Minggu, 29 Desember 2019

Kamis, 26 Desember 2019

PALSU

Alangkah banyaknya orang-orang palsu yang akan kau temui. Aku pernah menemukannya, ada pula yang sedang berhadapan muka denganku.

Mereka itu bersikap sangat manis dan ramah. Terkadang penuh puja-puji. Sungguh baik bersikap manis dan ramah tapi sebaiknya lakukan dengan tulus. Bukan yang setelahnya engkau mencaci maki atau ternyata hati mu tak sama dengan sikap. Engkau palsu jika begitu.

Jangan berharap terlalu tinggi untuk menemukan orang yang tulus padamu. Nanti kau hanya akan menemukan kekecewaan. Jangan pula engkau terikut menjadi orang yang palsu. Karena menjadi palsu itu melelahkan bagimu dan menyakitkan bagi orang lain 

Rabu, 20 November 2019

PADA MUSIM YANG BERBEDA

Ya, aku melarikan diri dari harapan tentang turunnya hujan seperti waktu itu. Musim berubah. Tak ada gunanya terus merengek pada awan yang hanya datang sebentar lalu pergi lagi bersama angin.

Ya, aku memalingkan wajah dari kelamnya mendung yang serupa rindu semu dan harapan palsu belaka. Agar usai sudah bertumbuh pohon kecewa. Menekuk muka atau berlinang air mata.

Meski terik matahari dan kerontangnya  bumi semakin menjadi, akan kuusahakan menerima dengan lapang dada. Ada syukur bahagia jika sesekali hujan datang, tanpa berani berharap lebih banyak lagi. Nanti, jika musim penghujan telah tiba, akan kusyukuri bahwa aku telah pernah menerima sinar matahari sangat banyak....

Kamis, 10 Oktober 2019

HUJAN PADA 101019

Awan gelap yang menggantung di langit yang mulai redup akhirnya jatuh berderai tumpah ruah ke bumi. Angin kencang yang berhembus sedari tadi rupanya tak mampu membuyarkan rindu langit kepada bumi yang kian berat setelah tertahan terik mentari sekian lama. Kerontang bumi dengan tanah pecahnya telah menyayat hati langit. Teriakan dedaunan yang mengering telah menggugah tebalnya awan untuk segera mencair.

Aku duduk menikmati hujan yang mengguyur tanaman-tanamanku. Bisa kurasakan mereka tersenyum sumringah, tertawa dan memekik riang. Tanah-tanah basah, rumput hijau berkilauan, batu-batu yang terhampar di teras segar merona. Gemericik air dari cucuran atap terdengar seperti musik yang mengiringi tarian ranting-ranting Alpukat. Hempasan air dari pancuran menggapai membasahi kakiku. Aku diam saja membiarkan ujung celanaku basah. Sudah lama sekali sejak musim hujan tahun lalu berakhir.

Apakah di tempatmu juga sudah turun hujan? Aku ingin membagikan momen ini denganmu, meski kita berada di bawah langit yang sama tapi belum tentu hujan yang sama telah tiba kepadamu.

Aku masih duduk diam meski hujan mulai reda. Angin bertiup dingin menyelusup ke pori-pori. Kubebaskan khayalanku tentangmu, khayalan tentang engkau yang tiba-tiba datang menyampirkan selimut di bahuku. Melingkarkan lengan memelukku. Dan kita sama-sama berdiam menikmati sisa-sisa hujan. Mungkin pikiranmu akan dipenuhi kenangan masa kecilmu tentang hujan sementara aku menikmati hangatnya kebersamaan kita tanpa memikirkan apa-apa.

Segaris rasa sakit dibelakang kepala merobek lamunanku. Membawaku pada kenyataan. Disana kau masih diam meski aku terus berkata-kata...

Rabu, 25 September 2019

RASA SEGARIS

Dia yang menutupi matanya dariku tapi membiarkan hati dan pikirannya memelukku, karena apa yang terlihat tidak selalu seperti yang sebenarnya.

Ia merentangkan tangannya, menggapai-gapai hingga sampai. Meraih dan menautkan jemari hingga tercipta hangat yang mengalir ke dalam jiwa.

Hanya ketika tubuh terengkuh barulah kelopak matanya terbuka. Beriring senyuman terkembang, kerjap dan kemilau di hitam bola matanya meneduhkan hati yang kerontang oleh jarak

Kamis, 05 September 2019

REVIEW APLIKASI E-SAMSAT NASIONAL

Nggak terasa motor sudah harus bayar pajak tahunan. Males amat mau ke Samsat, jauh, mana antrian panjang, belum lagi 'katanya' kudu pakai BPKB yang kebetulan masih di leasing. Berarti mesti minta surat pengantar dari leasingnya. 

Coba-coba pakai aplikasi e-samsat. Sayangnya belum ada yang e-samsat Tanggamus. Akhirnya pakai aplikasi e-samsat nasional.

Tampilan mukanya simpel. Ada fitur panduan, isinya petunjuk cara penggunaan aplikasi tersebut. Pertama kali lakukan pendaftaran. Isi semua kolom sesuai petunjuk seperti nopol, nik, no rangka, no HP dan email. Setelah klik lanjutkan akan muncul penetapan pembayaran yang berisi data2 kendaraan, jumlah bayar dan kode bayar.

Karena udah dari awalnya mager alias males gerak maka pembayaran pun pengennya online ajalah ya. Sayangnya fitur pembayaran di SMS banking BRI gak ada. Jadi tetaplah harus ke ATM. Di ATM sudah ada fitur pembayaran pajak untuk e-samsat. Tinggal masukkan kode bayar lalu klik bayar, selesai deh.

Tinggal bukti tanda pembayaran nih atau e-TBPKP. Diaplikasi belum terlihat kalau sudah dibayar. Besoknya baru status pembayarannya berubah. Dan e-TBPKP nya juga sudah bisa dilihat. Menurut keterangan di aplikasi, e-TBPKP ini berlaku hanya satu bulan. Berarti tetap harus ditukar dengan yang asli. Halah, itu berarti tetap harus ke kantor Samsat donk yah. 

Hari Senin di pasar Talangpadang ada mobil Samsat keliling, coba tanya di sana apakah bisa cetak TBPKP. Ternyata belum bisa karena kendala sistem atau mekanisme lah lebih tepatnya. Akhirnya sekalian keluar rumah ya sudah langsung aja ke kantor Samsat Tanggamus di Kota Agung.

Di kantor Samsat sudah rame antrian. Pas tanya ke petugas di loket mereka kelihatan bingung juga dan akhirnya lapor petugas senior. Sepertinya sistem pembayaran pajak tahunan ranmor online belum direalisasikan di Samsat ini tapi sudah pernah disosialisasikan. Untung petugasnya ramah-ramah, meski tetap harus menunggu tapi gak kesal.

Dan bagi mereka baru kali ini dapat kasus begini, jadi mesti koordinasi sejenak. Akhirnya setelah diminta struk pembayaran di ATM, KTP asli dan foto e-TBPKP dari hp, serta TBPKP yang lama, keluar juga TBPKP baru. Horeee.. selesai.

Berdasarkan pengalaman diatas, aplikasi ini belum berhasil mempermudah urusan bayar pajak tahunan kendaraan bermotor. Mending langsung bayar di mobil Samsat keliling lah. Atau langsung bayar ke kantor Samsat. Entah kalau untuk masa yang akan datang. Emang sih pelayanan jadi lebih cepat daripada yang antri sejak awal di loket. Tapi tetap aja belum cukup simpel karena notice tetap harus dicetak di Samsat.



Rabu, 21 Agustus 2019

HATI-HATI PENIPUAN KARTU KREDIT

Rasanya pengen memaki panjang lebar dan luas gara-gara telpon penipuan barusan. Dengan mengatasnamakan Bank BRI dan modus kartu bonus, suara merdu si mbak durjana itu memintaku menyebutkan tiga angka terakhir yang tertera di belakang kartu kreditku.

"Kami dari kartu kredit BRI hanya ingin menginformasikan tentang kartu bonus yang akan dikirimkan 7 hari jam kerja. Boleh dipastikan lagi logo yang tertera di kartu kredit ibu?"

Aku yang belum sadar kalau ini penipuan dengan lugu memberi tahukan bahwa logo Mastercard yang tercantum di sana. 

"Baik, ibu.. kartunya sudah ibu tanda tangani ya?"

"Sudah"

"Baik, kami akan mendaftarkan nama ibu dalam kartu diskon, silahkan sebutkan nomor kartu kreditnya"

Shit!! 
Dengan manis aku membacakan urutan nomor kartu kredit milikku. Menjawab kapan masa berlakunya berakhir. Tapi berikutnya aku mulai mendengar body alarm berbunyi.

"Baiklah, ibu terdaftar sebagai pengguna kartu kredit di Tanggamus dalam urutan ke berapa?"

Aku mulai bingung, tidak mengerti maksud pertanyaan asing ini. Urutan? Aku tidak pernah dengar ini. Aku lalu meminta si nona durjana ini menjelaskan maksud pertanyaannya. 

"Itu nomor yang tertera di dekat tanda tangan ibu"

"Ooh, tiga angka terakhir?" 

"Betul ibu"

Kampret!!
Langsung aku matikan hp. Brengseknya dia mengulangi panggilan telpon ke nomor hpku. Kurang ajar. Suaranya dan cara bicaranya benar-benar terlatih. Untung aku tau, kalau nomor yang dimintanya adalah nomor CVV yang tidak boleh sembarang diberikan bahkan kepada petugas Bank BRI sekalipun. 

Kan sudah ada peringatan dari pihak Bank bahwa mereka tidak pernah minta data kode CVV tersebut. Huh, mengesalkan sekali. Kebayang dengan keahlian nona durjana itu sudah berapa orang yang tertipu. Semoga Tuhan melindungi orang-orang baik.

Rabu, 24 Juli 2019

MENEMANI CINTA DI LANGIT MERAH SAGA

Lelaki paruh baya itu duduk termenung di pinggir makam. Sejak aku datang dia sudah disitu. Aku belum menghiraukannya sampai aku selesai menjiarahi makam ibu angkatku. Karena mengenali sosoknya maka kuhampiri Ia ketika hendak beranjak pulang.

"Bang Iyan..." Sapaku seraya mendekatinya.

Ia menoleh pelan, dahinya mengernyit mencoba mengenaliku. Lalu parasnya berubah lebih cerah, sepertinya dia sudah mengingat ku.

"Hai...Nang!" Ia bangkit dan menyambut tangan ku yang terulur menyalaminya. Tangan kirinya buru-buru mengusap sisa air mata yang menggenang.

Aku duduk sejenak di pinggir makam dan berdoa. Makam istri Bang Iyan yang meninggal setahun lalu. Makam sederhana dengan rumput gajah mini diatasnya yang bersih dan terawat bertabur bunga mawar merah segar dari sang suami.

Setelah selesai aku mengajak Bang Iyan ke pondok dekat area pemakaman keluarga tak jauh dari situ. Pondok yang sengaja dibuat selain untuk penjaga makam juga tempat duduk-duduk berkumpul setelah berjiarah atau saat ada prosesi pemakaman. Pondok dari kayu-kayu bulat disusun kokoh yang diteduhi pohon Sonokeling dan dikelilingi taman penuh bunga warna-warni. Ada bangku-bangku gelondongan kayu dan batu-batu besar yang disusun cantik di halaman pondok untuk tempat duduk. Mang Koko, penjaga makam bergegas membuatkan kami kopi setelah sempat berbasa-basi sebentar dengan kami.

"Kapan kamu tiba, Nang?" Tanya Bang Iyan membuka percakapan seraya menyeruput kopi yang sudah dihidangkan Mang Koko.

"Tadi pagi, bang" jawabku.

Aku menceritakan perjalanan dinasku yang kali ini kebetulan melewati desa kami hingga aku menyempatkan diri untuk mampir bersilaturahmi dan berziarah sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi.

Bang Iyan manggut-manggut. Matanya terlihat menerawang jauh. Banyak yang berubah dari penampilannya. Wajahnya terlihat tirus dan muram namun terlihat lebih matang dan bijak. Tubuhnya yang dulu gempal juga agak kurus tapi terlihat sehat dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Rambutnya gondrong dikuncir. Semenjak mendengar kabar Teh Neneng meninggal baru kali ini aku bertemu dengannya. Aku tak sempat melayat dulu karena sedang bertugas di luar kota. 

"Abang kapan tiba dari Jakarta?"

"Sejak Neneng meninggal aku tak pernah kembali lagi ke Jakarta. Aku memutuskan menetap disini" jawabnya membuat ku heran.

Lelaki yang terbiasa hidup di kota besar, dengan usaha yang mapan, pergaulan luas, kenapa jadi betah tinggal di kota kecil  yang jauh dari hiruk pikuk kemewahan kota. Teh Neneng dan Bang Iyan tinggal dan bekerja di Jakarta. Kehidupan mereka sangat baik. Tapi mereka tersandung kasus narkoba. Mereka digrebek di rumahnya saat sedang menggunakan sabu. Kejadian yang sangat mengejutkan banyak orang, tetangga, teman dan kerabat, yang tak menyangka kalau mereka ternyata pemakai. Sempat dipenjarakan namun akhirnya menjalani rehabilitasi. Tak lama dari kejadian itulah kabarnya Teh Neneng sakit dan akhirnya meninggal.

"Aku minta maaf dulu tak sempat melayat saat Teteh meninggal" kataku.

"Iya, Bapakmu bilang kau sedang tugas ke luar kota. Beliau ada menyampaikan salam dari mu" Sahut Bang Iyan memaklumi. 

"Kenapa Abang tidak lagi kembali ke Jakarta?" Tanyaku penasaran.

Usaha mereka di Jakarta terbilang sukses. Rasanya sangat disayangkan kalau ditinggal. Walaupun di desa ini mereka juga punya beberapa lahan sawah dan perkebunan. 

"Kehidupan di desa lebih tenang. Dan aku senang bisa menemani Teteh disini" Jawab Bang Iyan dengan mata berkaca-kaca.

Aku menepuk-nepuk punggung tangannya. Sangat terasa olehku Bang Iyan masih berduka atas kehilangan Teh Neneng. Sebelum menikahi Teteh, anak sepupu ibu angkatku, Iyan adalah rekan kerjaku. Aku yang mengenalkannya pada Teh Neneng yang waktu itu sudah menjanda dua kali. Meskipun usia Iyan lima tahun lebih muda dari Teh Neneng tapi terbukti rumah tangga mereka awet dan baik-baik saja. Bahkan sejak bersuamikan Iyan usaha catering Teteh makin maju dan berkembang. Mereka bahkan merambah ke usaha event organizer dan penyewaan alat-alat perhelatan.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara isakan pilu Bang Iyan. Dia mencengkeram telapak tanganku seolah sedang bersusah payah menahan gejolak jiwanya. Bahunya terguncang menahan tangis.

"Kamu tahu, Nang,... Siapa yang melapor polisi hingga kami digrebek waktu itu?" Tanyanya berderai air mata.

Selintas aku mengingat kembali kejadian dulu. Transaksi pembelian narkoba yang dilakukan Teh Neneng termasuk sangat bersih. Terbukti dalam pengakuannya bahwa Ia sudah menjadi pemakai selama belasan tahun dan tidak pernah menimbulkan kecurigaan. Dalam pergaulan sehari-hari juga tak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan Ia seorang pemakai. Kalau bukan perbuatan seorang pengkhianat mungkin mereka tak pernah ketahuan. Tapi waktu itu berita yang disoroti hanya tentang seorang Neneng yang tak disangka-sangka adalah pemakai. Tak ada yang perduli siapa yang melaporkan atau bagaimana polisi akhirnya bisa tahu dan menggerebek rumah mereka di kawasan elit itu. Orang bergunjing Neneng pasti kena pengaruh suaminya hingga bisa kenal barang haram tersebut. Namun dalam proses pemeriksaan Neneng mengakui malah dia lah sebenarnya yang mengajak suaminya memakai narkoba. Berulang kali Iyan memintanya berhenti tapi tak diindahkannya. Neneng tak sanggup melepaskan diri dari jeratan barang haram itu. 

Aku menatap mata Iyan dalam-dalam. Tangisnya surut. Sebaris senyum getir menghiasi bibirnya. 

"Aku yang melaporkannya" suaranya bergetar lirih.

Aku terperangah tak percaya. Bagaimana bisa?? Aku tahu Iyan sangat mencintai Teh Neneng. Ia selalu memperlakukan istrinya dengan kasih sayang. Menjaga dan mengayomi.

"Aku seperti disambar petir ketika tahu Ia pecandu narkoba. Hati ku hancur. Aku marah dan kecewa. Aku memintanya berhenti. Kunasihati dengan lembut, kuajak rehabilitasi, tidak bisa. Ku diamkan dia, kujauhi, tetap tidak bisa. Kalau dia habis makai aku buang muka darinya, menghindar, bahkan kutinggal tidur sendiri. Sempat dia berjanji untuk berhenti tapi ternyata dia masih makai sembunyi-sembunyi di belakangku. Pas ketahuan, Aku berang, marah besar sampai meneriakinya. Kami bertengkar hebat. Selama ini aku tak pernah kasar padanya, tak pernah bersuara keras apalagi membentak, dia shock atas pertengkaran kami. Dia sakit, demam dan aku tak tahan hati melihatnya sakau. Akhirnya dengan putus asa kubiarkan saja dia pakai lagi. Bahkan kadang dia merengek manja minta ditemani dan kuturuti. Itu berlangsung beberapa bulan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melaporkannya."

"Tapi Abang juga terbukti pakai saat penggrebekan itu,...?" Tanyaku tak habis pikir.

"Supaya Neneng tidak curiga dan kalau aku juga ditangkap kami jadi bisa tetap bersama. Aku meminta pengacara untuk mengupayakan rehabilitasi. Kalau tidak dengan kejadian itu Neneng tak kan mau direhabilitasi. Neneng sulit untuk berhenti. Kadang seseorang harus dibenturkan dulu dengan masalah baru mau sadar."

Aku terhenyak mendengar kisah yang disampaikan Bang Iyan. 

"Neneng akhirnya direhabilitasi, tapi ternyata rasa malu membuatnya tertekan dan stress. Kesehatannya merosot tajam hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Dan akhirnya meninggal...." Dihembuskannya nafas perlahan seolah baru saja menyingkirkan beban berat yang menghimpit paru-parunya.

Kulihat cangkir kopi dalam cengkeraman tangannya bergetar tertahan.

"Dia yang ternyata sudah belasan tahun jadi pecandu, tapi malah mati karena rasa malu" bisik Bang Iyan dengan suara gemetar. Ditekapkan telapak tangannya menutupi wajah penuh sesalan. Seolah merasa bersalah atas tindakannya melaporkan Teh Neneng.

"Sudahlah, bang... Jangan disesali" hiburku sambil menepuk-nepuk bahunya.

Lama kami terdiam kehilangan kata-kata. Hingga matahari nyaris tenggelam menyisakan warna merah saga. Bang Iyan berpamitan. Kukira pamit pulang tapi ternyata bukan. Dengan langkah mantap dia menuju kembali ke makam Teh Neneng dan duduk disampingnya. Menurut Mang Koko hampir setiap senja Bang Iyan melakukan itu. Katanya Ia menemani Teh Neneng menikmati senja turun. Sesuai janjinya dulu pada Teteh.

Mang Koko juga cerita kalau  perawatan makam Teh Neneng ditangani langsung oleh Bang Iyan. Waktunya lebih banyak dihabiskan di area pemakaman keluarga ini. Membantu Mang Koko merawat tanaman dan membersihkan  pemakaman. Semua usahanya di Jakarta sudah diserahkan pada anak sulung Teteh. Bang Iyan melepaskan semua dan hidup sederhana di sebidang tanah tak jauh dari area pemakaman. Hidup dari hasil pertanian dan ternaknya.

Sebelum matahari benar-benar menghilang aku beranjak pulang. Masih sempat kulihat Bang Iyan yang duduk memeluk lutut menikmati hembusan angin sore yang semakin sejuk.

Kamis, 04 Juli 2019

KAFE KONGKOW LAMPUNG

Kafe yang baru launching April 2019 lalu ini berlokasi di depan Koramil Talangpadang, Tanggamus, Lampung. Di pinggir jalan raya Raden Intan tapi masih belum ada banner atau papan nama dan kurang jelas terlihat kalau ini kafe apalagi dari kendaraan saat melintas. Saya aja tau dari google map. Tempatnya juga tidak terlalu besar tapi kesannya hangat dan interiornya cukup kekinian. Ada dua lantai tapi lantai atas kurang cantik, interiornya biasa saja, mejanya pendek karena ini untuk lesehan. Cocok buat kumpul rame2.

Nyobain kwetiaw gorengnya, enak. Kwetiaw goreng dengan tambahan udang, telur dan daging ayam. Sebenernya pengen nyobain Soto Betawi tapi ternyata menu itu hanya tersedia di hari2 tertentu, hanya tiga kali dalam seminggu. Kopi hitam-nya juga enak. Milkshake Moccachino-nya juga lumayan.

Parkiran kurang memadai, hanya muat enam motor atau dua belas kalau disusun rapi dua baris. Palingan memakai bahu jalan yang sebenarnya juga sempit. Toilet bersih ada.

Menu cukup variatif tapi tidak terlalu banyak untuk saat ini. Harga makanan dan minuman standar, cukup terjangkau. Pelayanan cukup cepat. Ada WiFi gratis. Hanya menerima pembayaran tunai. Sementara belum ada layanan pesan antar. Awalnya buka mulai pukul dua siang tapi karena di siang hari masih agak sepi pelanggan mereka jadinya buka mulai sore sampai jam sebelas malam.

So far, menurut saya sih kafe ini lumayan buat tempat nongkrong, ngopi cantik atau kumpul-kumpul dengan teman. 

Senin, 01 Juli 2019

SEMANGAT 45

Rencananya pagi-pagi sekali kami akan pergi berburu sunrise. Itu rencananya. Faktanya, jam setengah tujuh pagi masih belum selesai ngopi. Hehehh. Karena kesulitan memulai aktivitas apapun sebelum ngopi pagi maka ritual ngopi dibereskan dulu sambil sekalian rumpi. Alhasil baru berangkat dua jam meleset dari rencana semula.

Dari Desa Sinarbanten kami menuju ke Gisting dengan bermotor. Cuaca cerah ceria. Dari kejauhan nampak Gunung Tanggamus yang kami tuju tersaput kabut tipis. Sepertinya cuaca akan baik sepanjang hari ini. Kata Abah kalau Tanggamus nampak jelas dan cerah biasanya hari akan cerah, kalau sebagian tertutup awan akan hujan di sore hari atau sebagian hari, dan kalau Tanggamus tak nampak biasanya akan hujan sepanjang hari. Itu sih kata Abah bukan BMKG ya, jangan terlalu dipercaya.

Sampai di Gisting kami menuju Desa Sidokaton melalui daerah Landsbaw. Melaju di jalan beraspal yang menanjak. Di Desa Sidokaton ada tempat penitipan motor dan biasa jadi tempat singgah para pendaki sebelum naik. Disitu juga kita lapor menuliskan nama di buku tamu. Parkir motor aman cukup  bayar 5 ribu. Disana ramai anak-anak muda yang baru turun dari Basecamp di lereng Tanggamus. Ternyata banyak juga pengunjung yang menghabiskan malam Minggu-nya di sana.

Semangat 45. Ini beneran 45, maksudnya semangat di usia 45th. Dengan carrier berkapasitas 65L di punggung kami memulai perjalanan menuju Basecamp Sonokeling. Ahh.. cukup segitu sajalah target kami kali ini. Setelah lebih dari 20th, perjalanan ini seperti napak tilas bagi temanku Uwie. Kalau aku sih belum terlalu lama karena beberapa bulan sebelumnya sempat melalui jalur ini bersama si Kesayangan.

Setiap kali berpapasan dengan pemuda pemudi yang baru turun kulambaikan tangan menyapa,

"Hai, anak muda!!" 

Mereka tersenyum geli dan balas menyapa dengan sopan.

"Semangat, mbak"

Kami tertawa-tawa gembira dengan sebutan 'mbak' itu dan berpura-pura sedih jika disapa dengan sebutan 'Ibu'. Hihi.. dasar.

Jalur yang kami lalui adalah jalan setapak dengan kanan kiri ladang sayuran. Kadang samar tercium bau daun kol busuk. Atau bau kotoran kambing. Aroma alami yang masih lebih baik daripada bau knalpot kendaraan atau mesin pabrik industri. Tidak ada petunjuk jalan padahal cukup banyak jalan bercabang. Kami mengandalkan ingatan masa dulu saja padahal sudah banyak juga yang berubah. Yang paling ampuh ya jurus tanya-tanya. Kalau pas ada petani yang sedang bekerja di ladangnya.

Baru beberapa ratus meter Uwie mulai kelelahan dan minta berhenti istirahat. Uwie termasuk yang benar-benar vakum berolahraga setelah menikah dan punya anak-anak. Sementara aku baru dua tahun belakangan ini saja. Sebelumnya masih aktif di klub lari yang sering memakai trek mendaki seperti ini. Jadi tidak terlalu kaget. Mengatur langkah dan nafas masih hapal dan itu bermanfaat sekali.

"Aduh kak, berhenti dulu, mau mati nih Wie rasanya" kata Uwie terengah-engah. 

Aku tertawa-tawa. Nafasku juga sudah ngos-ngosan. Kuletakkan carrier dan mengeluarkan minuman dan coklat. Sebenernya isi Carrier ini ya cuma beberapa botol air mineral, tikar piknik, Hammock dan beberapa helai kain properti buat foto shoot..hahaha. Dasar emak-emak.  

Sambil mengatur nafas, minum dan ngobrol kami menikmati sekeliling. Uwie sudah wanti-wanti sejak awal kalau ini adalah pendakian piknik yang santai. Tidak ada target waktu. Pokoknya cukup sampai di basecamp Sonokeling saja.

Setelah cukup istirahat kami melanjutkan perjalanan. Dan sesuai prediksi, cuaca cerah ceria. Sepanjang jalan kami beberapa kali melambatkan langkah untuk ngobrol. Lebih banyak ke curhat sih, hihi. Tanggamus masih nampak, itu artinya kita masih cukup jauh darinya. Beberapa jalur ada yang menanjak cukup curam tapi tidak terlalu sulit karena masih bisa dilalui motor oleh penduduk yang berladang disana. Tanggamus yang malang, tubuhnya kini carut marut demi perut manusia.

Kami tiba di basecamp Sonokeling sekitar pukul sepuluh. Sempat ragu-ragu karena basecamp yang dalam ingatan kami teduh dan rimbun oleh pohon Sonokeling sudah banyak berubah. Hanya ada beberapa pohon Sonokeling yang tersisa. Lainnya diisi pohon kopi yang sedang berbuah lebat. Tapi melihat sisa-sisa bakaran api unggun dan sampah plastik yang ditinggalkan pendaki kami yakin inilah basecamp itu.

"Yakin mau berhenti disini, Wie?" Tanyaku sambil melihat sekeliling. 

Membolak-balik ingatan. Mencari tanda-tanda. Dan akhirnya menemukan satu persatu. Jalan menuju kolam mata air yang dulu kami kenal sebagai Kolam air es karena airnya yang jernih dan sangat dingin. Jalan setapak menuju ke puncak dan area tempat mendirikan tenda yang sekarang semakin sempit. Setelah yakin itulah basecamp sonokeling kami menurunkan carrier, membentang tikar dan menggantung Hammock.

"Aaaahhh... akhirnyaaa..." Teriak Uwie seraya merentangkan tangannya menarik nafas dalam-dalam.

"Setelah sekian tahun, akhirnya I'm back here!!" Serunya riang.

Aku ikut gembira. Senang bisa menemaninya untuk memenuhi impiannya kembali kesini. Padahal kondisi kesehatanku sedang tidak cukup baik. Staminaku sangat buruk. Anehnya sampai disini semua terasa baik-baik saja. Aku merasa sehat dan pegal-pegal saat menanjak tadi sudah tidak terasa lagi. Sepertinya kegiatan mendaki ini bagus juga kalau jadi rutinitas mingguan. Jadi gaya hidup. Biar sehat dan bahagia.

Aku menyempatkan diri turun ke kolam air es yang tidak sealami dulu lagi. Ada beberapa kolam kecil yang dibuat. Ada bilik tempat BAK/BAB dari terpal yang sudah koyak dan sepertinya tidak digunakan lagi karena kayunya terlihat lapuk dan baunya pesing. Batu-batu besar yang menjadi dinding tempat itu auranya terlihat 'dingin dan berat'. Aku bergegas kembali setelah mengambil beberapa gambar.

Makan siang jauh, begitu caption makan siang kami. Nasi bungkus bekal makan yang kami beli di pasar Gisting tadi pagi terasa nikmat. Makan siang sederhana di tempat yang tidak biasa. Mesti jauh-jauh mencapainya. Cukup berat untuk emak-emak rumahan seperti kami.

Perjalanan pulang lebih banyak dipakai buat foto-foto dan bercanda riang. Dua kali aku terpeleset jatuh terduduk mungkin karena sol sepatuku yang kurang baik. Agak licin di turunan berbatu yang tak rata. 

Pergi dadakan dengan persiapan seadanya dan bekal minim ternyata hasilnya lumayan juga. Semoga lain waktu bisa kembali lagi dengan kondisi dan persiapan yang lebih baik.

Rabu, 26 Juni 2019

DI SUATU PETANG BERSAMA TETANGGA

Sore yang menyenangkan. Matahari sudah jatuh dan hangatnya mulai teduh. Agenda merapihkan halaman yang sedianya direncanakan pagi hari akhirnya di geser ke sore ini.

Buah Cabe Jawa (Capsicum annuum) sudah banyak yang tua dan merah siap dipetik. Rumput liar di sela-sela Gajah Mini sudah mulai tak terkendali. Belum lagi Miana yang layu minta disiram. Tak kan cukup waktu jika dikerjakan sendiri.

Beruntunglah aku punya tetangga yang dengan senang hati menemani dan membantu. Baru saja kubuka lebar pintu samping, terlihat olehku Yudi dan Asri disela-sela pohon kapuk  yang kujadikan sebagai pohon rambatan Cabe Jawa sedang memetik Cabe Jawa sambil asyik mengobrol, cukup sodorkan saja ember tempat hasil petikannya. Dengan cekatan mereka memetik buah-buah tua kehijauan dan yang sudah merah berkilau.

"Weeiii..panen tah?" teriak Itong dari luar halaman. 

Aku mendongak dan tersenyum padanya.

"Tong, buat kopi sini" panggilku mengundangnya datang bergabung.

Ia tertawa dan memasuki pekarangan menuju halaman belakang tempat perangkat pembuat kopi tersedia. Sambil menunggu air kopi di heater panas Itong mengambil cangkul dan merapihkan tanah untuk Gajah mini meluaskan areanya. Dan mencabut sisa-sisa Zinnia yang masih tinggal.

Tak lama Yatno dan Culing, istrinya ikut bergabung duduk-duduk mengobrol. Disusul Ubay yang sibuk berkomentar tentang mawar di sebelahnya.

"Mawar ini bagusnya lebih sering di potong. Supaya lebih rajin berbunga" katanya.

"Betul, Bay" sahutku. "Biasanya bekas-bekas pucuk bunga yang sudah layu ini selalu kugunting tak kubiarkan saja seperti ini"

Lalu aku bangkit dan masuk ke dalam. Tak lama aku kembali
dan  menyodorkan gunting dahan untuk memangkas mawar putih yang mulai melambai ke sana kemari rantingnya. Dengan sigap dan lihay Ubah bergerak merapihkan sang mawar seperti sedang mencukur rambut.

Culing membakar sisa sampah Zinnia kemarin dan menyiram tanaman. Memastikan tanah di dalam pot cukup basah. Sesekali mencipratkan air ke arah kami yang dibalas makian gurauan dan tawa. Sembari mengobrol dan bercanda pekerjaan jadi ringan dan menyenangkan.

Di sela kepulan asap bakaran sampah, Itong datang membawa tiga cangkir kopi hitam untuk dihidangkan. Sambil menikmati segarnya kemilau air di ujung daun Cempaka dan Marigold kami menunggu tiba waktu Adzan Maghrib. 

Halaman depan sudah terlihat lantang berhias karpet hijau elephant grass. Mawar yang semula terjepit di sela Zinnia yang meranggas sudah anggun terpangkas. Kelak tempat ini akan lebih teduh jika pohon Alpukat yang ditanam di situ sudah lebih tinggi.

"Kalian tau? akulah yang menanam pohon Alpukat ini" ujar Yatno dengan bangga.

Memang benar, dua tahun lalu dia memberi tahu kalau ada bibit Alpukat siap tanam. Aku bilang mau dan memintanya menanamkan di halamanku.

"Apa sebaiknya aku menggoreskan namaku di batangnya" guraunya disambut tawa oleh kami semua.

"Kau buatlah, No, supaya kelak bisa pamer pada cucumu bahwa kau berhak atas buahnya" balasku.

"Kalau hanya digoreskan sekarang pasti hilang saat batang pohon ini semakin besar, sepertinya kau buat dari kawat saja , No" dukung Ubay. Yudi dan Asri tertawa mendengarnya sambil memamerkan seember penuh Cabe Jawa yang sudah dipetik.
 
Kelak, pohon bunga Cempaka akan berbunga meskipun tak akan kubiarkan tumbuh terlalu tinggi. 

"Pohon apa ya ini?" tanya Itong pada Culing tadi.

Culing terdiam memandangi pohon yang kutanam di tengah-tengah hamparan elephant grass. Menerka-nerka pohon apakah itu. Aku yang mendengar pertanyaan Itong segera menyahut,

"Cempaka"

"Wahhh.." Itong sedikit terkejut. Saling berpandangan dengan Ubay dan Culing. 

Aku tersenyum. Tahu apa yang mereka pikirkan.

"Aku tau, makanya kutanam di depan dan tak kan kubiarkan terlalu tinggi dan besar."

Mereka nyengir dan menarik nafas lega. Ada mitos bahwa pohon Cempaka sangat disukai mahluk halus sebagai tempat tinggal dan bermain. Itulah sebabnya mereka heran kenapa aku berani menanam pohon itu di seputaran rumah. mereka kira aku tidak tahu tentang mitos itu. Aku tak terlalu peduli mitos,aku hanya suka bunganya yang wangi, yang mengingatkan aku pada mama.

Kelak kita akan duduk-duduk lagi disini berteduh di bawah naungan pohon dengan semilir wangi bunga Cempaka sambil menghabiskan petang. Di usia yang tak lagi muda. Mungkin kita akan duduk bersama sambil mengasuh cucu dan bertukar cerita tentang lucunya cucu-cucu kita. Semoga sama-sama berumur panjang dan selalu sehat, Aamiin.

SAYONARA ZINNIA

Kenapa sakitnya kehilangan itu sudah terasa saat masih bersama.. Rumpun Zinnia yang berantakan diacak-acak hujan dan angin itu sudah mulai tua. Pohonnya tak tegak lagi meski bunganya masih bermekaran di sana-sini. Tapi kelihatan sudah tak indah lagi. Daun tua yang mengering di tangkainya lebih menyita perhatian daripada bunganya yang cantik merona. Sepertinya ini sudah saatnya. Meski sayang, aku harus tega mencabuti Zinnia-zinnia tua itu.

Kuabaikan warna warninya yang memohon untuk dibiarkan bertahan beberapa waktu lagi. Kita tak bisa selamanya bersama. Cepat atau lambat bukankah kita harus berpisah. Jika bisa memilih lambat mengapa pula harus tega mempercepatnya? Karena lambat itu menyakitkan.

Zinnia bukanlah tanaman yang sulit dan rewel. Ia bahkan bisa bertumbuh di lahan berpasir. Bunganya cantik dan bisa bertahan segar cukup lama tak mudah menjadi layu. Tapi masa tumbuhnya tidak lama. Ada masa daun dan batangnya akhirnya mengering lalu mati. Tapi sebelumnya kuntum-kuntum bunganya telah menjatuhkan biji-biji agar kelak mereka menjadi pengganti. Tumbuh sebagai Zinnia-zinnia muda yang baru dan segar.

Kutumpukkan batang-batang Zinnia tua yang akhirnya pasrah tergeletak di tempat pembakaran sampah. Mereka pernah mempersembahkan warna putih, kuning, merah dan pink untuk taburan di makam. Meskipun tak wangi mereka cantik sekali. Mereka pernah menghiasi halaman rumah yang tampak gersang. Menghibur mata kala penat. Ada kalanya kita harus membiarkan yang tak bisa selamanya bersama kita untuk pergi. Mempertahankannya adalah sikap baik tapi merelakannya pergi akan lebih meringankan hati.

Untuk sementara halaman itu akan kubiarkan kosong. Memberi kesempatan pada rumput gajah mini untuk meluas dan menjadi pusat perhatian dengan hijaunya yang polos dan tulus. Meskipun tidak ada bunga warna warni yang riang untuk dipetik dan memanjakan mata.

Zinnia yang cantik, dulu aku sangat menginginkanmu. Berkali-kali kutanam, mati, kutanam lagi dan akhirnya tumbuh berserakan beraneka warna. Kini harus tercerabut oleh tangan yang dulu menanam dan merawatmu dengan kasih sayang. Begitulah kehidupan, kadang kita mesti tega melepaskan yang tersayang jika rasa sakitnya telah membayang. Kumusnahkan engkau agar tak ada masa engkau membalikkan punggung meninggalkan ku.

Zinnia terluka, aku berduka. Tapi tanah lantang terbuka. Menunggu semaian benih-benih baru Zinnia bertumbuh, bersemi dan berbunga kembali.

Minggu, 16 Juni 2019

REVIEW TAN KASTEEL RESTAURAN AND LOUNGE

Terletak di pinggir jalan raya di tengah kota Tidak sulit mencari lokasinya hanya saja tidak dilalui kendaraan umum.  Dari kendaraan saat melintas tidak terlihat tempat ini seperti restoran tapi di depannya tertulis nama tempat dengan sangat jelas. 

Kalo baru pertama ksini seperti saya pasti bingung. Halamannya luas bangeet. Sebenarnya ini merangkap parkiran, Saya sebut halaman karena sweet dan tanamannya terawat gak seperti kebanyakan tempat parkir. Tapi gak salah juga disebut halaman karena gedung tempat ini dulunya memang  rumah tinggal.

Setelah memarkirkan kendaraan saya lihat2 dimana pintu masuknya. Ada pintu kayu besar berukiran bagus yang tertutup. Di depannya ada beberapa set meja bangku batu. Ketika saya mendekat terbacalah tulisan 'open' dan 'welcome' di daun pintu. Saya dorong dan terbuka dengan mudah. Alangkah baiknya kalo di bagian ini ada pelayan yang siaga menyambut tamu.

Nah, di dalamnya barulah terasa suasana restoran yang waktu saya datang sih tidak terlalu ramai. Ruangan ber-AC yang nyaman tapi banyak sekat. Ada beberapa meja kursi dan dua ruang seperti family  room. Di tengah-tengah ada meja kasir terus ada pintu kaca menuju area lain yang lebih terbuka. Di dekat pintu ada space kecil tempat bermain anak-anak. Saya memilih ruang terbuka.

Masih dengan bingung saya mencari pelayan yang terlihat hanya beberapa orang saja yang sibuk dan tidak terlalu antusias melihat kedatangan saya. Mungkin ini yang dimaksud tulisan beberapa user google local guide yang mengulas tempat ini tentang 'pelayanan yang kurang baik'. Lalu saya memilih tempat di pojokan. Ada dua set tempat duduk antik dan beberapa set meja batu. Saya memilih kursi antik. Rasanya seperti d rumah kakek di kampung tempo dulu.

Pelayan masih belum menghampiri hingga saya memutuskan untuk melambaikan tangan. Karena jarak tempat duduk saya ke bar tempat pelayan agak jauh saya jadi harus beberapa kali memanggil. Kok rasanya norak juga ya, hehe. Saya melihat lihat tembok di dekat saya, ternyata ada bel kecil yang bisa digunakan untuk memanggil pelayan. Hahahaha, ternyata saya memang norak.

Akhirnya pelayan datang dengan membawa buku menu. Dan meninggalkan saya sendirian. Perlu waktu lagi menunggu pelayan datang mencatat pesanan saya. Jadi kalau kamu tidak punya banyak waktu atau tidak sabaran sepertinya tempat ini bukan pilihan. Tapi untuk nongkrong santai, nyaman, ini mantap banget.

Saya memesan kopi, pasti. Kopi hitam. Tertulis di menu : Long Black. Untuk makanan berat saya memesan Sop Iga. Minuman ringannya Tan Kasteel Mojito dan makanan penutup Lava cake. Sembari memesan saya sempatkan bertanya sedikit yang ditanggapi dengan sangat sopan, ramah dan antusias oleh pelayan. Dengan segera penilaian saya pada pelayanan berubah jadi baik.

Mungkin karena tidak terlalu ramai hingga pesanan kopi saya datang dengan cepat. Atau mungkin karena saya orangnya sabar ya jadi tak merasa lama menunggu. Hehe. Kopinya enak. Disajikan dalam gelas kopi yang cukup besar jadi sesuailah dengan harga 20K itu.

Baru dua tegukan kopi pelayan datang lagi membawakan Tan Kasteel Mojito. Minuman dingin sirup Mojito yang segar dengan daun mint diatasnya. Saya pikir ada gula batu yang ditambahkan ternyata itu bukan gula batu tapi sanmoy. Sejenis manisan dari buah plum. Rasanya jadi unik, asam manis gitu, berpadu dengan rasa mint. Enak, saya suka.

Pesanan berikutnya datang dan lagi2 saya merasa tidak terlalu lama menunggu. Sop Iga yang disajikan dengan nasi, emping, lalap timun dan tomat serta sambal yang encer sekali. Tapi agak kecewa dengan rasanya. Dagingnya agak alot dan saya merasakan kurang segarnya. Meskipun harganya agak mahal saya tidak ragu untuk tidak menghabiskannya. Itu karena saya pencinta sop iga yang lembut dan mudah diloloskan dari tulangnya. Dan berasal dari daging sapi segar itu sudah harga mati. 

Setelah menjauhkan mangkuk sop dan piring nasi saya melanjutkan meminum kopi sambil menulis ulasan. Tak lama seorang pelayan menghampiri dan menanyakan apakah  makanan penutup sudah bisa dihidangkan. Saya mengiyakan. Sebelumnya dalam pesanan saya memang meminta makanan penutup disajikan di akhir. 

Nah untuk lava cake ini agak lama. Tapi tidak masalah, saya masih banyak waktu. Itupun sebenarnya tidak terlalu lama. Saya penasaran dengan lava cake ini, beberapa pengulas mengatakan lava cake disini enak sekali.

Dan ketika pesanan saya datang langsung saja saya coba. Disajikan di atas piring lebar bersama satu scop strawberry ice cream. Ada tiga pilihan es krim yang ditawarkan, coklat, vanila dan stroberi. Bolu coklat dengan taburan gula halus diatasnya. Ketika saya tekan coklat lumernya langsung meleleh. Dan rasanya,..uhhh yummy. Ini benar enak. Masih hangat. Disandingkan dengan sejuknya es krim stroberi yang juga enak. Mantul.

Kalau saja saya datang tidak sendirian mungkin saya akan lebih lama berada di Tan Kasteel Restoran and Lounge. Walaupun sendiri saya sudah menghabiskan lebih dari satu jam duduk disitu. Benar-benar bikin betah.

Karena di buku menu sudah tertera harga makanannya maka saya tidak terkejut dengan jumlah yang harus saya bayar. Saya membayar secara tunai walau di kasir juga tersedia mesin EDC untuk pembayaran non tunai.

Ketika saya menuju pintu keluar seorang pelayan mengantarkan sembari mengucapkan terimakasih dan selamat jalan. Terimakasih kembali.

Kamis, 13 Juni 2019

PULANG

Hari kedua di Bangka Belitung, Alhamdulillah sudah beradaptasi dengan udara dan suasananya. Hampir seperti pulang ke rumah. Tidur nyenyak, BAB lancar. Hujan masih banyak turun jadi tidak terlalu terkejut dengan perubahan cuaca. 

Seharian menemani bayi jadi irama cantik yang harmonis. Tangisannya terasa seperti denting piano yang kadang mengalun lembut kadang berdenting-denting cepat dan keras. Geliat kepalanya yang mungil di telapak tanganku sungguh menggemaskan. Kaki-kaki dan tangan mungilnya bergerak menendang dan menggapai. Benar-benar mungil.

Pulang ke kota ini kukabarkan pada klub sepedaku. Kami memilih Me and Bike sebagai tempat berkumpul. Tidak banyak yang hadir tapi cukup mewakili sambutan dari teman-teman yang menyenangkan. Secangkir kopi, derai tawa dan persahabatan. Dan cukup itu saja untuk hari ini.

Senin, 10 Juni 2019

HADIAH ULANG TAHUN

Wangi aroma ikan bakar menguar kemana-mana. Hmmm, sedap. Ditambah rebusan pucuk ubi,  lalapan daun kemangi dan pucuk daun kencur plus sambal belacan. Ditata di atas selembar daun pisang yang terhampar di rumput hijau. Tak lupa  nasi hangat mengepul sudah siap dinikmati.

Tapi serasa masih ada yang kurang. Teman-teman. Makanan sebanyak ini akan lebih nikmat dimakan beramai-ramai bersama teman. Kuteriaki teman-teman yang tinggal di sebelah rumah. Kuajak makan bersama dan diterima dengan senang hati oleh mereka.

Dengan lahap dan gembira kami makan. Sesekali terlontar gurauan yang disambut dengan gelak tawa. Makanan yang tersaji tandas dengan cepat.

"Alhamdulillah, enaknyee makan ramai-ramai seperti ini ya" ucap Uti sambil meraba perutnya yang penuh.

"Iyalah, apalagi terima beres tinggal makan" celetuk Lin disambut gelak tawa yang lain.

Setelah membereskan bekas makan kami duduk-duduk minum es buah buatan Lin. Mengobrol ringan tentang banyak hal. Aku senang bisa menjalani hari ini dengan berkumpul bersama teman-teman. Biasanya aku hanya makan berdua dengan anakku. Ternyata makan ramai-ramai lebih seru.

Sedang asyik bercengkrama tiba-tiba sebuah benda ditumbukkan ke kepalaku. Cairan kental amis meleleh membasahi rambut dan wajahku. Belum habis terkejutku, kepalaku ditaburi tepung gandum dan rambutku diacak-acak.

Diantara gelak tawa aku mendengar teman-teman menyanyikan lagu ulang tahun dan satu persatu memberikan ucapan selamat.

"Hassyemmmm...hahahaha..." Aku tergelak menyadari kalau sedang mendapat kejutan. Ahh,.. senangnya, sudah lama momen seperti ini tidak kudapatkan.

"Maaf yaa" ucap Lin "Selamat ulangtahun" 

Dipeluknya aku dan kubalas dengan hangat. 

"Hemmmh, kalian ini, kasian kan Rumi, rambutnya jadi kotor" kata Kak Hera dengan lembut seraya menghampiri ku. 

Kak Hera teman yang paling dewasa diantara kami. Aku menaruh hormat dan segan padanya.

"Tapi boleh juga nih difoto buat kenangan" usulnya.

Lin dengan sigap menyiapkan kamera untuk membidik. Ketika aku menatap kamera tiba-tiba Kak Hera menumbukkan lagi sebutir telur ke kepalaku. Disusul Uti mengguyurkan segelas air es.

"Waaaa.... Hahahaha,..." Aku tergelak dan tawa teman-teman meledak. 

Cekrek
Cekrek

Momen indah itupun terekam oleh kamera hp Lin.

***********

Rambutku masih setengah basah setelah dengan susah payah kukeramas untuk menghilangkan bekas telur dan gandum sore tadi. Sambil mengeringkan rambut kubuka pesan-pesan di akun Facebook ku.

'Rumi, aku pulang'
Kupandangi pesan dari Saga, teman sekolahku dulu yang kini merantau di Kalimantan. Aku menyambut dingin kabar itu.

'Oya'
Kubalas dengan datar. Tak lama kulihat tanda dia mulai mengetik pesan baru.

'Aku ingin jumpa, dimana kita bisa bertemu'

Wah, apa yang harus kukatakan, aku enggan bertemu siapapun saat ini. Tapi mengingat kami sudah lama tidak bertemu dan dia jauh-jauh dari  rantau mau menyambung silaturahmi, masa aku tega menolaknya.

'Datanglah ke rumahku'

Akhirnya kuputuskan untuk mengundangnya ke rumah. Perasaanku masih datar saja. Padahal Saga termasuk teman dekatku. Walau kami dulu tak lama berteman dekat , tapi hubungan pertemanan kami cukup baik terawat. Keluargaku juga mengenalnya dengan baik.

Aku masih berbaring santai membaca berita melalui hp ketika kudengar ketukan keras di pintu. 

"Assalamualaikum!"
Aih,..aku kenal betul suara itu.

"Waalaikumsalam" sahutku sambil berlari kesana-kemari menggapai celana panjang, baju panjang dan kerudung. 

"Assalamualaikum..!" Sekali lagi Saga mengucapkan salam sementara aku menyahuti sambil memperbaiki pakaianku. Kudengar dia mengetuk pintu satunya lagi. Aku buru-buru membuka pintu depan setelah mendengar ucapan salamnya yang ketiga. 

"Haaa... Rumiiii" Saga terpekik girang ketika aku muncul diambang pintu. 

"Sagaaaa.."

Susah payah aku memasang senyum santai dan menyambut jabat tangannya. Tiba-tiba saja aku merasa nervous dan sedikit bergetar. Rasanya seperti demam panggung. Surprise,... Ini benar-benar seperti sebuah kejutan lain di hari ini.

"Masuk yuk" ajakku sambil melepaskan genggaman tangannya yang erat. 

Dia duduk dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Seolah sedang membangun kembali kenangan lama di rumah ini. Kami mengobrol panjang tentang banyak hal. Tentang kabarku, kabar dirinya, tentang kenangan lama dan banyak lainnya.

"Oh iya, selamat ulangtahun yaa" ucapnya ketika aku kembali dari dalam sambil membawakannya secangkir kopi.

"Terimakasih" jawabku tersenyum lebar. 

Cepat-cepat kuletakkan nampan kopi karena khawatir Saga melihat tanganku yang gemetar karena gugup. Meskipun hampir tak ada yang pernah melihatku grogi karena aku dikenal supel, percaya diri dan pandai membawa diri.

Saga tertawa. Aku menaikkan alis.

"Kenapa tertawa??"

"Senyummu itu, taring itu, aku tidak bisa lupa" katanya menggoda.

Aku tersipu. Dan mengalihkan perhatian ke pergelangan tangannya.

"Gelangnya bagus, aku mau sih" 

Dia tersenyum dan melepaskan gelangnya yang terbuat dari rangkaian batu Indian Agate. Aku tersenyum senang dan melilitkan gelang itu ke tanganku.

"Makasih ya, anggap saja ini hadiah ulangtahunku darimu" ucapku gembira.

Saga tersenyum mengangguk. Lalu menyeruput kopinya.

"Besok aku mau ke rumah Guruh, ikut yuk" ajaknya.

"Umh, besok ada acara jalan santai disini, aku mau ikut jalan santai" tolakku.

"Ya sudah, kalau mau ikut hubungi aku ya" katanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

Sebenarnya aku berharap dia memaksa agar aku bisa memastikan ajakannya bukan sekedar basa-basi. Tapi sepertinya Saga bukan tipe teman yang suka memaksa. Jadi ya sudah, aku juga tidak terlalu tertarik kemana-mana.

Setelah cukup lama mengobrol dan kopinya sudah habis, Saga berpamitan pulang. Sekali lagi hatiku berdetak keras ketika berjabat tangan dengannya. Kupandangi punggungnya, tubuhnya tampak semakin besar tinggi menjulang. 

"Kalau aku berubah pikiran, aku akan menelpon" kataku.

"Sip" sahutnya sigap seraya mengacungkan jempol dan tersenyum. Perlahan dilajukannya sepeda motornya dan menghilang dari pandanganku.

Kuraba butiran Indian Agate yang terlilit di pergelangan tanganku. Terbayang lagi wajah Saga dengan senyum dan suaranya yang khas. Dia mulai nampak tua dengan janggut yang mulai memutih. Rambut keriting gimbalnya yang dulu sering jadi bahan ejekanku sudah habis nyaris botak dan hampir semuanya berwarna putih. Hanya karena dia berjiwa muda dan riang serta berpenampilan keren hingga tetap terlihat jantan, percaya diri dan tampan.

Malam itu aku tertidur sambil tersenyum mensyukuri kebahagiaan yang mengisi hari ulangtahunku kali ini. Sambil memeluk tangan kiri ku yang terlilit gelang batu Indian Agate dari Saga. Hadiah ulangtahun ku bukan gelang ini, Saga,  tapi kamu, kedatanganmu, pertemuan kita, bisikku.

****____________________****









Sabtu, 08 Juni 2019

BEDA AKSI BEDA REAKSI

Pagi itu aku membersihkan halaman dengan membongkar sebagian tanaman yang sudah berantakan. Tanaman yang rusak berhamburan sengaja kutebar agar layu dan kering lalu bisa kubakar nantinya. 

Saat itu lewatlah seorang pemulung seraya memperhatikanku.  Sambil berlalu dia berkata,

"ngapain dibongkar-bongkar" katanya dengan nada sinis dan kesal.
 
Aku menoleh sekilas dengan wajah datar dan langsung kembali pada kesibukanku tanpa menyahut. Tapi aku sempat bergumam pada diri sendiri,

"Terserah aku lah, ini halamanku, tanamanku"

Apakah karena dia pemulung aku tidak menanggapinya?

Apakah karena aku tidak mengenalnya hingga aku tersenyum pun tidak?

Apakah karena dia memanggul karung berisi sampah plastik hingga aku begitu datar dan menggumam kesal?

Bukan sama sekali.

Kalau saja tadi yang berkata seperti itu adalah tetanggaku, atau orang yang kukenal, mungkin aku akan menanggapi dengan ramah minimal tersenyum jika tak ingin menyahut. Obrolan bahkan bisa panjang dan menyenangkan kalau saja nada suara dan bahasanya enak, ramah dan santun. Aku bisa saja berhenti melanjutkan pekerjaan dan asyik menanggapi pertanyaan.

Meskipun tidak kukenal orangnya,  jika dia merubah nada suaranya meski dengan kalimat yang sama, reaksiku akan berbeda. Aku mungkin bisa menjelaskan kenapa kubongkar tanaman di halamanku. Tak perduli dia lusuh, kumal, pemulung, tukang sampah, tukang sayur atau sedikit miring otaknya. Malah seringkali aku memberikan sampah plastikku jika dia pemulung.

Lah ini, kenalpun tidak, nada suaranya sinis dan berkesan menyalahkan, emangnya siapa dia.

See,
Beda aksi beda reaksi.
Ternyata nada suara atau intonasi itu berperan penting dalam sebuah percakapan. Tidak harus lemah lembut juga asalkan nadanya tepat maka reaksi yang didapat akan berbeda. 

Misalnya, satu kata "apa" bisa berbeda maknanya jika disampaikan dengan nada yang berbeda. Itulah sebabnya jika sedang berselisih paham aku lebih suka berbicara langsung dari pada menggunakan teks. Dengan teks, kalau kita memakai nada yang berbeda akan beda artinya dengan yang dimaksudkan lawan bicara.

Balik ke cerita tadi, ada beberapa hal yang bisa diambil pelajaran yaitu jangan suka ngurusi orang yang belum tentu pengen kurus, eh maksudnya jangan suka ngopeni, cerudik atau apalah ya istilahnya, gak penting atau gak ada manfaatnya buat kita tapi sudah bikin orang kesal atau bahkan tersinggung. Pelajaran yang lain yaitu berbahasa lah yang baik. Sebagai mahluk sosial kita sangat bergantung pada bahasa yang baik, yang disampaikan dengan baik dan didasari niat baik.

Sudah itu saja, semoga bermanfaat.


                   ****************

Jumat, 07 Juni 2019

TEMU KELUARGA BESAR HAJI ABDUL HAMID

Seperti tiga Hari Raya Idul Fitri sebelumnya, kali ini pada H+2 keluarga Abdul Hamid kembali berkumpul di Sawah Gunung Alip, Banjarsari, Talangpadang. Kegiatan ini telah disepakati bersama sebagai agenda tahunan anak cucu keturunan HAH, Haji Abdul Hamid.

Sejak pagi aku sudah bersiap mencari ikan untuk menu makan siang. Sementara Ayok Tuti dan Ayok Elti menyiapkan sayur asem dan sambal terasi sebagai pelengkap. 

Para Sak, ayok, adek, keponakan dan cucu sudah diberitahu untuk berkumpul melalui pesan di grup wa. Ada yang antusias, ada yang datar-datar saja, ada yang pamit tidak bisa hadir karena berhalangan mudik. Tahun ini memang beberapa keluarga ada yang tidak bisa hadir. Seperti Sak Iwan yang dapat giliran mudik ke kampung istri, Ayok Efi yang berlebaran di Bekasi, Sak Ismet, Meli, Iin dan Sak Bas yang juga yang dengan alasan masing-masing sangat menyesal tidak dapat berkumpul seperti biasa.

Namun ketidak hadiran beberapa anggota keluarga tidak mengurangi meriahnya suasana halal bi halal hari itu. Hiruk pikuk penuh canda tawa mengeratkan kembali tali rasa diantara kami. Hadir mewakili keturunan pertama, istri dari anak ketiga unggang (kakek) Abdul Hamid, satu-satunya yang masih ada yaitu Wak Waimunah. Ada cucu tertua yaitu Sak As'ad beserta istri, anak menantu dan cucu2nya.

Setelah makanan siap, tikar digelar dengan daun pisang sebagai tempat sajinya, bacakan kali ini dibuka dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Wak Waimunah. Alhamdulillah makanan cukup bahkan berlebih. Setelah makan dilanjutkan dengan bincang-bincang dan senda gurau. Yang paling seru ada di sesi  foto. Teriakan dan tawa memecah area persawahan yang baru masuk masa tanam.

Kenapa Sawah Gunung Alip ini yang dipilih sebagai tempat berkumpul? Menurut cerita cucu tertua, hal itu karena ada nilai historisnya, sawah ini adalah sawah pertama yang dibeli oleh Unggang saat pertama kali hijrah dari Kotabumi. 

Masih berdasarkan cerita cucu tertua, dulu Unggang tinggal di Kotabumi, sementara anak tertuanya, H. Toha, ayah dari cucu tertua, belajar mengaji di Waylima. Jarak yang ditempuh cukup jauh dari tempat tinggal unggang. Untuk mengantar beras sebagai stok perbekalan anaknya, unggang mau bersusah payah mengayuh sepeda karena jaman itu hanya itulah alat transportasi yang paling efektif. Jadi supaya tidak terlalu jauh akhirnya Unggang memutuskan pindah dari Kotabumi ke Talangpadang.

Unggang Abdul Hamid adalah orang yang buta huruf dan tidak bisa mengaji. Tak ada kesempatan belajar baginya karena di dusun beliau hanyalah anak yatim miskin yang pada saat itu perlakuan saudara-saudaranya kurang baik pada anak yatim miskin. Meskipun keluarganya kaya raya tidak ada bagian waris bagi anak yang ayahnya meninggal, bahkan jikapun ayahnya memiliki harta biasanya harta sang ayah akan dikuasai keluarga.

Sak Asad pernah berkunjung ke rumah saudara Unggang yang disebutnya sebagai Umeh Gendut, 

"Umeh,..aku ini cucunya Unggang Abdul Hamid" kata Sak memperkenalkan diri selayaknya orang menyambung tali silaturahmi yang lama terputus.

"Ooh, kamu cucung CekNu" ujarnya dengan nada sinis, hanya begitu saja reaksi Umeh Gendut. CekNu adalah nama kecil Unggang sebelum beliau menunaikan ibadah haji. Setelah mempersilahkan Sak Asad duduk Ia lalu masuk kedalam dan tidak keluar lagi sampai lebih dari dua jam. Sampai akhirnya Sak Asad berpamitan pulang.

Sak Asad benar-benar kecewa dan jadi tahu bahwa ternyata di kampung asalnya Unggang sangat tidak dihargai. Itulah sebabnya Unggang bertekad ingin merubah nasib anak keturunannya agar dihargai oleh orang lain. Caranya dengan berilmu dan berharta. Mengirim anak tertuanya belajar agama walau harus keluar kota, menyekolahkan anak keduanya hingga ke ibukota, membangun bisnis untuk anak ketiganya dan anak perempuan satu-satunya yaitu Mama ku mengelola sawah dan kebun yang satu persatu dikumpulkan Unggang.

Menurut Sak, di kampung asalnya ada tiga hal yang menjadi standar sukses untuk bisa terpandang dan dihargai. Pertama punya rumah, kedua bisa menikahkan anak dan ketiga naik haji.

Punya rumah artinya punya harta, bisa menikahkan anak berarti punya kekayaan lebih dan tersohor, karena jaman itu menggelar pesta pernikahan tidak lah murah dan naik haji maksudnya selain kaya raya juga berilmu agama yang baik.

Alhamdulillah berkat kegigihan dan perjuangan keras, Unggang dengan support dari Umeh Hajjah Arinam binti Zakaria berhasil memenuhi tiga standar sukses tersebut. Sak Asad mengingatkan kami semua untuk meneladani semangat juang Unggang dan Umeh. Menjadikan pendidikan sebagai prioritas bagi anak cucu kami, penerus Trah HAH, Haji Abdul Hamid. Dan segera menunaikan ibadah haji  jika telah mampu. Mungkin bisa ditambahkan satu lagi yaitu menyayangi anak yatim.

Matahari sudah menggelincir jatuh, satu persatu berpamitan pulang. Semoga bisa jumpa lagi dalam acara ini tahun depan. Aamiin

Rabu, 05 Juni 2019

IDUL FITRI 2019

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم,

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

🕌 *EID MUBARAK*

*TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM TAQABBAL YAA  KARIIM*

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H
Mohon maaf lahir dan batin🙏

Alhamdulillah sampai lagi di hari yang Fitri. Selamat tinggal Ramadhan, semoga masih bisa jumpa tahun depan.

Rumah besar ini tampak lengang. Pintu depan dan samping terbuka lebar tapi belum ada tamu yang datang. Tidak ada tetua di rumah ini dan hal itu berpengaruh pada ramai tidaknya tamu berkunjung. Kedua orang tua sudah almarhum, kakak sulung tidak mudik karena mudik ke kampung istri. Kakak kedua dan ketiga belum datang, kakak ke empat juga berhalangan mudik.

Tak ada kaki-kaki kecil berlarian kesana kemari. Tak ada tangis dan jerit hiruk pikuk anak-anak berebut kue lebaran. Jika tak ada yang datang maka alangkah baiknya jika kita yang berkunjung ke tetangga lebih dulu.

Rumah yang di dalamnya ada tetua adalah pilihan yang bagus. Kita bisa sekalian bertemu lebih banyak orang untuk bersilaturahmi. Seperti di satu rumah mungil minimalis yang kami kunjungi tadi. Rumah mungil itu terasa sempit karena banyaknya anak cucu dan menantu yang datang. Alangkah bahagianya berdesakan sembari melapangkan hati saling memberi maaf dan ucapan selamat Idul Fitri.

Hari ini akan sibuk dikunjungi dan mengunjungi. Satu persatu tamu akan datang dan satu persatu ikatan tali silaturahim ditautkan.

Selamat hari raya Idul Fitri.

Selasa, 04 Juni 2019

PASAR KU DULU DAN KINI

Pergi ke pasar pada H-1 Idul Fitri itu ada serunya, ada tanya, koma, titik, titik dua..ehh.. maksudnya seru-seru sedap gitu. Melihat-lihat hiruk pikuk umat di pasar pagi yang masih kumuh seperti dulu. Dengan bangunan-bangunan toko yang tua dan tak terawat, parkir-parkir liar di bahu jalan bercampur dengan pedagang-pedagang dadakan di pinggir jalan. 

Macet adalah pemandangan biasa yang terlihat. Justru itu bisa jadi indikator ramai tidaknya pasar hari itu. Walau kadang cuma ramai saja tapi penjualan tidak banyak mengalami perubahan dari hari biasa.

Enaknya blusukan ke pasar menjelang hari raya berjalan kaki saja. Kalaupun berkendara sebaiknya parkir agak di luar area pasar. Untuk mencegah terjebak macet atau malah jadi penyebab macet itu sendiri. Lagian enak, bisa lebih santai melihat-lihat. Kalau beruntung bisa bertemu teman-teman atau kenalan-kenalan lama yang sudah mulai berdatangan dari rantau.

Suasana H-1 di pasar Talang Padang pagi tadi cukup ramai. Tapi tidak seramai dulu. Biasanya kalau dulu banyak lapak-lapak dadakan memajang paha-paha sapi dan kerbau di pinggir jalan sepanjang depan Toko H.Yakub sampai Masjid Jami. Ditambah lapak-lapak penjual ayam potong dan ayam kampung. 

Di bagian pasar sayur yang sumpek akan semakin sumpek karena ramainya. Semua orang seolah takut besok pasar tidak buka hingga membeli stok sayuran berlebih. Tempat-tempat penggilingan bumbu dan parut kelapa antrean panjang. Toko-toko kelontong penuh pembeli yang membeli stok dagangan lebih dari biasanya karena besok toko di pasar libur sementara di kampung ramai oleh perantau-perantau mudik berkantong tebal, maklum lebaran kan.

Tidak cuma itu, toko-toko pembeli hasil bumi juga ramai didatangi petani yang menjual hasil kopi, cengkeh, dan lada. Toko-toko emas perhiasan ramai begitu pula toko perabotan dan furniture. Gairah menyambut lebaran benar-benar terasa. Dan itu sangat menyenangkan untuk dinikmati.

Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak seramai dulu lagi. Para pembeli sudah terpecah karena di pelosok-pelosok seperti Ulu Belu, Pulau Panggung, Sumberjo dan lainnya sudah ada pasar yang bahkan lebih ramai dari pada pasar Talang Padang. Ditambah lagi sekarang ada yang namanya belanja online, yang membuat orang malas turun ke pasar.

Petani hasil bumi juga jarang terlihat karena hasil bumi yang juga menurun. Pembeli perhiasan terlihat jarang berbaris di depan etalase toko. Bahkan sempat terlihat pedagang toko perhiasan yang menunggu bosan karena sepi pembeli. Sedangkan toko furniture dan perabot rumah tangga lebih banyak dikunjungi ibu pemegang arisan yang sedang membelikan pesanan konsumen.

Denyut nadi pasar Talang Padang melemah. Nafasnya tersengal. Merasa pengap dengan tumpukan sampah yang menjadi aib tak tuntas dari masa ke masa. Jalanan sempit dan rompal di sana-sini. Pedagang bercampur baur antara pedagang sayur, makanan, ikan, kelontong dan pakaian tak beraturan. Tapi pemandangannya menjelang lebaran adalah sebuah fenomena asyik untuk dinikmati. Menikmati hiruk pikuk dan kenangan masa lalu, kenangan masa kecil saat masih ada ayah dan ibu.

Senin, 03 Juni 2019

DIARY FROZEN SHOULDER 2

Saat pertama terapi term kedua ini terapis memberikan penanganan yang sama seperti sebelumnya tapi aku bilang kalau dokter merekomendasikan ultrasound setelah di TENS. 

Ultrasound adalah metode terapi dengan gelombang suara frekuensi tinggi pada daerah yang terkena. Gelombang suara ini akan diubah menjadi panas pada jaringan bahu bagian dalam, sehingga melebarkan pembuluh darah dan memberikan suplai oksigen yang lebih banyak pada daerah yang cedera.

Terapis membaluri bahuku dengan gel lalu menggosokkan alat kecil seperti setrika wajah. Rasa hangat menjalari lenganku terasa hingga ke pergelangan tangan. Alat ini harus terus digerakkan karena kalau tidak bisa mutung dah kulit. Nah, kalau biasanya terapis hanya memasang alat lalu membiarkan ku sendiri sampai timer berbunyi, kali ini mereka harus khusus menangani ku secara langsung, wah maaf ya jadi merepotkan.

Tapi terapisnya baik, sopan dan sabar. Karena sudah profesi kali ya. Setelah di US / ultrasound, kadang lenganku digerak-gerakkan untuk melatih rentang gerak bahuku. Selanjutnya aku melatih sendiri di rumah. Contoh gerakannya bisa kulihat di google dengan kata kunci 'latihan fisik Frozen shoulder'.

Rasa nyeri di bahu kurasakan jika terlalu banyak latihan atau tidur miring ke kiri menimpa bahu. Kalau sudah begitu aku mengatasinya dengan kompres dingin. Tidak hanya bagian bahu, kadang otot bisep juga terasa nyeri.

Pernah suatu kali ketika aku mengikat rambut sambil jalan melewati pintu lalu sikuku menyenggol daun pintu yang membuat lengan tertarik ke belakang, oh God, itu sakitnya luar biasa. Dan tidak tau harus diapakan kecuali menahan sakit sampai kemudian hilang dengan sendirinya. Dan itu berlangsung selama beberapa menit. 

Seringkali aku menangis bukan karena terlalu sakit tapi merasa malang, kenapa aku yang aktif bergerak dan olahraga bisa kena masalah ini. Dan kalau sudah galau begitu giliran rhinitis vasomotor ku pula yang kambuh. Atau asam lambung meningkat. Aihhh.

Kadang ada kalanya aku merasa bosan menjalani terapi ini. Apalagi jarak rumahku cukup jauh dari Rumah Sakit. Rasanya pingin berhenti saja dan menjalani latihan sendiri di rumah. Tapi karena manfaat fisioterapi ini terasa sangat membantu akhirnya aku tetap jalani. Untuk mengusahakan pengobatan alternatif seperti bekam dan akupuntur juga sudah malas. 

Penanganan Frozen shoulder memang butuh waktu lama. Dokter ortopedi dan dokter rehab medik sudah pernah mengingatkan bahwa pemulihan ini bisa berlangsung bahkan sampai beberapa tahun. Begitu juga info yang kudapat dari artikel-artikel  Frozen shoulder di internet. Jadi aku memang harus menyiapkan diri dan mental untuk bersabar menghabiskan banyak waktu agar pulih kembali.

Setelah sesi ke delapan term kedua selesai berarti total sudah 16 sesi  terapi aku bersiap kembali menemui dokter. Sebelumnya aku memperpanjang dulu masa rujukan BPJS karena masa berlakunya hanya tiga bulan. Memang masa terapiku hanya dua bulan tapi aku banyak menunda nunda misalnya terapi dua kali seminggu jadi hanya sekali atau malah tidak datang sama sekali.

Meminta surat rujukan ke faskes pertama berarti mengulang prosedur seperti awal lagi. Mengantri dan bertemu dokter umum di faskes pertama. Bedanya kali ini aku lebih bisa menjelaskan apa masalahku jadi prosesnya lebih cepat. Termasuk menjelaskan bahwa aku memang masih sangat membutuhkan penanganan fisioterapi.

Setelah mendapat surat rujukan aku kembali ke gedung fisioterapi RS. Husada untuk bertemu dokter. Seperti biasa, antrian panjang yang membosankan. Maklum dokter rehab medik masih termasuk langka disini, jadi pasiennya membludak. Makanya dibatasi dengan kuota.

Ketika tiba giliranku, aku masuk dan agak kecewa karena dokternya bukan dokter yang sebelumnya. Tapi tidak apa-apa sih, yang ini malah lebih detail bertanya dan mencari tau masalahku. Termasuk menggerakkan tanganku untuk memastikan sejauh mana keterbatasan gerak yang kualami.

Hasilnya dokter mengatakan sudah ada kemajuan dan merekomendasikan terapi yang sama seperti sebelumnya ditambah latihan fisik dengan fasilitas yang ada di gedung fisioterapi ini.

Saat mempublish tulisan ini, aku sudah menjalani empat sesi terapi. Ada dua kali sesi yang tidak kuhadiri karena sudah dekat hari raya dan lalu lintas lebih ramai dari biasanya hingga aku sungkan untuk pergi. Tapi di rumah aku masih terus melakukan latihan gerak bahu dan lengan. 

Aku sudah bisa mengangkat lengan hampir lurus melampaui kepala. Tapi bukaan ketiak masih belum sempurna, menyisakan lekuk segitiga. Begitu juga gerakan tangan ke belakang masih terbatas. Kalau dipaksakan terasa nyeri.

Oh iya, di awal-awal aku sempat mengkonsumsi obat yang diresepkan dokter ortopedi yaitu meloxicam dan eperisone. Sekarang sudah tidak pernah lagi. Kalau sakit cuma dikompres dingin saja.

Untuk sementara diary Frozen shoulder ini kututup dulu dan akan di update pada tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat.


                    *****************

Minggu, 02 Juni 2019

DIARY FROZEN SHOULDER 1

Awalnya ketika aku merasakan nyeri di bahu saat melakukan gerakan melempar. Ah, mungkin sendi bahuku terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba pikirku. Biasanya hilang sendiri rasa nyeri itu. 

Lain waktu aku kesulitan membuka kaitan bra. Itupun masih kuabaikan. Hingga rasa sakit itu berulang dan aku menyadari ada yang salah dengan bahu kiriku. Hal itu berlangsung hingga berbulan-bulan.

Karena rasa sakitnya hanya timbul saat melakukan gerakan tertentu aku jadi tidak terlalu rewel walaupun mulai merasa terganggu. Dengan pikiran nanti juga bisa pulih sendiri.

Hingga tak terasa hampir setahun aku mencoba beradaptasi dengan rasa sakit di bahuku. Sudah kuusahakan mengatasinya dengan pijatan baik kulakukan sendiri atau meminta bantuan terapis. Tetap saja tidak ada kesembuhan. Sampai suatu ketika rasa nyeri itu disertai rasa kaku di otot bagian bahu dan sekitarnya hingga mulai menjalar ke leher.

Aku mulai khawatir dan memperhatikan keluhanku dengan serius. Mulanya hanya mencari informasi di internet. Hingga aku mulai menduga apa kiranya yang sedang kualami ini. Tapi masih ragu sebelum melakukan pemeriksaan langsung. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi dokter.

Berdasarkan informasi dan dugaan penyakit yang aku derita kuputuskan menemui dokter ortopedik. Dengan rujukan dari faskes pertama, karena aku menggunakan BPJS, aku pergi ke RS Husada di Pringsewu. Tak usah kuceritakan lah ya bagaimana dan berapa lama mengantri hingga akhirnya ketemu dokter. Yang jelas dari jam delapan pagi hingga jam lima sore baru pulang ke rumah.

Berdasarkan diagnosa dokter aku mengalami Frozen shoulder. Sebelumnya aku sempat minta difoto Rontgen karena khawatir yang bermasalah adalah tulang atau sendi. Dokter membuatkan surat agar aku menjalani fisioterapi.

Ternyata untuk mendapatkan terapi di ruang fisioterapi yang berada di gedung tersendiri di lingkungan RS Husada itu aku terlebih dahulu harus menemui dokter rehabilitasi medik. Nah andai sudah tahu mengalami Frozen Shoulder mungkin lebih baik langsung saja ya ketemu dokter rehab medik.

Masalahnya dokter rehabilitasi medik ini tidak setiap hari bertugas di RS Husada Pringsewu. Hanya hari Jumat dan Sabtu, itupun pasiennya dibatasi dengan kuota. Jadi ada pakai daftar tunggu. Karena waktu itu aku tidak kebagian kuota maka aku mendaftar untuk bisa ketemu dokter Jumat berikutnya.

Pada hari yang ditentukan, pagi2 sekali jam 07.00 aku sudah meminta keponakan mengambil nomor antrian. Dapat antrian nomor tiga, yess. Lalu jam lima sore sudah bersiap di ruang tunggu, jam praktek dokter nya kalau Jumat memang mulai jam segitu. Tak lama menunggu akhirnya tiba giliranku.

Dokternya ramah. Dia menanyakan keluhanku. Aku menceritakannya dan menjawab beberapa pertanyaan lain seperti apakah aku pernah menjalani operasi, apakah menderita diabetes dan apakah pernah jatuh. Juga pertanyaan sudah berapa lama aku merasakan yang kukeluhkan itu. Lalu memintaku melakukan gerakan mensejajarkan tangan ke samping searah bahu lalu mengangkatnya kearah kepala. Aku melakukan dengan mudah pada tangan kanan, tanganku terangkat hingga menyentuh telinga, tapi tidak pada tangan kiri yang hanya terangkat sejajar bahu saja, itupun sambil meringis dan bahuku sedikit naik.

Lalu dokter memintaku meluruskan tangan ke depan dan mengangkatnya. Itu juga kulakukan dengan mudah pada tangan kanan hingga tanganku naik keatas  dan bisep menyentuh telinga. Tapi tangan kiri hanya terangkat sejajar wajah saja. Setelah beberapa gerakan lain seperti gerakan tangan ke arah punggung akhirnya dokter menyimpulkan aku mengalami Frozen shoulder atau bahu beku.

Apakah ini otot atau sendi yang bermasalah dok? Tanyaku, dokter bilang otot. Sayangnya aku lupa membawa hasil foto Rontgen tapi kata dokter kalau masalah otot foto Rontgen tidak terlalu banyak membantu karena penampakan otot tidak jelas terpampang.

Dan dokter memberikan catatan yang kuserahkan pada terapis lalu terapisnya membuat jadwal terapi untukku dua kali dalam seminggu selama 4 Minggu.

Keluar dari ruangan dokter aku diarahkan petugas ke ruangan fisioterapi. Oleh terapisnya diminta meng-copy berkas untuk keperluan administrasi. Setelah selesai, hasil copy berkas diambil dua berkas dan sisanya diserahkan padaku dan harus kubawa setiap kali menjalani terapi. Hari itu aku langsung saja memulai terapi pertama ku.

Ruang fisioterapi ini berisi sepuluh tempat tidur yang disekat hanya dengan gordyn. Dilengkapi alat-alat terapi dan terapis yang bertugas tiga orang kadang lebih.

Pertama-tama aku diminta berbaring. Ditanya bagian mana yang sakit. Kusebutkan bagian bahu. Lalu terapis memasangkan alat yang mengalirkan arus listrik. Setelah beberapa kali terapi aku baru tau itu namanya TENS, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation. Yaitu penggunaan arus listrik yang dihasilkan oleh perangkat untuk merangsang saraf untuk mengurangi rasa sakit.

Setelah selesai di TENS  bahuku di panaskan dengan alat lain. Setelah itu sesi terapi pertamaku berakhir.

Sesi terapi kedua hari berikutnya pemberian terapi masih sama. Begitu juga seterusnya sampai terapi yang terakhir dan tiba waktunya ketemu dokter lagi.

Dokter bertanya tentang kemajuan yang kudapat setelah menjalani terapi. Rasa sakit di bahuku sudah banyak berkurang. Terutama rasa kejang yang menjalar ke leher sudah tidak pernah kualami lagi. Hanya saja nyeri di bahu masih sering kudapatkan.

Rentang gerak bahuku juga sudah mengalami kemajuan, yang tadinya hanya sejajar bahu sekarang sudah lebih tinggi. Dokter menyarankan kompres dingin saja setiap kali aku merasakan nyeri. Dan mengganti terapi infrared dengan ultrasound. Kali ini aku diharuskan menjalani delapan sesi terapi.

To be continued...

MEMULAI LAGI

Bagaimana bisa, kata-kata yang dulu sering berserakan tinggal comot dan susun lalu jadilah sebuah tulisan yang bisa dinikmati orang lain atau minimal oleh diriku sendiri, kini hilang lenyap. Biar kukais-kais tetap saja sulit.

Aku yang pernah menulis tentang trik untuk penulis pemula kini buntu, bahkan lebih parah dari seorang penulis pemula. Itulah efek berhenti menulis dalam jangka waktu lama. Seperti pisau tua yang lama tak digunakan, tumpul dan berkarat.

Ditambah lagi dengan malas membaca, jadilah sudah, aku akan makin tumpul dan terhenti terlebih jika menulis jadi sebuah tuntutan. Meski aku pernah mengalami masa-masa menulis dengan tuntutan deadline, tetap saja kesulitan untuk memulai kembali.

Seperti mengasah pisau tumpul dan berkarat, begitu pula agaknya yang harus kulakukan pada kegiatan menulisku. Perlahan saja. Lakukan dengan senang. Asah, basuh, bilas lalu asah lagi. Gunakan terus hingga kembali kata-kata itu berserakan tinggal comot lalu rangkai. Walaupun hasilnya belum memuaskan, tidak apa-apa. Lagipula aku tidak sedang dalam rangka memuaskan siapapun.