Rabu, 27 Desember 2017

MURRA, KEMUNING TAMPANKU


Kuhela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kutatapi kotak indah tempatku menyimpan benih yang dulu pernah sangat kuinginkan tumbuh di lahan subur milikku yang masih tak terjamah.


Benih yang kupikir akan bertumbuh subur dan berbunga indah dengan aroma wangi yang semerbak namun seiring waktu kusadari tak pernah bersedia atau tak yakin untuk bertumbuh di tamanku. Benih yang pada akhirnya kuputuskan untuk kusimpan saja meski tak pernah yakin akan bertumbuh kembali entah kapan nanti.


Kuusap kotak indah yang kusimpan dengan baik di rumah yang telah lama kutinggalkan. Ketika ini selesai kukemas manis dan cantik lalu kupastikan tersimpan aman dan nyaman, aku hampir tak pernah lagi menyentuhnya. Apalagi berniat lagi untuk menyemainya. Bahkan seringkali aku membuang muka ketika tak sengaja kulihat kilaunya setiap aku kembali pulang ke rumah ini. Bergegas menghalau keinginanku untuk memandanginya berlama-lama dan menghardik pikiran serakahku akan khayalan melihatnya berdaun hijau dan berbunga cantik dengan aroma semerbak bertahta di taman indahku yang selalu basah dan bermentari.


Perlahan kubuka kotak yang entah kenapa seolah tersenyum dan mengangguk padaku dan berkata, ini waktunya Mei..


Kulihat benih itu masih sama seperti dulu. Sepertinya waktu tak berkuasa merusaknya. Mungkin justru karna tak pernah kusentuh ia masih tetap dalam kondisi baik dan siap disemai kembali. Dengan ragu kukeluarkan Ia dari bungkusan indahnya. Sunggukah engkau akan bisa bertumbuh lagi setelah sekian lama? Sementara tamanku tak lagi permai seperti dulu?


Kubawa kotak benih itu ke halaman samping rumah tempat dulu aku punya sudut yang ku klaim sebagai taman milikku. Taman yang lama tak terawat meski tanahnya masih tetap subur. Seperti rimba mini dengan semak belukar dan duri. Tanaman yang tumbuh sendiri karena bentukan waktu dan cuaca. Gulma bebal yang serakah berebut tempat dengan aglonema merah yang pasrah mencoba berbagi tempat menyeruak diantaranya.


Dimana lagi akan kubenamkan benih ini ketika aku merasa Ia tak pantas ditanam di sembarang tempat. Haruskah Ia tumbuh di tempat yang tak lagi indah ini sementara dulu ketika tempat ini masih murni Ia tak pula sudi bertumbuh.


"Bumi memilihku untuk bertumbuh saat ini dan aku menyetujuinya apapun kondisi taman ini dan dimanapun kau benamkan aku" 


Aku terkesiap mendengar bisikan itu. Segera kubuka kotak kayu ditanganku. Benih itu tersenyum lembut. Aduhai... Alangkah manis dan indahnya senyum itu. Seluruh tubuhku bergetar karenanya.


"Benarkah? Apa itu engkau?" Aku bertanya terbata-bata tak percaya.


"Ini aku, Murraya Paniculata" jawabnya, "benih yang dulu pernah kau harap tumbuh di taman mu, tapi terlalu sombong untuk berani bersemi disana walau sangat ingin"


Aku tersenyum haru teringat harapan di masa lalu.   

 

               _______________


Beberapa hari setelah kutanam benih Murra dalam pot sederhana yang kuisi dengan campuran tanah, sekam dan pupuk kandang dengan komposisi 1 : 1 dan penyiraman normal serta sinar matahari yang tidak terlalu banyak, aku sudah bisa melihatnya tumbuh dan menyeruak dari tanah. Ya Tuhan, serasa takjub melihat benih yang sekian lama kusimpan ternyata masih bisa bertumbuh seperti itu. Tak habis-habis rasa takjubku terlebih Ia juga sangat cepat berbunga. 


Bunganya cantik berwarna putih berkelopak memanjang kecil berjumlah lima dengan mahkota tampan di tengahnya dan aromanya luar biasa wangi. Wangi yang lembut dan sangat mempesona seelok rupanya. Meski daunnya yang hijau tua belum terlalu banyak, Ia sudah berbunga dan menebar wanginya memelukku hampir disetiap waktu. Menghiburku, menemaniku tertawa bahkan menangis.


"Mei, terima kasih sudah mengijinkanku bersamamu" ucapnya setiap kali kami saling menceritakan ketakjuban kami atas kebersamaan ini.


"Aku yang berterima kasih padamu, Murra, karena telah bersedia melewati waktu yang begitu panjang bertahan dan tetap tumbuh menemaniku" balasku. Kadang saking gemasnya aku akan mengangkat potnya dan menciumi bunganya tanpa sadar itu menyakiti Murra. Aku baru akan tahu ketika Ia mengatakan itu membuat akarnya yang menembus ke tanah tercerabut dan kelopak bunganya nyaris berantakan. Atau kadang serbuk mahkotanya berguguran.


Jika itu terjadi aku merasa sangat menyesal. Sangat. Karena tak pernah ingin aku menyakitinya. Karena jika Ia merasa sakit aku juga akan tersakiti.


Murraya Paniculata atau Kemuning adalah sejenis tanaman  hias yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan. Selain bunganya yang indah dan wanginya yang harum baik untuk relaksasi, daunnya mengandung banyak kegunaan seperti obat memar, nyeri tukak, sakit gigi, rematik dan lain-lain.


Sejatinya Ia adalah tanaman yang cukup tangguh dan tidak terlalu membutuhkan perawatan atau perlakuan khusus. Bahkan cukup tangguh untuk menjadi bunga pagar. Tapi dari yang kukenal lebih dalam ternyata Murra-ku memiliki sisi lain yang lebih lembut dan sensitif. Dibalik sosoknya yang selalu riang terkadang Ia berubah cepat menjadi melow ketika aku salah memperlakukannya.


"Aku pernah menyentuh dengan tangan ini tanaman yang beracun atau tanaman dengan wangi yang berbeda, Murra" kataku suatu kali saat sekali lagi aku mencederainya hingga Ia terkulai layu dan daunnya berguguran.


"Aku khawatir racun atau sari bunga yang tertinggal di tangan ini akan menyakitimu. Begitu khawatirnya hingga ingin rasanya kupotong saja tanganku agar tak lagi menyentuhmu" ujarku lirih tak berdaya.


"Jangan, Mei" tukas Murra "tetaplah seperti biasanya, hanya beri saja aku waktu untuk memulihkan diri" katanya menunduk sambil menekap wajahnya.


Beberapa kali hal seperti itu terjadi bahkan kadang hanya beberapa kejap setelah sebelumnya Murra berkata akan menjadi tangguh agar bisa menjagaku dan menemaniku. Seringkali pula aku tak tahan melihatnya lalu berbalik sedih dan pergi meninggalkannya, berhenti menyentuhnya namun aku selalu punya alasan untuk kembali.


Aku menangis jika bunganya gugur berantakan keesokan pagi ketika malamnya aku memaksanya mengeluarkan wangi agar ruang mimpiku terasa segar.


"Betapapun bungaku harus berguguran berkali-kali karenamu, aku akan kembali berbunga dan terus bertumbuh besar, Mei.


Aku telah melewati waktu panjang dengan harapan bisa berbunga untukmu, bisa bersamamu dan setelah itu terjadi, tak mudah bagiku untuk layu dan mati"


                   ______________


Musim panas yang terik bulan Juni sudah berlalu. Meski matahari masih terus garang pada bulan bulan berikutnya. Murra sudah semakin rimbun dan bunganya bertambah banyak bergerumbul setiap kali tiba saat berbunga. Semakin Ia mengenalku, semakin biasa dengan sentuhan tanganku yang terkadang kasar menyakitkan. Ketika tiba saat aku harus memangkas rantingnya yang meliar atau mengganti pot nya agar Ia lebih leluasa bertumbuh, Ia akan bertahan meski terlebih dulu melayu atau merana dan merasa sengsara.


"Aku akan bertahan Mei" kata Murra setiap kali aku merasa bersalah dan takut untuk terus merawatnya.


"Aku merasa tak bisa melakukan banyak hal baik untukmu. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan terus bertumbuh dan berbunga agar bisa membuatmu bahagia. Hanya itu Mei yang bisa kulakukan untukmu saat ini"


Aku terharu,

"Cukup Murra, yang kau lakukan itu sudah lebih dari cukup, kau bertumbuh saja setelah sekian lama sudah membuatku bahagia, hadirmu setiap saat dan berbunga sesering kau bisa menghiasi tamanku sudah membuatku sangat bahagia. Kau sungguh berarti buatku, Murra".


                 _______________


"Kebersamaaan ini sangat indah dan istimewa kan, Mei" katanya saat kami bercakap-cakap menunggu senja tiba.


"Tentu, Murra. Aku masih tak bisa berhenti merasa takjub bisa bersamamu"


Murra tergelak. Tawanya sangat renyah dan aku sangat menikmati tawa itu. Daunnya berguncang lembut dan bunganya bergoyang seksi. Angin sore yang sedikit kencang membuat mahkota bunganya menyentuh hidungku dan aku bersin sangat keras karenanya. Tak sengaja lututku menyenggol pinggiran rak tempat aku meletakkan Murra dan tak ayal pot nya terjatuh terjun bebas terhempas. Tanahnya berantakan, Murra tergeletak dengan akarnya telanjang tercerabut.


Sambil menangis segera kubenahi tanah yang berserakan dan Murra yang tak berdaya. Kukembalikan ke tempatnya semula dan kupandangi dengan teriris.


"Murraaaa...kenapa aku selalu jadi bencana buatmu" bisikku lirih dan gemetar. Kau baik-baik saja sebelum aku mengeluarkan mu dari kotak indah itu, berbaring nyaman tersimpan dengan elok. Tapi lihat sekarang yang aku lakukan padamu. 


Aku tak tahu butuh berapa lama Murra memulihkan dirinya. Aku tau Ia tak pernah menyesal telah memintaku menyemaikan benihnya hingga Ia bertumbuh dan berbunga. Aku juga tau, meski Ia layu dan tak ada lagi kelopak bermahkota dengan aroma wangi semerbak,  rasa sayang yang sekian lama dipertahankannya tak kan hilang seketika.


Dari balik jendela kaca bertirai deraian air hujan, kupandangi Murra yang berjuang bertahan dari terpaan angin dan dan derasnya hujan. Bertahanlah, Murra. Jikapun aku hanya boleh memandangimu dari balik kaca atau dari tempat yang jauh, tak apa, asalkan kau bertahan. Dan tetaplah indah. Tetaplah wangi meski hanya bisa kucium jika angin menyampaikannya padaku.


Berbahagialah Kemuning kesayanganku, karena aku bahagia jika kau bahagia.


          *************************




--
AMI MUSTAFA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar