi berulang ulang sepanjang jalan. Aku yakin itu suara hati kecilku.  Aku menurut dan mulai membaca ayat kursi. Sesekali aku juga meminta pada sesuatu yang membuat kakiku terasa berat untuk melepaskan pegangannya di kakiku. Aku memohon Tuhan menjaga dan melindungiku.


Kira-kira dua ratus meter menjelang jalan raya, berat di kaki kiriku hilang begitu saja. Ringan rasanya. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Lega dan makin tenang. Tak lama, di depanku dari jauh kulihat seorang anak berlari riang lalu berdiri di pinggir jalan seperti sedang menungguku lewat. Tapi makin dekat dia terlihat makin jauh dari pinggir jalan setapak. Padahal dia tidak bergerak, hanya berdiri diam sedikit menundukkan wajahnya. Aku tidak terlalu perduli, kupikir itu pasti anak anak kampung karena sudah dekat perkampungan. Kulalui saja anak itu sambil melihat sekilas karena konsentrasiku tertuju pada jalan raya yang mulai terlihat.

Sekali lagi aku bernafas lega setelah berhasil keluar dari jalan setapak perkebunan yang sepi. Masih sekitar 8km lagi untuk tiba di rumahku. Tiba-tiba aku terkesiap, hatiku berdegub kencang, aku ingat anak kecil yang kulalui tadi. Aku tidak melihat jelas wajahnya. Tapi aku melihat rambutnya yang dikucir seperti pohon kelapa, dengan poni menutupi dahi. Uffhhh....



                       ****************

#note : cerita ini hanya fiksi :D

--
AMI MUSTAFA

Selasa, 23 Januari 2018

TULISAN DALAM SECANGKIR KOPI


Apa yang kamu harapkan dari pekatnya kopi hitam di hadapanmu?

Tak ada yang bisa kau lihat di sana selain pantulan samar wajahmu dan kepulan asapnya yang sebentar kemudian akan hilang. Karena hitam itu memang tak pernah menjanjikan apapun. Bahkan kadang aromanya terasa terlalu sengak.


Tapi entah kenapa selalu saja kopi hitam itu yang kau jadikan teman setiap waktu. Tak peduli meski lambungmu meronta dan berontak muak. Kopi hitam pahit itu saja yang menjadi teman baik saat senang maupun sedih mu. Dia yang tak pernah mendengus sinis saat kau bahagia dan tak pernah bertepuk tangan saat kau menangis.


Dia yang pahit dan tak pernah mengaku manis. Tetap jujur dengan pahitnya saat membuatmu merasa terinspirasi. Tetap setia dengan pahitnya menemanimu saat kau butuh ditemani. Ikhlas dengan pahitnya saat kau butuh tambahan semangat. Dan tak pernah ingkar dalam tumpukan ampasnya.


Dalam bekunya pagi, aromanya riang menyapa air seduhan yang bergolak. Menyoraki dan membakar semangatmu menjalani hari. Lagi lagi kopi hitam itu yang kau pilih menemanimu memilin awal jalinan hari. Hingga malam memeluk penatmu, ia pula yang menjadi muara kisah harimu tanpa kedustaan.


Apalah arti pekatnya secangkir kopi hitam di hadapanmu itu?

Pekat yang tak bisa kau tulisi dengan tinta putih. Tapi mampu menyerap semua rasa yang kau inginkan tertuang.

Dalam setiap sesapan kau kunyahkan kekesalan dan kemarahan. Dalam setiap tegukan kau kisahkan kegembiraan. Meski pada akhir ampas kau curahkan sepahnya.


Entahlah,...

Kamu sendiri tak pernah tau apa yang kau harap dari pekatnya. Kamu tak pernah meyakini apa artinya selama ini bagimu. 

Benarlah,...

Rasai saja, nikmati saja.

Kopimu dalam harimu


                 *****************


 



--
AMI MUSTAFA

Minggu, 21 Januari 2018

RESAH


Mungkin malam sudah mulai bosan

Ketika kutulisi kelamnya dengan sedu sedan

Bahkan gemintang mulai kesal

Karena kugeser tempatnya dengan coretan


Dan telaga sunyi mengelak

Saat terlalu banyak airmata buncah

Kutuangkan didalamnya dengan bergolak

Pada rindu yang tak pernah sudah


Bisa kukumpulkan beribu teman

Hanya dengan sepercik senyuman

Lalu kepada siapa akan bertuan

Hati sunyi yang selalu berderai airmata


Berkawan secangkir kopi hitam

Kuluruhkan kesah di hati yang basah

Sementara embun malam tergelak

Pada kelu yang belenggu lidah


Dalam mimpimu aku ingin menari

Sembari menangis merobek jiwa

Kuleburkan seluruh isi hati

Berpeluk dalam janji yang tak pasti


              ******************



--
AMI MUSTAFA

Rabu, 17 Januari 2018

MENUNGGU LIAR

#30HariMenulis

Day 8 - 07-06-2016

Menulis FIKSI, dimulai dengan kalimat "Ternyata ia belum mati ..."

Ternyata Ia belum mati..berdenyut liar di bawah sana, menunggu lengah mereka. Menyeringai licik seraya bergerak perlahan dan menghimpun kekuatan. Membiarkan orang-orang itu membusungkan dada dengan bangga dan berkata kalau mereka sudah terbebas. Dan membawa pulang tubuh letih mereka yang seharian tanpa henti membantu pemadaman.

"kenapa tak kau sudahi saja semua ini?" saudaranya si biru lembut dan bersahabat pernah menanyakan perihal kegigihannya bertahan.

"Ini di luar kendali ku..mereka yang memulai menugaskan aku menciptakan petaka ini" tukasnya 

"di dukung oleh dosa-dosa sebagian dari mereka sendiri aku bisa bertahan meski untuk sementara bersembunyi dulu di sini".

"Lalu akan sampai kapan?"

"Nanti..sampai nanti jika langit menangis membasahi lahan-lahan gambut itu dan menenangkan jiwaku" jawabnya ketus.

"Aku heran, bagaimana kau bisa bertahan seperti itu?" si biru lembut bertanya lagi. Si Merah mendengus.

"Kau tahu, kedalaman lapisan gambut  di area ini bisa mencapai 10--20m, aku masih dapat bersembunyi  sampai di kedalaman 5 meter, meskipun di permukaan tanah terlihat sudah tidak ada, tapi aku bisa tetap menjalar di bawah tanah dan nanti akan muncul lagi ke permukaan".

"Bagaimana kau bisa setega itu?" pekik si biru

"Aku?? Tega???" si merah meraung marah.

"Dengar ya saudaraku, Berhentilah menyalahkan ku. Aku sama saja sepertimu. Mulanya aku juga teman mereka, aku hanya membantu mereka. Tapi merekalah yang akhirnya membuatku jadi musuh mereka"

Si Biru terdiam. Benar yang dikatakan saudaranya, si Merah. Mereka bersahabat ketika kecil tapi jika besar dan tak terkendali, mereka bisa menjadi musuh.

Ketika musibah tahunan kabut asap yang terjadi di Riau berulang dan korban berjatuhan, mereka lah yang disalahkan dan dimaki. Dikejar, dihalau dan disemprot. Sampai mereka kucar-kacir, sebagian padam dan beberapa sembunyi di kedalaman lahan gambut, lalu  kembali menyala, menjalar dan membakar tanah gambut yang sengaja dikeringkan oleh manusia itu sendiri demi memuaskan kerakusan mereka membuka lahan dan merusak ekosistem. Lalu menghasilkan kabut asap yang membuat heboh negara ini. Tidak hanya negara ini tapi juga negara tetangga yang terkena dampak kabut asap.

Langit Riau tertutup. Penyakit ISPA menelan puluhan ribu jiwa. Maskapai penerbangan tidak beroperasi. Jarak pandang terbatas. Sekolah -sekolah terpaksa diliburkan. Belum lagi banyaknya kegiatan ekonomi masyarakat yang terhambat.

Orang-orang diturunkan ke lahan yang terbakar untuk membantu pemadaman. Tapi saudaraku yang sudah bertebaran menempati banyak titik tak semudah itu dihabisi. Mereka butuh menggali dan memadamkan saudara-saudaraku dengan menyemprotkan air di kedalaman sampai 5 meter. Dan itu sungguh tidak mudah. Selain butuh alat dan air dalam jumlah banyak juga butuh tenaga yang tidak sedikit.

Pun jika manusia-manusia itu melakukan pemadaman dengan mengalirkan air agar membasahi lahan gambut itu sungguh sulit jika lahan tersebut tidak dekat dengan aliran sungai yang memiliki debit air yang besar.

Akhirnya kabut asap yang ditimbulkan oleh gerakan bawah tanahnya saudara-saudaraku  Sang Jago Merah bertahan hingga berbulan-bulan. Dan orang-orang memaki kami sebagai biang keladi. Mereka berandai-andai punya avatar pengendali api atau pengendali air agar bisa menurunkan hujan lokal sederas-derasnya agar api di dalam lahan gambut mereka benar-benar habis padam.

Jika panas tidak selama dan seterik sekarang, jika lahan-lahan gambut itu tidak dikeringkan, jika manusia tidak serakah mencari jalan mudah dengan membakar lahan, jika saja musim penghujan segera tiba mungkin derita kabut asap di langit Riau tak akan sebegitu lama. Dan saudara ku si jago merah akan berhenti membuat asap dimana-mana.

Malam merambat gelisah. Sisa-sisa pembakaran masih mengepul dimana-mana. Menutup langit, bahkan embun malam tak leluasa menitik ke bumi terhalang asap yang membentangi alam. Di sebuah lahan gambut yang siang tadi ramai didatangi sukarelawan pengendali kebakaran, setitik cahaya perlahan merambat liar, menari bersama angin malam. Mendesah, meliuk dengan seksi menjulurkan lidahnya menelusuri sekujur tubuh alam, dan lalu bayang putih membumbung tinggi ke udara..kabut asap....

                   *************


[repost from qberitakan by amimustafa]

--
AMI MUSTAFA

ARA

Kembali dari perangku meski tanpa bentuk

Jika belum tiba waktu janji

Biar setan belang hantu belau

Tak bisa memaksa meragah sukmaku


Lalu apa lagi yang d takutkan

Tidak dia, mereka, juga kau!!

Tak peduli yang tersirat dan tersurat

Tak peduli coreng moreng yang tergurat


Apa lagi yang ditakutkan

Jika bahkan maut enggan mendekap

Belajar dari serumpun ilalang

Yang tercerabut tapi kembali tumbuh esok pagi


Bahkan sebatang kayu ara sanggup tumbuh di sela bebatuan padas


[repost my fb-note]

--
AMI MUSTAFA

Senin, 15 Januari 2018

MAKAN SIANG TERAKHIR (repost)

#30HariMenulis, Day 10 
- Tulislah cerita dengan setting waktu PRA KEMERDEKAAN sekitar tahun 1940-1945 -
                   ________________
Ahiok makan dengan lahap lempah kuneng yang dimasak Amma-nya. Ini menu langka. Jarang sekali Amma bisa menyajikan menu sehebat ini. Lempah kuneng ikan mayong, rebus pucuk ubi dan rusip. Rusip adalah olahan ikan teri yang sudah difermentasi. Biasanya disajikan mentah dengan irisan bawang merah dan cabe rawit. Dicocol dengan rebusan daun singkong dan dimakan saat lapar dan lelah sehabis bekerja di tambang, hmmm...benar-benar nikmat.

" Ma, nek agik (:mau lagi) kuah lempah ni ma..nyamen (enak) wo masakan amma ni " pujinya sambil menghirup kuah lempah kunengnya. Sambil menyeka keringat yang membasahi dahi. 

" Lah, jadilah, yok. Appa ka lom kebagian" Amma menolak menambah isi mangkuk Ahiok. Karena memang masakan yang dibuatnya tidak banyak. Butuh ketegasan baginya agar bisa memastikan seluruh anggota keluarga kebagian jatah makan yang memang minim.

"Aoklah pun (Baiklah). Appa lom pulang e? lame ge appa ni"

Biasanya appa-nya pergi ke kolong (lubang besar tambang timah)  bersama dengannya mencari timah. Tapi hari ini adalah hari jumat jadwal Nam Lie, ayah Ahiok menyetor timah ke gudang Babah Asiung. Itulah sebabnya Thaiji Awe, ibunya, bisa memasak menu luar biasa hari ini. Menyetor timah ke gudang berarti pemasukan uang ke kantong.

"Tadik appa ka la pulang, sudeh mawak (:membawa) laok buat dimasak die pergi lagi ke rumah Babah Asiung" jelas Amma-nya.

Sebenarnya Thaiji Awe sudah mulai gelisah mengingat suaminya pergi sudah cukup lama. Apa kiranya keperluan Babah Asiung memanggil suaminya. Thaiji Awe sebenarnya kurang suka suaminya bergaul dengan Babah Asiung diluar urusan jual beli timah. Karena selentingan kabar didengarnya kalau Babah Asiung sering membantu perjuangan Laskar Bangso Kawa melawan penjajah.

Mereka hanya rakyat kecil yang lemah. Cukuplah baginya suaminya mengurus perut keluarga saja. Dia ngeri membayangkan kekejaman tentara-tentara Belanda itu terhadap orang yang mereka curigai membantu Laskar Bangso Kawa.

"Assalamualaikum..."  tiba-tiba terdengar suara lembut namun terkesan ketakutan dari luar rumah

"Thaijii...Assalamualaikuum.."

"Yaaa..Waalaikumsalam.." dibukakannya pintu dan dilihatnya Amnah, kembang desa anak Pak Ustad Abdul Majid atau Atok Majid, datang tergesa-gesa dengan wajah pucat pasi.

"Amnah..ade ape?? masuklah"

Amnah bergegas masuk dan langsung menutup pintu kembali. Ahiok melongokkan kepala ke ruang tamu.

"Waalaikumsalam Amnah.." Ahok menjawab salam sambil mencuci tangan menyudahi makan siangnya. Lalu beranjak ke ruang depan. Tapi Amnah mengajaknya dan Amma kembali ke ruang makan dengan ketakutan.

"Ade ape, Amnah?" tanyanya heran melihat wajah Amnah yang ketakutan. "Ka la macem nengok (melihat) mawang (hantu) bai"

"Thaiji.., Ahiok.., aku baru saja dengar dari bapakku kalau Babah Asiung dibawa orang-orang Belanda. Rumah mereka direbut. Babah Asiung, keluarganya, para pekerjanya ditangkap. Dan termasuk juga Appa ka, Ahiok"

Bagai disambar petir di siang bolong Ahiok terkejut setengah mati. Kenapa Appa-nya ikut ditangkap? Apa karena kebetulan sedang berada disana saat kejadian penangkapan Babah Asiung? Ah sial sekali Appa.

"Ape kisaah...ngapa ko Nam ditangkap? " Thaiji Awe langsung teriak histeri. "Ahioook... cemane ni...??' cemane appa ka..ahioookk??"

Amnah dan Ahiok buru-buru menenangkannya. Mereka khawatir teriakan Thaiji Awe mengundang keributan dan memancing kedatangan orang-orang ke rumah mereka.

"Bapakku bilang kalau appa ka terlibat kek orang-orang Laskar Bangso Kawa. Selame ni appa ka bantu mereka jadi kurir.." jelas Amnah.

"Dari mane Atok Majid tau? Selame ni appa ku dak suah ( :tak pernah) kemana lah selaen ke kolong" bantah Ahiok. "Paling-paling gi pasar atau setor timah ke gudang Babah Asiung"

Sebenarnya beberapa kali ada juga Appa pergi menyebrang ke pulau Bangka bersama Babah Asiung untuk membeli alat menambang yang rusak. Tapi untuk menjadi kurir rasanya tidak mungkin. Appa adalah lelaki yang tidak banyak bergaul dan pendiam. Dia selalu fokus bekerja sebagai kuli timah dan jarang bertemu dengan orang-orang apalagi berkumpul-kumpul. Tubuhnya yang kecil ringkih hitam terbakar matahari dan wajahnya yang terlihat lemah terasa jauh sekali dari figur seorang pejuang.

"Ku dak tau kisah" tukas Amnah. "Pokok e kate bapak cepatlah ikak (:kamu/kalian) berkemas. Datanglah ke rumah kami. Bawa bekal secukup e bai"

Setelah itu Amnah bergegas pamit pulang meninggalkan Thaiji Awe dan Ahiok yang masih kebingungan.

Sepeninggal Amnah, mereka segera berkemas dengan sejuta rasa cemas. Tak banyak yang mereka bawa karena sebagai kuli timah hidup mereka terbilang miskin. Lalu mereka pergi menuju rumah Ustad Majid diujung kampung.

Atok Majid yang sudah menunggu kedatangan mereka duduk bersila di pondok mengaji di belakang rumahnya. Ahiok dan Thaiji Awe segera masuk dan memberi salam. Thaiji Awe bersimpuh di hadapan Atok Majid. Lelaki ini lah yang dulu menjodohkannya dengan Nam Lie yang saat itu baru menjadi mualaf.

Nam Lie, lelaki dari negeri Tiongkok yang mengadu nasib datang ke Belitong mengandalkan keahliannya mencari bijih timah. Yang mengira tanah Belitong akan mampu merubah nasibnya. Tapi sayangnya, jauh-jauh datang dari seberang dia malah jadi bulan-bulanan tentara Belanda, terjerat hutang pada tauke dan akhirnya diselamatkan oleh Atok Majid. Nam Lie tinggal di pondok mengaji Atok menjadi petugas kebersihan dan membantu pekerjaan-pekerjaan Atok. Atok menyukai Nam Lie yang rajin dan jujur lalu akhirnya menjodohkannya dengan Awwaliyah, keponakannya.

"Macam mane kisah ni, Atok..ape hal ko Nam pacak ditangkep? Dimane die kini? macem mane tok nasib kami ne kalau dakde ko Nam ?" Awe mulai meratap.

"Sudahlah, We..jangan ka cari jawab e. Pokoknya sekarang ini, sedikit ka tahu itu lebih baik. Ka turut bai aku." ujar Atok.

"Tapi macam mana nasib appa Ahiok, Atok?"

"Orang-orang Laskar Bangso Kawa akan mencari keberadaannya dan pasti akan berusaha menyelamatkannya." jawab Atok. "kita berdoa saja, semoga Nam selalu dilindungi Allah..begitu juga kita semua"

"Awwaliyah..." Atok Majid menepuk pundaknya "Ka sabarlah. Ini bagian dari resiko perjuangan, suami ka selama ini dipilih ketua Laskar Bangso Kawa mengemban tugas mulia. Identitasnya ternyata diketahui Belanda dan dia sudah jadi target mereka sejak lama." Tak tahan juak rupanya Atok menyimpan rahasia ini lama-lama. Lagipula Awe dan Ahiok perlu juga tahu tentang ini.

Awe dan Ahiok terkejut mendengar penjelasan Atok. Terlebih Awe, selama ini suaminya tak pernah cerita apà pun. Tak nampak gelagat apa pun tentang kegiatan perjuangan Nam Lie.

"Sejak kapan Appa membantu mereka, Atok?" Ahiok yang sedari tadi diam penasaran angkat bicara.

"Sejak Ia diselamatkan ketua Laskar Bangso Kawa dan dinikahkan dengan keponakannya."

Thaiji Awe dan Ahiok sama-sama ternganga. Jadi Atok Majid adalah...??

Sesuai rencana tepat dini hari mereka berombongan berangkat ke Sijoek. Ahiok memandangi kampungnya untuk terakhir kali. Samar-samar bibirnya tersenyum teringat makan siangnya kemarin. Makan siang terakhir dalam kedamaian. Mungkin esok lusa ia bahkan tak kan sempat lagi makan siang dengan tenang.

Keesokan harinya, Sabtu, 28 Februari 1942, Jepang melakukan serangan udara terhadap Belitong. Ini menimbulkan kepanikan luar biasa, sekolah ditutup, orang-orang kota bersembunyi ke hutan dan kampung-kampung. Dan terkoyaklah damai itu.

              ************************


NOTE :
[repost. tulisan ini pernah diposting disitus lain untuk memenuhi tugas dari kegiatan #30HariMenulis]
--
AMI MUSTAFA

Jumat, 05 Januari 2018

BAHAGIA SENYAP DI DADAMU

Yang kulakukan hanya terdiam
Dan memandangimu
Seraya memeluk kenangan tentang kita yang berlalu lalang d kepalaku
Berlompatan dari satu keindahan ke keindahan lainnya
Memulas bahagia dengan senyum dan tawa kita

Jangan sematkan luka disana
Jikapun ada goresan yang tak sengaja
Maka ketulusan akan membasuhnya segera
Satu dua tiga dan banyak kecupan serta cinta
Tak lekang meski rindu kelabu berjelaga dalam sunyi

Hujan rintik-rintik yang menghiasi malam
Tak sanggup menyembunyikan indah sang kelam
Seperti aku yang tetap bisa merasakan
Peluk eratmu pada hati dan jiwaku
Hangatnya merayapi seluruh tubuh hingga hilang kesah

Selimuti aku dari dingin yang mencengkram
Setelah habis secangkir arabica yang hadirkan engkau
Eratkan simpul rasa kita di dadaku
Dan baringkan jiwamu d sampingku
Lalu menyelusuplah dalam mimpi indahku


                   *************

*Lov u*


Kamis, 04 Januari 2018

MEMBELI SENYUM

Ibu, maukah kau membeli senyumku?


Tentu nak, berapa harga yang harus ibu bayar?


Sangat mahal bu, tapi sangat mudah


Katakan nak


Ikutlah denganku, temani aku


Nak, tentu kau tahu itu sangat sulit


Sulitkah ketika ibu menemani teman ibu?


Nak...


Ini aku bu, anakmu, yang meminta


Tapi nak..


Pernahkah ibu mengatakan tapi pada mereka?


Kau tau situasinya berbeda


Lalu, terlalu mahalkah permintaanku, bu?


Aku bahkan pernah mempertaruhkan 


nyawaku untukmu nak


Lalu terlalu serakahkah aku jika hanya meminta d temani seperti dulu bu


Nak, cobalah mengerti


Aku mengerti saat ibu menghabiskan waktu bersama mereka


Tapi ibu selalu ada kapan saja kau ingin


Itulah sebabny sekarang aku ingin sekarang ibu bersamaku


Nak, saat ini..


Bu..aku lebih suka saat kita d tempat yang dulu, dimana kita bisa bersenang-senang bersama


Bukankah saat ini kita selalu bersama?


Hanya satu atap, dan itu berbeda


Anakku, kau sangat tau betapa ibu menyayangimu


Maka itu, kali ini saja, marilah bersamaku


Nak,...


Jangan membuatku menyesal telah datang kesini


Ah, nak... ya sudahlah..mari ibu temani


Ibu, tutuplah matamu, jangan lihat yang lain, lihat aku saja


Baiklah nak


Percayalah aku tak kan meminta lebih


Sungguhkah?


Iya bu, hanya temani aku, bukan yang ibu tak bisa melakukannya

--
AMI MUSTAFA

ARAK TANGISAN


Kuteguk lagi arak bercampur debu

Dari botol yang tersimpan di lantai batu

Aromanya bau membuat haru

Menguras airmata yang hampir beku


Ijinkan raungan naga itu

Biar hanguskan sejuta ragu

Yang erat cengkram membelenggu

Pada cinta yang sungguh semu


Percayalah perempuanku

Hanya kau saja yang bisa usap airmata itu

Karena tak ada yang sungguh tahu

Bagaimana caranya memeluk sendu mu


Percayalah perempuanku

Bahkan aku tak bisa tahu

Bagaimana mengusap airmata mu

Yang ku bisa hanya sediakan bahu


Biarkan api naga membakar dada mu

Hingga keluar senyum itu walau sendu

Jangan merusak pesta dengan kelu mu

Telan saja hingga mual lambung mu


Teguklah sedikit arak rindu ini buatmu

Akan kubagi kau usah ragu

Tuangkan airmatamu

Agar jangan ia beku dalam kalbu mu


Menangislah hingga penuh kotakmu

Agar kau hadir senyum dan tawa mu

Simpan sendiri dan jangan lagi tergugu

Karena yang mengerti hanya dirimu bahkan bukan aku

--
AMI MUSTAFA