Minggu, 31 Desember 2017

MANDALA RASA

Kulempar pensil gambar ku dengan kesal. Kutinggalkan kertas gambar ku yang baru sedikit berisi lingkaran-lingkaran sketsa mandala. Rasanya sulit sekali berkonsentrasi. Padahal maksudku membuat mandala adalah berlatih konsentrasi sekaligus menenangkan hati. Tapi kali ini sepertinya gagal. Pikiranku masih saja berantakan hingga aku tak bisa mengenali apa yang sedang kurasakan saat ini.


Kuhempaskan tubuhku di kasur bertilam putih terlentang memandang ke plafon yang juga berwarna putih. Mencoba merefleksikan pikiranku ke bidang kosong itu. Tetap saja yang kulihat hanyalah bentuk-bentuk abstrak tak karuan yang aku tidak tau itu apa.


Hujan seharian tadi menyisakan udara dingin yang lembab. Jari-jari kakiku terasa sangat dingin. Tubuhku juga kedinginan tapi aku masih saja tetap bandel menolak menggunakan jaket atau sweater. 


Bolak-balik di tempat tidur, bergelung selimut dengan bosan. Kucampakkan selimutku dan bangkit ke dapur. Menyeduh kopi jantan yang wangi dan duduk di kursi bambu kesukaanku. Dan mulai mengaduk ingatanku tentang rajawali ku yang sedang mengangkasa. Ahh, betapapun sakitnya jarak menjahati kita, tapi ia memberikan rindu sebagai penawar. Dan rindu yang selalu segar seperti krisan ini sungguhlah sesuai.


Rasanya begitu gila membayangkan hilangnya bayangan kepak sayap rajawali itu. Betapa berharganya suara pekiknya tiap kali berkisah tentang birunya langit. Derasnya angin. Indahnya derai hujan yang bergulir di bulunya yang indah. Dan betapa merdu suara kepak sayap itu yang terdengar sayup-sayup sampai. 


Aku tak berani membayangkan kehilangan itu semua hingga akan kupertaruhkan rasa malu untuk tetap dapat memintal benang asa tentangnya. Jikapun matahari bersinar terlalu terik, akan kupicingkan mata agar tetap dapat melihatnya terbang perkasa di angkasa.


Perlahan aku bisa melihat gambar sayap di plafon kamarku. Makin lama makin jelas. Lalu bisa kupastikan itu bentuk seekor rajawali yang sedang menukik tajam lalu kembali membumbung terbang tinggi dengan gagah. Aku tersenyum. Lalu udara tiba-tiba jadi sedikit hangat. Kupejamkan mata, dan kulihat wajah tampan rajawaliku dengan sorot matanya yang tajam penuh semangat. Hatiku pun menjadi hangat.


Jangan hilang, rajawaliku.. Apapun yang kurasakan akan kuterima jika itu membuatku bisa merasaimu. Terbanglah kemana saja, jadilah mataku. Tangkaplah keindahan dunia dan beri aku sedikit pun jadilah.


Kusingkirkan selimut yang membuntalku. Kuraih pensil yang tadi kucampakkan dan mulai menggoreskan garis-garis, lekukan dan lingkaran di kertas gambar.

Melanjutkan membuat mandala yang tadi tertunda. Perlahan tapi pasti bentuknya terlihat samar-samar menyerupai kepakan sayap gagah sang rajawali.

                     

                     ************

--
AMI MUSTAFA

Kamis, 28 Desember 2017

BAIK-BAIK SAYANG...

Alangkah terik matahari siang ini. Seolah saat ini bukan Desember saja. Hampir semua tanamanku merasa merana karenanya. Sore ini pasti aku tak bisa menghindar dari menyirami mereka. 


Dari jauh kupandangi Murra-ku yang juga kepanasan. Aku rindu sekali menyentuhnya. Memindahkan pot-nya dari sana ke tempat yang lebih teduh. Tapi aku khawatir malah akan membuatnya cedera. 


Sedari tadi aku hanya melewatinya bahkan tanpa menoleh sedikitpun. Kusibukkan diri dengan memasak, kebetulan aku kedatangan saudari sulungku dan kami makan siang bersama. Menikmati rasa memiliki keluarga sungguh menyenangkan. Mereka jarang datang berkunjung, jadi kedatangan sebentar saja sudah sangat berarti.


Setelah saudariku pulang aku kembali ke halaman samping. Melewati Murra dengan masih tanpa menyapanya. Sesekali kutatapi Ia dari jauh. Ia menunduk lesu sambil menyembunyikan kegalauan hatinya. Aku masih belum tau harus berbuat apa. Kupikir biarlah, ada bayang pohon mangga yang akan meneduhinya. Ada sekelompok daun strawberry yang akan dengan senang hati menghiburnya. Di sampingnya ada Polyscias Scutellaria yang siap menenangkannya, belum lagi Tradescantia Spathacea cantik yang selalu mensupportnya. Murra akan baik-baik saja tanpa ku. 


Kupejamkan mata sambil berbaring di hammock di bawah pohon alpukat yang rindang dan berbuah lebat. Berharap bisa tertidur nyaman dalam buaian. Semoga tak ada buah alpukat tua yang jatuh menimpaku. Andai nyaman ini bersama wangi aroma mu, Murra....

--
AMI MUSTAFA

Rabu, 27 Desember 2017

BERPELUK HAMPA


Entah kenapa hari ini kopi jantan yang kuminum terasa hambar. Tak ada rasa asamnya yang khas di lidahku ketika kusesap Ia. Bahkan aroma wanginya tak tercium ketika asapnya mengepul dalam cangkir kopi ku saat aku menyeduhnya. 


Rasanya begitu kosong dan hambar. Tertawa pun terasa berat dan melelahkan. Dedaunan yang biasanya hijau berkilauan tertimpa sinar matahari rasanya begitu kusam. Daun kering yang bertebaran digugurkan pohonnya seolah merintih pilu tak berdaya dan tercampak.


Kurabai perutku yang berbunyi dan lambung yang sedikit perih. Aku lupa sudah makan apa hari ini. Aku nyaris tak mengingat apapun yang terjadi seharian tadi. Tahu-tahu hari sudah gelap dan aku merasa gamang.


Kupeluk hatiku yang berdenyut lemah dan basah oleh airmata. Sendirian terduduk di sudut gelap menyenandungkan lagu nina bobo. Aku menyuruhnya mengganti iramanya, tapi hatiku seolah tak mendengar. 


Kedekap erat tubuhku, kubenamkan wajah di lututku. Pelan kubelai rambutku yang mulai panjang dan masih hitam berkilau. Kubisikkan pada hatiku bahwa aku akan menjaganya dan membujuknya berhenti berharap orang lain sedia untuk menemaninya. Aku yang akan menemanimu, kataku.


Kuajak tubuhku berbaring. Kuletakkan perlahan kepalaku di bantal yang masih bisa kucium wangi tubuhnya. Kumiringkan tubuh mungilku ke kiri agar Ia bisa merasai lagi hangat tubuh dan detak jantung itu. Perlahan jemariku merabai tempat kosong disampingnya. Mengusap lembut, selembut gulir airmata yang tiba-tiba jatuh dari pelupuknya.


Kubiarkan airmata itu mengalir dan mengering sendiri. Kueratkan lagi pelukanku. Kembali kubelai rambutku dengan penuh rasa sayang. Kusentuhi bibirku dan memintanya tersenyum. Ayolah, senyum akan membuatmu merasa lebih ringan. Mari kita lepaskan belenggu kosong ini. Singkirkan kehampaan ini.


Kepalaku menggeleng lemah. Biarkan hampa ini membelengguku, bibirku berbisik. Lalu akupun membiarkan tubuhku menikmati kekosongan yang mulai terasa menyiksa. Kulepaskan dekapanku, kuhentikan belaian tangan di rambutku. Kubiarkan mereka tergeletak lemas di samping tubuhku. Kupejamkan mata, kuluruhkan tenaga. Lalu masuk ke dalam lingkaran gelap yang menghisapku semakin dalam dan dalam.


                       ________________


--
AMI MUSTAFA

MURRA, KEMUNING TAMPANKU


Kuhela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kutatapi kotak indah tempatku menyimpan benih yang dulu pernah sangat kuinginkan tumbuh di lahan subur milikku yang masih tak terjamah.


Benih yang kupikir akan bertumbuh subur dan berbunga indah dengan aroma wangi yang semerbak namun seiring waktu kusadari tak pernah bersedia atau tak yakin untuk bertumbuh di tamanku. Benih yang pada akhirnya kuputuskan untuk kusimpan saja meski tak pernah yakin akan bertumbuh kembali entah kapan nanti.


Kuusap kotak indah yang kusimpan dengan baik di rumah yang telah lama kutinggalkan. Ketika ini selesai kukemas manis dan cantik lalu kupastikan tersimpan aman dan nyaman, aku hampir tak pernah lagi menyentuhnya. Apalagi berniat lagi untuk menyemainya. Bahkan seringkali aku membuang muka ketika tak sengaja kulihat kilaunya setiap aku kembali pulang ke rumah ini. Bergegas menghalau keinginanku untuk memandanginya berlama-lama dan menghardik pikiran serakahku akan khayalan melihatnya berdaun hijau dan berbunga cantik dengan aroma semerbak bertahta di taman indahku yang selalu basah dan bermentari.


Perlahan kubuka kotak yang entah kenapa seolah tersenyum dan mengangguk padaku dan berkata, ini waktunya Mei..


Kulihat benih itu masih sama seperti dulu. Sepertinya waktu tak berkuasa merusaknya. Mungkin justru karna tak pernah kusentuh ia masih tetap dalam kondisi baik dan siap disemai kembali. Dengan ragu kukeluarkan Ia dari bungkusan indahnya. Sunggukah engkau akan bisa bertumbuh lagi setelah sekian lama? Sementara tamanku tak lagi permai seperti dulu?


Kubawa kotak benih itu ke halaman samping rumah tempat dulu aku punya sudut yang ku klaim sebagai taman milikku. Taman yang lama tak terawat meski tanahnya masih tetap subur. Seperti rimba mini dengan semak belukar dan duri. Tanaman yang tumbuh sendiri karena bentukan waktu dan cuaca. Gulma bebal yang serakah berebut tempat dengan aglonema merah yang pasrah mencoba berbagi tempat menyeruak diantaranya.


Dimana lagi akan kubenamkan benih ini ketika aku merasa Ia tak pantas ditanam di sembarang tempat. Haruskah Ia tumbuh di tempat yang tak lagi indah ini sementara dulu ketika tempat ini masih murni Ia tak pula sudi bertumbuh.


"Bumi memilihku untuk bertumbuh saat ini dan aku menyetujuinya apapun kondisi taman ini dan dimanapun kau benamkan aku" 


Aku terkesiap mendengar bisikan itu. Segera kubuka kotak kayu ditanganku. Benih itu tersenyum lembut. Aduhai... Alangkah manis dan indahnya senyum itu. Seluruh tubuhku bergetar karenanya.


"Benarkah? Apa itu engkau?" Aku bertanya terbata-bata tak percaya.


"Ini aku, Murraya Paniculata" jawabnya, "benih yang dulu pernah kau harap tumbuh di taman mu, tapi terlalu sombong untuk berani bersemi disana walau sangat ingin"


Aku tersenyum haru teringat harapan di masa lalu.   

 

               _______________


Beberapa hari setelah kutanam benih Murra dalam pot sederhana yang kuisi dengan campuran tanah, sekam dan pupuk kandang dengan komposisi 1 : 1 dan penyiraman normal serta sinar matahari yang tidak terlalu banyak, aku sudah bisa melihatnya tumbuh dan menyeruak dari tanah. Ya Tuhan, serasa takjub melihat benih yang sekian lama kusimpan ternyata masih bisa bertumbuh seperti itu. Tak habis-habis rasa takjubku terlebih Ia juga sangat cepat berbunga. 


Bunganya cantik berwarna putih berkelopak memanjang kecil berjumlah lima dengan mahkota tampan di tengahnya dan aromanya luar biasa wangi. Wangi yang lembut dan sangat mempesona seelok rupanya. Meski daunnya yang hijau tua belum terlalu banyak, Ia sudah berbunga dan menebar wanginya memelukku hampir disetiap waktu. Menghiburku, menemaniku tertawa bahkan menangis.


"Mei, terima kasih sudah mengijinkanku bersamamu" ucapnya setiap kali kami saling menceritakan ketakjuban kami atas kebersamaan ini.


"Aku yang berterima kasih padamu, Murra, karena telah bersedia melewati waktu yang begitu panjang bertahan dan tetap tumbuh menemaniku" balasku. Kadang saking gemasnya aku akan mengangkat potnya dan menciumi bunganya tanpa sadar itu menyakiti Murra. Aku baru akan tahu ketika Ia mengatakan itu membuat akarnya yang menembus ke tanah tercerabut dan kelopak bunganya nyaris berantakan. Atau kadang serbuk mahkotanya berguguran.


Jika itu terjadi aku merasa sangat menyesal. Sangat. Karena tak pernah ingin aku menyakitinya. Karena jika Ia merasa sakit aku juga akan tersakiti.


Murraya Paniculata atau Kemuning adalah sejenis tanaman  hias yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan. Selain bunganya yang indah dan wanginya yang harum baik untuk relaksasi, daunnya mengandung banyak kegunaan seperti obat memar, nyeri tukak, sakit gigi, rematik dan lain-lain.


Sejatinya Ia adalah tanaman yang cukup tangguh dan tidak terlalu membutuhkan perawatan atau perlakuan khusus. Bahkan cukup tangguh untuk menjadi bunga pagar. Tapi dari yang kukenal lebih dalam ternyata Murra-ku memiliki sisi lain yang lebih lembut dan sensitif. Dibalik sosoknya yang selalu riang terkadang Ia berubah cepat menjadi melow ketika aku salah memperlakukannya.


"Aku pernah menyentuh dengan tangan ini tanaman yang beracun atau tanaman dengan wangi yang berbeda, Murra" kataku suatu kali saat sekali lagi aku mencederainya hingga Ia terkulai layu dan daunnya berguguran.


"Aku khawatir racun atau sari bunga yang tertinggal di tangan ini akan menyakitimu. Begitu khawatirnya hingga ingin rasanya kupotong saja tanganku agar tak lagi menyentuhmu" ujarku lirih tak berdaya.


"Jangan, Mei" tukas Murra "tetaplah seperti biasanya, hanya beri saja aku waktu untuk memulihkan diri" katanya menunduk sambil menekap wajahnya.


Beberapa kali hal seperti itu terjadi bahkan kadang hanya beberapa kejap setelah sebelumnya Murra berkata akan menjadi tangguh agar bisa menjagaku dan menemaniku. Seringkali pula aku tak tahan melihatnya lalu berbalik sedih dan pergi meninggalkannya, berhenti menyentuhnya namun aku selalu punya alasan untuk kembali.


Aku menangis jika bunganya gugur berantakan keesokan pagi ketika malamnya aku memaksanya mengeluarkan wangi agar ruang mimpiku terasa segar.


"Betapapun bungaku harus berguguran berkali-kali karenamu, aku akan kembali berbunga dan terus bertumbuh besar, Mei.


Aku telah melewati waktu panjang dengan harapan bisa berbunga untukmu, bisa bersamamu dan setelah itu terjadi, tak mudah bagiku untuk layu dan mati"


                   ______________


Musim panas yang terik bulan Juni sudah berlalu. Meski matahari masih terus garang pada bulan bulan berikutnya. Murra sudah semakin rimbun dan bunganya bertambah banyak bergerumbul setiap kali tiba saat berbunga. Semakin Ia mengenalku, semakin biasa dengan sentuhan tanganku yang terkadang kasar menyakitkan. Ketika tiba saat aku harus memangkas rantingnya yang meliar atau mengganti pot nya agar Ia lebih leluasa bertumbuh, Ia akan bertahan meski terlebih dulu melayu atau merana dan merasa sengsara.


"Aku akan bertahan Mei" kata Murra setiap kali aku merasa bersalah dan takut untuk terus merawatnya.


"Aku merasa tak bisa melakukan banyak hal baik untukmu. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan terus bertumbuh dan berbunga agar bisa membuatmu bahagia. Hanya itu Mei yang bisa kulakukan untukmu saat ini"


Aku terharu,

"Cukup Murra, yang kau lakukan itu sudah lebih dari cukup, kau bertumbuh saja setelah sekian lama sudah membuatku bahagia, hadirmu setiap saat dan berbunga sesering kau bisa menghiasi tamanku sudah membuatku sangat bahagia. Kau sungguh berarti buatku, Murra".


                 _______________


"Kebersamaaan ini sangat indah dan istimewa kan, Mei" katanya saat kami bercakap-cakap menunggu senja tiba.


"Tentu, Murra. Aku masih tak bisa berhenti merasa takjub bisa bersamamu"


Murra tergelak. Tawanya sangat renyah dan aku sangat menikmati tawa itu. Daunnya berguncang lembut dan bunganya bergoyang seksi. Angin sore yang sedikit kencang membuat mahkota bunganya menyentuh hidungku dan aku bersin sangat keras karenanya. Tak sengaja lututku menyenggol pinggiran rak tempat aku meletakkan Murra dan tak ayal pot nya terjatuh terjun bebas terhempas. Tanahnya berantakan, Murra tergeletak dengan akarnya telanjang tercerabut.


Sambil menangis segera kubenahi tanah yang berserakan dan Murra yang tak berdaya. Kukembalikan ke tempatnya semula dan kupandangi dengan teriris.


"Murraaaa...kenapa aku selalu jadi bencana buatmu" bisikku lirih dan gemetar. Kau baik-baik saja sebelum aku mengeluarkan mu dari kotak indah itu, berbaring nyaman tersimpan dengan elok. Tapi lihat sekarang yang aku lakukan padamu. 


Aku tak tahu butuh berapa lama Murra memulihkan dirinya. Aku tau Ia tak pernah menyesal telah memintaku menyemaikan benihnya hingga Ia bertumbuh dan berbunga. Aku juga tau, meski Ia layu dan tak ada lagi kelopak bermahkota dengan aroma wangi semerbak,  rasa sayang yang sekian lama dipertahankannya tak kan hilang seketika.


Dari balik jendela kaca bertirai deraian air hujan, kupandangi Murra yang berjuang bertahan dari terpaan angin dan dan derasnya hujan. Bertahanlah, Murra. Jikapun aku hanya boleh memandangimu dari balik kaca atau dari tempat yang jauh, tak apa, asalkan kau bertahan. Dan tetaplah indah. Tetaplah wangi meski hanya bisa kucium jika angin menyampaikannya padaku.


Berbahagialah Kemuning kesayanganku, karena aku bahagia jika kau bahagia.


          *************************




--
AMI MUSTAFA

CINTA TAK SALAH


Cinta tak pernah benar-benar tumbuh dimana saja. Tak pula bisa bertahan tetap sama dari waktu ke waktu. Tak selalu tumbuh kapan saja.


Cinta memilih waktunya sendiri untuk bertumbuh dan berkembang. Memilih kapan dia bertahan atau berpaling pergi. Memilih tetap konstan atau dinamis.


Bisa saja dalam hitungan kejap tunasnya bermunculan dan kuncup bermekaran. Lalu sedikit terhembus angin seketika daunnya kering berguguran.


Bisa pula sepotong benih yang tersimpan lama baru bertumbuh dan berbunga sangat lambat berwarna pucat dengan wangi samar bertahan gigih dari hujan, angin dan terik matahari.


Ketika cinta yang memeluk dan mendekapmu hangat tiba-tiba mengeluarkan duri sebagai bentuk pertahanan dirinya, maka luruhlah engkau


Ketika cinta yang menggenggam erat jemarimu tiba-tiba menegang panas tinggi sekali, maka hanguslah engkau terbakar dan menjadi abu


Cinta tak pernah salah, Ia memilih waktu dan tempat yang tepat. Engkau saja yang seringkali keliru mengenali wajahnya, membaui wanginya


Cinta selalu memilih nada-nada yang indah untuk didentingkan. Memilih syair-syair yang manis untuk disenandungkan. Telingamu saja yang terkadang salah mendengarnya, lalu memilih tarian yang salah


Kapanpun waktu yang dipilih cinta dan dimanapun dia memutuskan menetap, wajahnya selalu sama, irama dan syairnya sama, indah. Jika tak indah maka itu bukan Ia.

                         *********


--
AMI MUSTAFA

Sabtu, 23 Desember 2017

AKU MARAH

Dikecewakan oleh orang yang kamu anggap paling gak mungkin akan menyakitimu? Atau dikhianati oleh orang yang kamu percaya wan handret persen?

Waw!!!
Rasanya seperti tamparan ribuan kuku macan d wajahmu. Lalu hatimu terlecut.  Rasanya seperti bahan bakar yang dipantik api. Bhuummmm!!!! Tiba-tiba ada kobaran nyala api d belakang kepala. Wajah memerah dan rasanya seperti jadi raksasa yang siap menelan siapa saja dan apa saja.

Lalu karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan, kamu mencoba bertahan, meredam kemarahanmu serapih mungkin. Aduh mak!!! Itu rasanya seperti kamu seekor harimau yang diam dengan wajah datar tapi kuku-kuku tajamnya bermunculan berkilat siap mencabik.

Ya Tuhan.
Aku sih merasa sengsara dengan situasi itu. Kalau kamu?

Tapi bukan bagaimana perasaanku yang ingin kalian tahukan? Tentu saja kalian lebih tertarik ingin tahu apa yang terjadi. Mencari sepotong nama dan sepenggal kisah.

No!!!
Aku memutuskan untuk tidak menceritakan apapun hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu kalian. Kalian cuma ingin tahu, bukan perduli kan? So, kenapa harus kuberitahu? Ore ye, hehe.

Yang ingin kuceritakan hanya bagaimana aku berusaha keras untuk tidak meledakkan kemarahan. Tidak membalas menyakiti walau aku punya banyak senjata yang pernah diberikan untuk balas menyakitinya. Aku akan bertahan memegang pedang itu meski sampai tanganku berdarah darah.

Karena kemarahan pada akhirnya hanya akan menghasilkan rasa malu, aku memilih diam.

Teman yang memilih menusukku bukanlah temanku. Lalu kenapa kalau aku hilangkan saja. Lupakan. Dan memilih berbahagia.

Sudah itu saja. Aku saat ini ingin diam duduk manis membahagiakan hati dengan caraku sendiri.


*********