Minggu, 31 Desember 2017

MANDALA RASA

Kulempar pensil gambar ku dengan kesal. Kutinggalkan kertas gambar ku yang baru sedikit berisi lingkaran-lingkaran sketsa mandala. Rasanya sulit sekali berkonsentrasi. Padahal maksudku membuat mandala adalah berlatih konsentrasi sekaligus menenangkan hati. Tapi kali ini sepertinya gagal. Pikiranku masih saja berantakan hingga aku tak bisa mengenali apa yang sedang kurasakan saat ini.


Kuhempaskan tubuhku di kasur bertilam putih terlentang memandang ke plafon yang juga berwarna putih. Mencoba merefleksikan pikiranku ke bidang kosong itu. Tetap saja yang kulihat hanyalah bentuk-bentuk abstrak tak karuan yang aku tidak tau itu apa.


Hujan seharian tadi menyisakan udara dingin yang lembab. Jari-jari kakiku terasa sangat dingin. Tubuhku juga kedinginan tapi aku masih saja tetap bandel menolak menggunakan jaket atau sweater. 


Bolak-balik di tempat tidur, bergelung selimut dengan bosan. Kucampakkan selimutku dan bangkit ke dapur. Menyeduh kopi jantan yang wangi dan duduk di kursi bambu kesukaanku. Dan mulai mengaduk ingatanku tentang rajawali ku yang sedang mengangkasa. Ahh, betapapun sakitnya jarak menjahati kita, tapi ia memberikan rindu sebagai penawar. Dan rindu yang selalu segar seperti krisan ini sungguhlah sesuai.


Rasanya begitu gila membayangkan hilangnya bayangan kepak sayap rajawali itu. Betapa berharganya suara pekiknya tiap kali berkisah tentang birunya langit. Derasnya angin. Indahnya derai hujan yang bergulir di bulunya yang indah. Dan betapa merdu suara kepak sayap itu yang terdengar sayup-sayup sampai. 


Aku tak berani membayangkan kehilangan itu semua hingga akan kupertaruhkan rasa malu untuk tetap dapat memintal benang asa tentangnya. Jikapun matahari bersinar terlalu terik, akan kupicingkan mata agar tetap dapat melihatnya terbang perkasa di angkasa.


Perlahan aku bisa melihat gambar sayap di plafon kamarku. Makin lama makin jelas. Lalu bisa kupastikan itu bentuk seekor rajawali yang sedang menukik tajam lalu kembali membumbung terbang tinggi dengan gagah. Aku tersenyum. Lalu udara tiba-tiba jadi sedikit hangat. Kupejamkan mata, dan kulihat wajah tampan rajawaliku dengan sorot matanya yang tajam penuh semangat. Hatiku pun menjadi hangat.


Jangan hilang, rajawaliku.. Apapun yang kurasakan akan kuterima jika itu membuatku bisa merasaimu. Terbanglah kemana saja, jadilah mataku. Tangkaplah keindahan dunia dan beri aku sedikit pun jadilah.


Kusingkirkan selimut yang membuntalku. Kuraih pensil yang tadi kucampakkan dan mulai menggoreskan garis-garis, lekukan dan lingkaran di kertas gambar.

Melanjutkan membuat mandala yang tadi tertunda. Perlahan tapi pasti bentuknya terlihat samar-samar menyerupai kepakan sayap gagah sang rajawali.

                     

                     ************

--
AMI MUSTAFA

Kamis, 28 Desember 2017

BAIK-BAIK SAYANG...

Alangkah terik matahari siang ini. Seolah saat ini bukan Desember saja. Hampir semua tanamanku merasa merana karenanya. Sore ini pasti aku tak bisa menghindar dari menyirami mereka. 


Dari jauh kupandangi Murra-ku yang juga kepanasan. Aku rindu sekali menyentuhnya. Memindahkan pot-nya dari sana ke tempat yang lebih teduh. Tapi aku khawatir malah akan membuatnya cedera. 


Sedari tadi aku hanya melewatinya bahkan tanpa menoleh sedikitpun. Kusibukkan diri dengan memasak, kebetulan aku kedatangan saudari sulungku dan kami makan siang bersama. Menikmati rasa memiliki keluarga sungguh menyenangkan. Mereka jarang datang berkunjung, jadi kedatangan sebentar saja sudah sangat berarti.


Setelah saudariku pulang aku kembali ke halaman samping. Melewati Murra dengan masih tanpa menyapanya. Sesekali kutatapi Ia dari jauh. Ia menunduk lesu sambil menyembunyikan kegalauan hatinya. Aku masih belum tau harus berbuat apa. Kupikir biarlah, ada bayang pohon mangga yang akan meneduhinya. Ada sekelompok daun strawberry yang akan dengan senang hati menghiburnya. Di sampingnya ada Polyscias Scutellaria yang siap menenangkannya, belum lagi Tradescantia Spathacea cantik yang selalu mensupportnya. Murra akan baik-baik saja tanpa ku. 


Kupejamkan mata sambil berbaring di hammock di bawah pohon alpukat yang rindang dan berbuah lebat. Berharap bisa tertidur nyaman dalam buaian. Semoga tak ada buah alpukat tua yang jatuh menimpaku. Andai nyaman ini bersama wangi aroma mu, Murra....

--
AMI MUSTAFA

Rabu, 27 Desember 2017

BERPELUK HAMPA


Entah kenapa hari ini kopi jantan yang kuminum terasa hambar. Tak ada rasa asamnya yang khas di lidahku ketika kusesap Ia. Bahkan aroma wanginya tak tercium ketika asapnya mengepul dalam cangkir kopi ku saat aku menyeduhnya. 


Rasanya begitu kosong dan hambar. Tertawa pun terasa berat dan melelahkan. Dedaunan yang biasanya hijau berkilauan tertimpa sinar matahari rasanya begitu kusam. Daun kering yang bertebaran digugurkan pohonnya seolah merintih pilu tak berdaya dan tercampak.


Kurabai perutku yang berbunyi dan lambung yang sedikit perih. Aku lupa sudah makan apa hari ini. Aku nyaris tak mengingat apapun yang terjadi seharian tadi. Tahu-tahu hari sudah gelap dan aku merasa gamang.


Kupeluk hatiku yang berdenyut lemah dan basah oleh airmata. Sendirian terduduk di sudut gelap menyenandungkan lagu nina bobo. Aku menyuruhnya mengganti iramanya, tapi hatiku seolah tak mendengar. 


Kedekap erat tubuhku, kubenamkan wajah di lututku. Pelan kubelai rambutku yang mulai panjang dan masih hitam berkilau. Kubisikkan pada hatiku bahwa aku akan menjaganya dan membujuknya berhenti berharap orang lain sedia untuk menemaninya. Aku yang akan menemanimu, kataku.


Kuajak tubuhku berbaring. Kuletakkan perlahan kepalaku di bantal yang masih bisa kucium wangi tubuhnya. Kumiringkan tubuh mungilku ke kiri agar Ia bisa merasai lagi hangat tubuh dan detak jantung itu. Perlahan jemariku merabai tempat kosong disampingnya. Mengusap lembut, selembut gulir airmata yang tiba-tiba jatuh dari pelupuknya.


Kubiarkan airmata itu mengalir dan mengering sendiri. Kueratkan lagi pelukanku. Kembali kubelai rambutku dengan penuh rasa sayang. Kusentuhi bibirku dan memintanya tersenyum. Ayolah, senyum akan membuatmu merasa lebih ringan. Mari kita lepaskan belenggu kosong ini. Singkirkan kehampaan ini.


Kepalaku menggeleng lemah. Biarkan hampa ini membelengguku, bibirku berbisik. Lalu akupun membiarkan tubuhku menikmati kekosongan yang mulai terasa menyiksa. Kulepaskan dekapanku, kuhentikan belaian tangan di rambutku. Kubiarkan mereka tergeletak lemas di samping tubuhku. Kupejamkan mata, kuluruhkan tenaga. Lalu masuk ke dalam lingkaran gelap yang menghisapku semakin dalam dan dalam.


                       ________________


--
AMI MUSTAFA

MURRA, KEMUNING TAMPANKU


Kuhela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kutatapi kotak indah tempatku menyimpan benih yang dulu pernah sangat kuinginkan tumbuh di lahan subur milikku yang masih tak terjamah.


Benih yang kupikir akan bertumbuh subur dan berbunga indah dengan aroma wangi yang semerbak namun seiring waktu kusadari tak pernah bersedia atau tak yakin untuk bertumbuh di tamanku. Benih yang pada akhirnya kuputuskan untuk kusimpan saja meski tak pernah yakin akan bertumbuh kembali entah kapan nanti.


Kuusap kotak indah yang kusimpan dengan baik di rumah yang telah lama kutinggalkan. Ketika ini selesai kukemas manis dan cantik lalu kupastikan tersimpan aman dan nyaman, aku hampir tak pernah lagi menyentuhnya. Apalagi berniat lagi untuk menyemainya. Bahkan seringkali aku membuang muka ketika tak sengaja kulihat kilaunya setiap aku kembali pulang ke rumah ini. Bergegas menghalau keinginanku untuk memandanginya berlama-lama dan menghardik pikiran serakahku akan khayalan melihatnya berdaun hijau dan berbunga cantik dengan aroma semerbak bertahta di taman indahku yang selalu basah dan bermentari.


Perlahan kubuka kotak yang entah kenapa seolah tersenyum dan mengangguk padaku dan berkata, ini waktunya Mei..


Kulihat benih itu masih sama seperti dulu. Sepertinya waktu tak berkuasa merusaknya. Mungkin justru karna tak pernah kusentuh ia masih tetap dalam kondisi baik dan siap disemai kembali. Dengan ragu kukeluarkan Ia dari bungkusan indahnya. Sunggukah engkau akan bisa bertumbuh lagi setelah sekian lama? Sementara tamanku tak lagi permai seperti dulu?


Kubawa kotak benih itu ke halaman samping rumah tempat dulu aku punya sudut yang ku klaim sebagai taman milikku. Taman yang lama tak terawat meski tanahnya masih tetap subur. Seperti rimba mini dengan semak belukar dan duri. Tanaman yang tumbuh sendiri karena bentukan waktu dan cuaca. Gulma bebal yang serakah berebut tempat dengan aglonema merah yang pasrah mencoba berbagi tempat menyeruak diantaranya.


Dimana lagi akan kubenamkan benih ini ketika aku merasa Ia tak pantas ditanam di sembarang tempat. Haruskah Ia tumbuh di tempat yang tak lagi indah ini sementara dulu ketika tempat ini masih murni Ia tak pula sudi bertumbuh.


"Bumi memilihku untuk bertumbuh saat ini dan aku menyetujuinya apapun kondisi taman ini dan dimanapun kau benamkan aku" 


Aku terkesiap mendengar bisikan itu. Segera kubuka kotak kayu ditanganku. Benih itu tersenyum lembut. Aduhai... Alangkah manis dan indahnya senyum itu. Seluruh tubuhku bergetar karenanya.


"Benarkah? Apa itu engkau?" Aku bertanya terbata-bata tak percaya.


"Ini aku, Murraya Paniculata" jawabnya, "benih yang dulu pernah kau harap tumbuh di taman mu, tapi terlalu sombong untuk berani bersemi disana walau sangat ingin"


Aku tersenyum haru teringat harapan di masa lalu.   

 

               _______________


Beberapa hari setelah kutanam benih Murra dalam pot sederhana yang kuisi dengan campuran tanah, sekam dan pupuk kandang dengan komposisi 1 : 1 dan penyiraman normal serta sinar matahari yang tidak terlalu banyak, aku sudah bisa melihatnya tumbuh dan menyeruak dari tanah. Ya Tuhan, serasa takjub melihat benih yang sekian lama kusimpan ternyata masih bisa bertumbuh seperti itu. Tak habis-habis rasa takjubku terlebih Ia juga sangat cepat berbunga. 


Bunganya cantik berwarna putih berkelopak memanjang kecil berjumlah lima dengan mahkota tampan di tengahnya dan aromanya luar biasa wangi. Wangi yang lembut dan sangat mempesona seelok rupanya. Meski daunnya yang hijau tua belum terlalu banyak, Ia sudah berbunga dan menebar wanginya memelukku hampir disetiap waktu. Menghiburku, menemaniku tertawa bahkan menangis.


"Mei, terima kasih sudah mengijinkanku bersamamu" ucapnya setiap kali kami saling menceritakan ketakjuban kami atas kebersamaan ini.


"Aku yang berterima kasih padamu, Murra, karena telah bersedia melewati waktu yang begitu panjang bertahan dan tetap tumbuh menemaniku" balasku. Kadang saking gemasnya aku akan mengangkat potnya dan menciumi bunganya tanpa sadar itu menyakiti Murra. Aku baru akan tahu ketika Ia mengatakan itu membuat akarnya yang menembus ke tanah tercerabut dan kelopak bunganya nyaris berantakan. Atau kadang serbuk mahkotanya berguguran.


Jika itu terjadi aku merasa sangat menyesal. Sangat. Karena tak pernah ingin aku menyakitinya. Karena jika Ia merasa sakit aku juga akan tersakiti.


Murraya Paniculata atau Kemuning adalah sejenis tanaman  hias yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan. Selain bunganya yang indah dan wanginya yang harum baik untuk relaksasi, daunnya mengandung banyak kegunaan seperti obat memar, nyeri tukak, sakit gigi, rematik dan lain-lain.


Sejatinya Ia adalah tanaman yang cukup tangguh dan tidak terlalu membutuhkan perawatan atau perlakuan khusus. Bahkan cukup tangguh untuk menjadi bunga pagar. Tapi dari yang kukenal lebih dalam ternyata Murra-ku memiliki sisi lain yang lebih lembut dan sensitif. Dibalik sosoknya yang selalu riang terkadang Ia berubah cepat menjadi melow ketika aku salah memperlakukannya.


"Aku pernah menyentuh dengan tangan ini tanaman yang beracun atau tanaman dengan wangi yang berbeda, Murra" kataku suatu kali saat sekali lagi aku mencederainya hingga Ia terkulai layu dan daunnya berguguran.


"Aku khawatir racun atau sari bunga yang tertinggal di tangan ini akan menyakitimu. Begitu khawatirnya hingga ingin rasanya kupotong saja tanganku agar tak lagi menyentuhmu" ujarku lirih tak berdaya.


"Jangan, Mei" tukas Murra "tetaplah seperti biasanya, hanya beri saja aku waktu untuk memulihkan diri" katanya menunduk sambil menekap wajahnya.


Beberapa kali hal seperti itu terjadi bahkan kadang hanya beberapa kejap setelah sebelumnya Murra berkata akan menjadi tangguh agar bisa menjagaku dan menemaniku. Seringkali pula aku tak tahan melihatnya lalu berbalik sedih dan pergi meninggalkannya, berhenti menyentuhnya namun aku selalu punya alasan untuk kembali.


Aku menangis jika bunganya gugur berantakan keesokan pagi ketika malamnya aku memaksanya mengeluarkan wangi agar ruang mimpiku terasa segar.


"Betapapun bungaku harus berguguran berkali-kali karenamu, aku akan kembali berbunga dan terus bertumbuh besar, Mei.


Aku telah melewati waktu panjang dengan harapan bisa berbunga untukmu, bisa bersamamu dan setelah itu terjadi, tak mudah bagiku untuk layu dan mati"


                   ______________


Musim panas yang terik bulan Juni sudah berlalu. Meski matahari masih terus garang pada bulan bulan berikutnya. Murra sudah semakin rimbun dan bunganya bertambah banyak bergerumbul setiap kali tiba saat berbunga. Semakin Ia mengenalku, semakin biasa dengan sentuhan tanganku yang terkadang kasar menyakitkan. Ketika tiba saat aku harus memangkas rantingnya yang meliar atau mengganti pot nya agar Ia lebih leluasa bertumbuh, Ia akan bertahan meski terlebih dulu melayu atau merana dan merasa sengsara.


"Aku akan bertahan Mei" kata Murra setiap kali aku merasa bersalah dan takut untuk terus merawatnya.


"Aku merasa tak bisa melakukan banyak hal baik untukmu. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan terus bertumbuh dan berbunga agar bisa membuatmu bahagia. Hanya itu Mei yang bisa kulakukan untukmu saat ini"


Aku terharu,

"Cukup Murra, yang kau lakukan itu sudah lebih dari cukup, kau bertumbuh saja setelah sekian lama sudah membuatku bahagia, hadirmu setiap saat dan berbunga sesering kau bisa menghiasi tamanku sudah membuatku sangat bahagia. Kau sungguh berarti buatku, Murra".


                 _______________


"Kebersamaaan ini sangat indah dan istimewa kan, Mei" katanya saat kami bercakap-cakap menunggu senja tiba.


"Tentu, Murra. Aku masih tak bisa berhenti merasa takjub bisa bersamamu"


Murra tergelak. Tawanya sangat renyah dan aku sangat menikmati tawa itu. Daunnya berguncang lembut dan bunganya bergoyang seksi. Angin sore yang sedikit kencang membuat mahkota bunganya menyentuh hidungku dan aku bersin sangat keras karenanya. Tak sengaja lututku menyenggol pinggiran rak tempat aku meletakkan Murra dan tak ayal pot nya terjatuh terjun bebas terhempas. Tanahnya berantakan, Murra tergeletak dengan akarnya telanjang tercerabut.


Sambil menangis segera kubenahi tanah yang berserakan dan Murra yang tak berdaya. Kukembalikan ke tempatnya semula dan kupandangi dengan teriris.


"Murraaaa...kenapa aku selalu jadi bencana buatmu" bisikku lirih dan gemetar. Kau baik-baik saja sebelum aku mengeluarkan mu dari kotak indah itu, berbaring nyaman tersimpan dengan elok. Tapi lihat sekarang yang aku lakukan padamu. 


Aku tak tahu butuh berapa lama Murra memulihkan dirinya. Aku tau Ia tak pernah menyesal telah memintaku menyemaikan benihnya hingga Ia bertumbuh dan berbunga. Aku juga tau, meski Ia layu dan tak ada lagi kelopak bermahkota dengan aroma wangi semerbak,  rasa sayang yang sekian lama dipertahankannya tak kan hilang seketika.


Dari balik jendela kaca bertirai deraian air hujan, kupandangi Murra yang berjuang bertahan dari terpaan angin dan dan derasnya hujan. Bertahanlah, Murra. Jikapun aku hanya boleh memandangimu dari balik kaca atau dari tempat yang jauh, tak apa, asalkan kau bertahan. Dan tetaplah indah. Tetaplah wangi meski hanya bisa kucium jika angin menyampaikannya padaku.


Berbahagialah Kemuning kesayanganku, karena aku bahagia jika kau bahagia.


          *************************




--
AMI MUSTAFA

CINTA TAK SALAH


Cinta tak pernah benar-benar tumbuh dimana saja. Tak pula bisa bertahan tetap sama dari waktu ke waktu. Tak selalu tumbuh kapan saja.


Cinta memilih waktunya sendiri untuk bertumbuh dan berkembang. Memilih kapan dia bertahan atau berpaling pergi. Memilih tetap konstan atau dinamis.


Bisa saja dalam hitungan kejap tunasnya bermunculan dan kuncup bermekaran. Lalu sedikit terhembus angin seketika daunnya kering berguguran.


Bisa pula sepotong benih yang tersimpan lama baru bertumbuh dan berbunga sangat lambat berwarna pucat dengan wangi samar bertahan gigih dari hujan, angin dan terik matahari.


Ketika cinta yang memeluk dan mendekapmu hangat tiba-tiba mengeluarkan duri sebagai bentuk pertahanan dirinya, maka luruhlah engkau


Ketika cinta yang menggenggam erat jemarimu tiba-tiba menegang panas tinggi sekali, maka hanguslah engkau terbakar dan menjadi abu


Cinta tak pernah salah, Ia memilih waktu dan tempat yang tepat. Engkau saja yang seringkali keliru mengenali wajahnya, membaui wanginya


Cinta selalu memilih nada-nada yang indah untuk didentingkan. Memilih syair-syair yang manis untuk disenandungkan. Telingamu saja yang terkadang salah mendengarnya, lalu memilih tarian yang salah


Kapanpun waktu yang dipilih cinta dan dimanapun dia memutuskan menetap, wajahnya selalu sama, irama dan syairnya sama, indah. Jika tak indah maka itu bukan Ia.

                         *********


--
AMI MUSTAFA

Sabtu, 23 Desember 2017

AKU MARAH

Dikecewakan oleh orang yang kamu anggap paling gak mungkin akan menyakitimu? Atau dikhianati oleh orang yang kamu percaya wan handret persen?

Waw!!!
Rasanya seperti tamparan ribuan kuku macan d wajahmu. Lalu hatimu terlecut.  Rasanya seperti bahan bakar yang dipantik api. Bhuummmm!!!! Tiba-tiba ada kobaran nyala api d belakang kepala. Wajah memerah dan rasanya seperti jadi raksasa yang siap menelan siapa saja dan apa saja.

Lalu karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan, kamu mencoba bertahan, meredam kemarahanmu serapih mungkin. Aduh mak!!! Itu rasanya seperti kamu seekor harimau yang diam dengan wajah datar tapi kuku-kuku tajamnya bermunculan berkilat siap mencabik.

Ya Tuhan.
Aku sih merasa sengsara dengan situasi itu. Kalau kamu?

Tapi bukan bagaimana perasaanku yang ingin kalian tahukan? Tentu saja kalian lebih tertarik ingin tahu apa yang terjadi. Mencari sepotong nama dan sepenggal kisah.

No!!!
Aku memutuskan untuk tidak menceritakan apapun hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu kalian. Kalian cuma ingin tahu, bukan perduli kan? So, kenapa harus kuberitahu? Ore ye, hehe.

Yang ingin kuceritakan hanya bagaimana aku berusaha keras untuk tidak meledakkan kemarahan. Tidak membalas menyakiti walau aku punya banyak senjata yang pernah diberikan untuk balas menyakitinya. Aku akan bertahan memegang pedang itu meski sampai tanganku berdarah darah.

Karena kemarahan pada akhirnya hanya akan menghasilkan rasa malu, aku memilih diam.

Teman yang memilih menusukku bukanlah temanku. Lalu kenapa kalau aku hilangkan saja. Lupakan. Dan memilih berbahagia.

Sudah itu saja. Aku saat ini ingin diam duduk manis membahagiakan hati dengan caraku sendiri.


*********

Selasa, 28 November 2017

HUJAN DAN KAMU

Hujan deras sekali di luar sana. Aku suka hujan. Hujan membuat ingatan ku melayang pada mu. Tapi aku tidak suka bunyi gunturnya. Gemuruhnya membuat bayangan mu menjadi buyar. Kutatap titik-titik air yang jatuh dari langit. Menghunjam ke tanah membuat partikel debu terhempas. Kupandangi sekeliling yang basah. Bagaimana nasib burung-burung kecil yang tadi pagi riang berkicau? Mereka akan basah dan kedinginan.

Bagaimana nasib semut-semut yang tadi rapih berbaris mengumpulkan remah-remah sisa makan ku. Apakah sekarang mereka sedang berkumpul ketakutan di lubang mereka yang hampir dicapai air? Sementara aku disini dalam ruang kering dan hangat ditemani musik klasik lembut yang romantis dan secangkir teh panas. Aku mengaku menderita karena kehilangan mu. Betapa tidak bersyukurnya aku.

Padahal itu pun bohong. Aku bohong jika kukatakan aku kehilangan mu. Aku tak pernah kehilangan mu. Bagaimana bisa jika aku terus menyimpan segala sesuatu tentang mu dalam hati dan pikiran ku. Mengingatmu membuat hati ku bersuara. Hiburan yang menyenangkan buat ku saat ini adalah bayangan mu tersenyum padaku. Saat ini. Entah esok.

Ku pejamkan mata. Ku dengarkan irama suara hujan. Lalu suara mu. Indah. Hidup jadi indah. Jadi tak perlu merasa menderita bukan? Dan ini benar. Tidak bohong. Tanya saja pada semut yang sedang berkumpul di lubangnya sambil bergosip.

************

Rabu, 14 Juni 2017

SALAH KADO

#30HariMenulis - Day 14

"Dua hari lagi ulang tahun mama, ayo lah kak, bantu aku beli kado" rengek Yaya pada kakaknya.

"Mau beli kado apa dek?" tanya Lala.

"Aku mau beli dompet hp. Punya mama sudah mengelupas kulitnya" jawab Yaya.

"Baiklah, nanti kakak kasih uangnya. Kamu beli lah dan bungkus yang rapi"

Yaya melonjak gembira. Walau tidak ada perayaan dia selalu senang memberikan kado setiap kali Mama ulang tahun. Kado nya tidak harus mahal kadang hanya sebatang coklat pun jadilah.

Malam itu Lea sibuk mengutak-atik hp nya. Sepertinya ada yang salah. Hp yang biasa dipakainya tiba-tiba tidak bisa hidup. Sudah dicoba restart masih saja tidak berfungsi seperti biasanya. Karena tidak juga berhasil memperbaikinya Lea memutuskan untuk membawanya ke konter besok untuk diperiksa.

Pagi-pagi sekali Yaya sudah minta diantar ke sekolah. Dan berpesan untuk tidak dijemput. Masih setengah mengantuk Lea bangkit dari tempat tidur. Cuci muka dan mengantar anaknya sekolah. Tak lupa dibawanya hp untuk diperbaiki.

"Wah, bu..ini yang kena mmc nya." ujar petugas konter setelah memeriksa hp Lea.

"Berapa tuh biaya dandannya" tanya Lea cemas. Dia tidak siap kalau harus tanpa hp hari ini. 

"Kira-kira Rp.400.000" jawab petugas.

"Wah..kalau segitu rasanya saya tunda dulu deh" Lea membawa pulang hpnya dengan sedih. Dirumah dicopotnya batre hp dan menyimpannya hpnya baik-baik.

Pagi itu dihabiskannya dengan membersihkan rumah dan pekarangan. Menyiapkan makan siang untuk Yaya yang mungkin hari ini akan pulang cepat karena sudah selesai ulangan.

Lea pergi ke kebun belakang yang teduh. Membersihkan rumput dan daun-daun kering berserakan. Mengikatkan tali hammocknya di dua pohon yang berdekatan. Lalu berbaring disana dengan nyaman sambil menunggu Yaya pulang.

"Assalamualaikum..." teriak Yaya dari pintu gerbang.

"Waalaikumsalam.." jawab Lea. Dihampirinya anaknya. Seperti biasa ritual cium tangan, pipi kanan, pipi kiri lalu, cuppp..bibir mungil Yaya yang lucu di kecupnya.

"Gimana ulangannya, Ya?'
" Aman mah, bisa semua" jawab Yaya berbinar riang mata bulatnya.

Lea mengacak rambutnya pelan. 

"Baguslah..anak baiik" katanya sambil mencuil pipi Yaya. "Mama baring di kebun belakang ya sebentar, kalau kamu sudah lapar kita bisa makan sekarang"

"Nanti aja ya mah" jawab Yaya. Lalu pergi ke kamarnya.

Lea kembali berbaring di hammocknya. Angin sejuk yang bertiup membuatnya mengantuk. Tak terasa matanya terpejam.

Sayup-sayup di dengarnya lagu ulang tahun dinyanyikan. Dibukanya mata pelan. Dilihatnya Yaya meletakkan sesuatu di meja kayu tak jauh darinya dan bergegas pergi. Dilihatnya secangkir kopi mengepul. Dia tersenyum, dihampirinya meja. Dilihatnya ada sebuah bungkusan kado.

"Hehe..Yaya anak maniiis. Selalu begitu setiap tahun, Memberinya kado ulang tahun dan kejutan.

Dibukanya kertas yang membungkus kado. Dan tersenyum miris. Sebuah dompet hp yang khusus untuk type hp miliknya berwarna marun.

" Selamat ulang tahun mamaaah" teriak Yaya dari belakang. Dipeluknya Lea dengan hangat.

"Makasih ya Yaya sayang" ucap Lea. Dikecupnya kening Yaya.

"Pake ya mah" pinta Yaya. "Mana hp mama?"

"Nanti ya pakenya, sekarang hpnya lagi tidur panjang" jelas Lea. Wajah Yaya langsung berubah kecewa. Lea tertawa. Dipeluknya Yaya sekali lagi.

"Nanti dipake buat menyimpan hp yah" hibur Lea

"Yaahhh...salah kado aku" ujar Yaya seraya menepuk jidat.

           ***************




Selasa, 13 Juni 2017

ANAK-ANAK MUDIK

#30HariMenulis - Day 13

Hari ini aku bener-bener punya alasan untuk nggak menulis. Bukan malas sih, tapi waktu ku banyak terpakai untuk melepas rindu, mengobrol dan bercengkrama.

Anak-anak pulang dari rantau. Setelah sekian lama tak bersama karena mereka kuliah di luar kota. Jadi ceritanya mudik lah gitu. Mudik lebih awal untuk menyiasati kenaikan tarif angkutan dan ramainya arus mudik. Untungnya mereka juga sudah mulai libur setelah selesai UAS.

Menanti anak-anak pulang dari rantau itu seperti menanti ibu yang pulang dari belanja di pasar. Sensasinya gimanaa gitu. Mereka masih belasan kilometer dari rumah saja pintu gerbang sudah dibuka lebar-lebar. Selebar dua tangan terbentang saat mereka muncul di depan pintu.

Suasana jumpa di saat menjelang Lebaran memang luar biasa. Bayi-bayi mungilku dulu yang kini sudah menjelma jadi gadis-gadis cantik menempuh ribuan kilometer untuk sampai ke pelukan ibu. Warbiyasahhh.

Keadaan rumah langsung berubah begitu mereka tiba. Rasa kayak ada taman bunga dengan bunga-bunga bermekaran gitu. Makan sahur juga jadi lebih bersemangat. Apalagi pas bangun sahur sudah ada makanan di meja hasil kerja anak gadis. Uiiyy..enaknyee.

Pagi-pagi rumah sudah rapi, bersih dan terasa sentuhan remajanya. Enak ya. Mudah-mudahan nanti saat mereka harus kembali ke kampus aku jadi gak manja dan terbiasa kembali merawat rumah sendiri.

Saat berbuka puasa juga jadi meriah. Lagi-lagi disiapkan oleh anak-anak. Sambil makan sambil berkisah dan bercengkrama. Padahal kan makan gak baik ya sambil ngobrol. Hehe..

Sudah dulu ah, mau buat list kunjungan dulu untuk anak-anak. Kan banyak keluarga yang harus dikunjungi untuk menjaga tali silaturahmi. Maklum karena jauh mereka jarang pulang kampung. Jadi saat mudik harus dimanfaatkan dengan baik.

                    ***************

Senin, 12 Juni 2017

PENDEKAR MALU HATI

#30HariMenulis - Day 12

Aku dapat tugas bikin trek sepeda untuk acara gowes bersama klub-klub sepeda di kotaku. Sudah ada lima belas klub yang mendaftarkan anggotanya untuk ikutan acara ini. Perkiraan akan ada dua ratusan pesepeda yang hadir. 

Sebenarnya aku meracik trek ini tidak sendiri, tapi ada berapa teman yang kemarin sudah ikut survey dan menentukan lokasi. Berhubung mereka berhalangan ikut untuk memasang safety line sebagai penanda lintasan sepeda jadilah hari ini aku bekerja sendirian. Gak masalah, aku sudah biasa membuat trek di klub lari ku, walau sedikit berbeda dengan trek sepeda setidaknya ada mirip-mirip lah. Yang sama itu ya sama-sama di alam terbuka.

Supaya lebih cepat bergerak aku tidak pakai sepeda. Lagian trek ini berjarak total 30km, capek kan kalau pakai sepeda. Dengan ransel di pundak berisi airminum dan safety line aku berangkat menyusuri jalan-jalan yang kemarin sudah kami tentukan.

Rencananya titik kumpul akan ditetapkan di kantor Polres karena yang punya hajat Pak Kapolresnya. Setelah itu keluar menuju bypass dan berbelok ke arah Desa Kulur sekitar 2km. Kemudian berbelok masuk ke jalan setapak perkebunan sawit. Menuju area pertambangan timah. 

Beberapa penambang menatap curiga melihatku berkeliaran, dibeberapa titik memasang garis-garis polisi berwarna kuning hitam dan hitam putih yang membuat mereka rada ngeri juga. Khawatir karena penambangan yang mereka lakukan termasuk kategori ilegal, dan polisi jadi sosok yang meresahkan buat mereka.

Seorang penambang menghampiri ku dengan wajah tidak bersahabat. Apalagi sempat dilihatnya aku mengambil beberapa foto pemandangan kolong (kolam air bekas galian tambang) yang airnya berwarna kebiruan dan sangat cantik.

"Ada apa ini pakai-pakai ditandai garis polisi?" tanyanya.

Aku tersenyum tenang. Bapak itu mengamati ku dari ujung kepala sampai kaki. Memandang gagang golok yang menyembul di ransel di pundak ku dan menilik motor ku. Agaknya dia sedikit kaget menyadari ternyata aku wanitahh. 

"Permisi,Yak.. ku tengah masang tanda untuk trek sepeda" jelasku. Ayak adalah panggilan untuk abang dalam bahasa lokal.

"Oooh...trek sepeda... kire ku ade ape. Ade lomba sepeda rupe e" katanya lega.

"Ukan lomba, Yak..hanya gowes bersama kek kawan-kawan seluruh klub sepeda di Bangka ni," kataku meralat kata-katanya. Mungkin dikiranya akan ada perlombaan jika sudah pakai pasang garis polisi begini.

Setelah bercakap-cakap sejenak aku pamit melanjutkan pekerjaan.

Lepas dari area pertambangan aku memasuki perkebunan karet dan lada. Melalu jalan menanjak dan menurun hanya selebar tidak lebih dari satu setengah meter. Aku mesti konsentrasi mengendalikan motor kalau tidak ingin terjatuh. Belum lagi harus memastikan tanda di pasang cukup rapat agar bisa diikuti peserta gowes dan meminimalisir goweser yang nyasar. Dan setiap tikungan dan jalan bercabang wajib di beri penanda yang lebih panjang.

Sedang tegang-tegangnya berkonsentrasi mengendalikan motor dan sudah merasa cukup lelah tiba-tiba aku mendengar hiruk pikuk dari arah depanku. Agak jauh. Aku menerka-nerka apa gerangan kehebohan itu.

Memasuki area berpasir motor makin sulit dikendalikan. Pelan-pelan aku makin dekat ke arah sumber suara. Apa tuh, kok seperti ada jerit-jeritan ketakutan lalu kembali tidak jelas..begitu beberapa kali.

Wah, karena tempat itu sepi, agak masuk ke area hutan jauh dari perkebunan penduduk aku jadi was-was juga, jangan-jangan itu tindak kejahatan.  Lalu suara seperti orang yang dilemparkan ke air di iringi jeritan dan tawa yang ku bayangkan itu yang tertawa pasti sambil menyeringai.

Rada takut juga sebenarnya mau mendatangi sumber suara. Tapi jiwa pendekar dalam diri ku ini, ciee..cieee pendekar..hahak... rasanya tidak tega mengabaikan begitu saja tindak kejahatan terjadi tanpa berbuat sesuatu.

Ku parkirkan motor agak jauh dari lokasi yang terdengar ramai itu. Karena jalannya menanjak dan berpasir. Setengah berlari aku mendekat. Golok ku keluarkan dari ransel. Sempat ku siapkan nomor telpon Pak Kapolres yang aku yakin selalu standby, siapa tau aku butuh bantuan mendadak jadi beliau bisa perintahkan anak buahnya mengirim bantuan.

Begitu sekali lagi ada teriakan, aku langsung merangsek masuk ke arena, eh maksudnya menyibak semak belukar yang menutupi tekape. Benar saja, seorang pemuda kurus hitam dekil hanya mengenakan celana dalam sedang meronta dipegangi tiga orang lelaki yang tubuhnya lebih besar. 

"Hei!!!..." aku membentak mereka. Tapi pemuda kurus itu sudah terlanjur terlempar ke kolong. Dan lelaki yang melemparkannya terkejut menoleh ke arahku. Memandangi ku penuh tanda tanya.Tapi aku tak kurang terkejutnya memandang sekeliling.

Beberapa sepeda bergeletakan. Ada beberapa orang lagi disana. Ada yang sedang berbaring santai di rerumputan, ada yang sedang makan, mengobrol, mencuci sepeda. Semuanya hanya pakai sempak, celana dalam, bertelanjang dada. Malah ada satu orang sedang mandi membelakangi ku, tanpa sehelai benang pun. Dan mereka semua serentak menoleh kearahku heran dan kaget karena bentakan ku.

Aku langsung menyadari apa yang terjadi, tergagap dan minta maaf. Lalu buru-buru kabur dengan wajah merah padam karena jengah dan malu diiringi pandangan heran mereka.

*********************
 



    

Sabtu, 10 Juni 2017

ANDAI LEBAY

#30HariMenulis - Day 10

(Tema : Andaikan kamu ALADDIN yang menemukan lampu ajaib dan bertemu dengan Jin baik yang akan memberimu 3 PERMINTAAN, permintaan apa yang kamu inginkan?)


Duh, bakal menggali keserakahan dalam diriku nih. Hihii..gak apalah, mumpung ada yang nawarin. Aiih, enak amat yah andaikan bukan berandai-andai.

Yang pertama aku pengen minta doraemon sama kantong ajaibnya. Kok gak kantong doraemon aja? Enggak ah, pengen sepaket ama doraemon. Biar ada yang menemani main, mengiburku saat aku sedih, mendengarkan ku saat aku pengen ngomel, kasih aku solusi saat aku kena masalah.

Mau butuh apa-apa tinggal cari di kantong doraemon. Apalagi aku suka banget tuh sama baling-baling bambunya. Bisa kemana-mana gak capek, gak berat di ongkos, bisa sambil liat pemandangan alam dari atas lagi. Aku pengen banget main paralayang tapi belum pernah kesampain. Dengan baling-baling bambu rasanya mungkin rada-rada mirip yah.

Yang kedua aku pengen minta jadi diriku sendiri, bukan jadi Aladin. Kan gak enak masa aku cuma pake rompi ama celana gombrang berserut itu melulu. Aku kan pengen juga pake jersey, pake baju senam, celana kargo, dan aku gak suka naek permadani, pengennya pake sepeda mtb kayak patrol idamanku ato minimal kayak Yayank Omay ku deh.

Yang ketiga aku pengen minta andai-andai ini jadi nyata. Udah itu aja lah. Percuma juga minta ini minta itu kalo cuma andai. Nyebelin tau.

Padahal berandai-andai itu enak-enak gimanaaa gitu. Tapi udahnya pahit-pahit gimanaaa gitu. Mendingan juga ngopi, sederhana tapi nyata.

Yuk ngopi yuuk...biar rasa ada kamu gitu, biar inget D
Ahhayyyy..


                 **********************




Jumat, 09 Juni 2017

TULIS AJA JANGAN KEBANYAKAN BENGONG

#30HariMenulis - Day 9

Sudah sore dan aku belum menulis untuk hari ini. Bukan belum sih sebenarnya. Belum selesai. Keburu ilang mood karena sesuatu dan lain hal.

Pengennya sih nerusin kisah Mayla kemaren, kali ini kembali ke sudut pandang tokoh utama, Ardy (Turning Point). Kemaren kurasa bagian ini akan lebih mudah, seluruh ceritanya udah ada di kepala. Tapi ya gitu deh, nyusunnya dan numpahinnya ke dalam tulisan itu gak mudah buat ku. Hahahhh..dasar amatir.

Abis baca tulisannya si 'Rangga' bukannya tambah termotivasi nulis malah bikin drop. Kok tulisannya bagus gitu, enak gitu bacanya. Sedangkan tulisan ku..hadeh, payah. Nah, ini nih penyakit penulis amatiran. Suka takut tulisannya jelek. Padahal aku tau banget, klo mau nulis tuh tulis aja, jangan kebanyakan mikir negatif. Justru kalo baca tulisan orang laen bagus ya mesti lebih belajar dari sana, lebih termotivasi lagi buat ngbagusin tulisan. Tapiiii...ya gitu, aku mah omong doank, prakteknya susssyaaah.

Tapi bukan itu lho yang bikin aku ilang mood buat lanjutin kisah Ardy. Asli hanya karena tiba-tiba ilang mood. Bukannya dicari moodnya malah aku tidur siang dan bermimpi buruk. Nah lo rasain dah. Bangun tidur kirain jadi fresh malah tambah malas nulis.

Rasanya pengen matiin hp beberapa hari. Padahal aku nulis cuma ngandelin hp. Biarlah rasanya aku gak akan nulis buat hari ini dan beberapa hari ke depan. Pelan, kutekan tombol off. Triiiinggg..nada off smartphone ku bunyi. Proses sebentar, lalu layar gelap. Sudah. Hp off total.

Duduk santai di dapur. Bengong. Beresin dapur bentar. Duduk lagi, bengong lagi. Terus mikir, ini dia salah satu tantangan #30hariMenulis itu. Ngalahin rasa malas, berjuang untuk konsisten menulis 30 hari berturut-turut. 

Kali ini enak, tema gak ditentukan sama admin. Jadi lebih bebas mau nulis tentang apa aja. Banyak pesertanya yang sibuk dengan pekerjaan tapi masih berusaha menyelesaikan tugas nulis. Masa aku yang punya lebih banyak waktu luang gak mau berusaha. 

Akhirnya kuhidupkan lagi hp dan mulai menulis. Masih bingung mau nulis apa. Masih gak mood nerusin kisah Ardy. Tapi harus nulis. Jadi mau nulis apa??? Bengong lagi jadinya. Ah, Amoy, kebanyakan bengong lo!

Udahlah ngopi aja, kebetulan lagi gak puasa..hihi. 

                     ************************

Kamis, 08 Juni 2017

MAYLA, A SAD LONELY LIL GIRL INSIDE



#30HariMenulis - Day 8

Aku lagi melow, aku lagi sedih, kecewa, terluka, gak berdaya. Rasanya pengen nangis meraung-raung kayak srigala ketusuk duri sawit yang berbisa. Tapi gak bisa, aku kan manusia bukan srigala. Lagian aku terlalu manis untuk berlaku seperti itu.

Hati ku sakit, jiwa ku terluka, rasanya nyesek di dada, cenat-cenut di hati. Pengen curhat, pengen nangis di pangkuan seseorang. Tapi gak bisa. Kalau ketemu orang aku suka gak tahan pasti senyum atau diam tanpa ekspresi.

Rasanya pengen ngebut bawa motor. Gas abis sampe kecepatan paling tinggi di aspal item yang mulus, trus belokin sedikit stangnya mendadak, kejungkal dan braaaaaakkkkk!! Ngglosor diaspal, bedarah-darah, mati! Aduh, astaghfirullahaladziem...jangan donk!! Ntar gak ikutan lebaran. Lagian aku gak bisa bawa motor.

Jadi gimana donk?? Akhirnya aku cuma bisa duduk bengong di pojokan ranjang. Memeluk lutut, menatap kosong. Sendirian. Lemas. Perut kosong, bibir sama tenggorokan kering, soalnya lagi puasa.

Tuitt-tuiiiit...tuitt-tuiiiit.... Bunyi nada pesan, itu khusus nada dering yang ku setting buat Ardy. Aku sempat ngirain itu bunyi perut ku yang melilit keroncongan. Aku diem aja. Masih dengan pikiran dan tatapan kosong. Perut ku juga dink, kosong.

 *
***

Beberapa hari yang lalu secara gak sengaja aku ketemu dia. Aku sama perawat lagi di pasar cari mangga. Ada yang lagi motoin aku dari samping. Ih ya tu orang gak sopan, moto gak pake ijin. Dia kira bagus kali ya objek foto perempuan diatas kursi roda berkeliaran di pasar.

Pas aku noleh, dia nurunin kamera yang nutupin wajahnya. Mukanya terpana. Aku juga kaget banget. Lelaki tinggi yang kokoh itu, menghampiri ku dengan wajah bengongnya.

Makin dekat aku makin yakin itu siapa. Wajahnya keliatan jelas kaget campur gembira.

"Mayla?...Maylaaa?? Ini kamu Mae?" katanya setengah gak percaya.

Dia bersimpuh di kursi roda ku, memegang tangan ku, natap mata ku penuh rasa kangen. Aku diam aja. Wajah ku datar aja, tatapan ku juga kosong rasanya.

Tiba-tiba pasar yang rame itu terasa sepi dan mati. Rasanya cuma ada kami berdua. Perasaan ku campur aduk. Yang pasti dominan, aku ngrasa seneng, bahagia, ketemu sahabat kanak-kanak ku yang dulu tumbuh bersama. Yang dulu selalu jagain, ngelindungin, nyayangin dan menghibur ku.

Tapi aku udah terbiasa gak bisa ngungkapin perasaan. Aku selalu punya kesulitan nunjukin perasaan ku.

Aku masih diam aja saat Ardy ngambil alih kursi roda ku dari perawat. Mendorong pelan-pelan nganterin ku pulang kerumah.

Sampe rumah Ardy menggendong ku ke sofa jati ruang tamu. Aku nurut aja dengan lemah nyandarin kepala di dadanya. Duh, nyamannya. Ini Ardy-ku dulu, temen masa kanak-kanak dan kekasih saat remaja. Perawat ngambil alih kursi roda ku dan masuk ke dalam ninggalin kami berdua.

Di sofa itu Ardy gak langsung meletakkan ku tapi dia duduk sambil mangku memeluk tubuh ku yang terasa mungil dalam dekapannya. Diciuminya rambut ku sambil nangis terisak-isak. Aku masih diam aja. Tapi ada airmata ngalir di pipi ku. 

"Apa yang sudah terjadi sama kamu, Mae?..Ada apa? Kemana aja kamu selama ini ngilang tanpa berita?" tanyanya lembuuut banget sambil nangis. Pertanyaan yang gak menuntut jawaban. Persis seperti dulu saat aku hilang di perkebunan dan ditemukan dalam keadaan shock tanpa ekspresi.

Aku diam aja, sembunyiin wajah di dadanya. Dia dekap kepala ku. Dieratinnya pelukannya. Dia nangis, aku nangis, kami nangis bareng sampe capek.

Akhirnya diletakkannya aku berbaring di sofa. Dia bersimpuh di samping ku. Merapihkan rambut ku dan mengusapnya penuh kasih sayang. Aku nangis lagi terharu. Digenggamnya tangan ku, seolah mau ngeyakinkan semuanya akan baik-baik aja. Lagi-lagi persis sama seperti waktu itu. Dejavu.

Ardy bangkit ke belakang. Ngambil air hangat dan nyodorin ke aku sambil bantu aku bangkit untuk minum.

Lalu pergi ke belakang, sepertinya ngobrol sama perawat. Lama. Pas dia kembali langsung pamitan untuk pulang ke pondoknya di perkebunan.

Sejak hari itu kami jadi sering kontak. Kata Ardy, dia baru beberapa bulan kembali dari rantau. Menjauh dari kehidupan dunia modern, mengasingkan diri di perkebunan. Bahkan katanya dia baru beli hp setelah ketemu sama aku lagi. Soalnya jarak dari kampung ke perkebunan agak jauh dan dia jarang turun ke kampung. Dia melanggar konsep hidup barunya demi aku, pake hp.  Pelanggaran kedua setelah dia mulai lagi pakai kamera.

Banyak yang dia ceritain ke aku. Tentang konsep permakultur yang sedang dia terapkan di perkebunan. Tentang kegiatan edukasi penduduk dan kebiasaan larinya. Tentang khayalan-khayalannya ke depan. Dan tentang harapannya akan hubungan kami.

Aku juga sempat cerita tentang hidup ku. Keluarga ku yang berantakan gara-gara suami selingkuh dan memilih menikahi sekretarisnya. Tentang kenapa dulu aku pergi ninggalin dia tanpa pamit. Dan tentang kenapa akhirnya aku harus pake kursi roda.

Ketika sampai ke pertanyaan, apa aku pernah selama ini ngehayalin dia seperti dia ngehidupin aku dalam khayalannya, kujawab jujur, enggak. Karena merasa bersalah dan gak pantas buat dia, aku memilih menyimpannya rapih di ruang terindah hati ku dan setengah mati berusaha ku lupain, meski gagal. Bagiku, dia dan kenangan indah tentangnya terlalu sakral untuk ku utak-atik dalam sebuah khayalan. Dia kecewa, terluka dan gak terima atas jawaban ku. Baginya sungguh gak adil sementara dia selalu memikirkan ku tapi aku malah nglupain dia. Sementara dia menanam dan memupuk rasanya pada ku, membiarkannya terus tumbuh dan berbunga, aku malah mengubur dan membekukannya. Dia menyalahkan ku berulang-ulang.

Aku ketakutan liat reaksinya. Dia bilang kalau dia sayang banget sama aku, tapi juga jadi benci banget. Katanya aku adalah soulmate-nya tapi juga nightmare-nya.  Aku takut dia pergi ninggalin aku, mengabaikan ku. Ketakutan yang sama seperti saat aku sendirian nyasar di perkebunan, kedinginan dalam gelap dan dalam serangan rasa nggak diinginkan oleh siapa-siapa.

Aku kecewa, terluka sama kemarahan Ardy. Aku tahan. Aku terima. Sebagai wanita dewasa aku bisa maklum dan bersabar. Tapi Ardy lupa, there's a sad lonely litle girl inside me. Yang berusaha keluar dari diriku. Aku dikuasai trauma masa kecilku.

Seharusnya Ardy yang paling kenal aku saat kecil tau kalau aku punya trauma. Seharusnya dia yang paling bisa pahami aku.  Berhenti menyalahkan ku karena itu bikin aku ngrasa gak diinginkan. Itulah sebabnya aku bener-bener nangis habis-habisan di kamar sampe mata ku bengkak. Aku sampai takut kalau kebanyakan nangis ntar mataku jadi buta dan gak bisa mandangin foto Ardy lagi yang kujadiin wallpaper di hp ku.

Beberapa kali pesan dari Ardy masuk tetep aku gak bereaksi. Diam mandangin hp di tangan. Gak lama dia telpon. Bunyinya makin lama makin memekakkan telinga. Hp ku jatuh di pangkuan. Ku jatohin badan ku ke kasur. Meringkuk meluk lutut. Airmata mulai banjir ngebasahin kasur.

Aku mulai berpikir. Mengkaji ulang hubungan kami. Apa sebaiknya ku hentikan aja. Aku betul-betul gak sempurna buat dia. Dia hanya akan banyak terluka. Mungkin lebih baik aku menyingkir aja dari jalan hidupnya. Kembali mengurung diri dan menutup rapat hati ku. Lama aku mikir, dan nangisin apa yang sedang kupikirkan.

Pelan-pelan ku raih hp dan mulai mengetik.

"Kita gak lagi akan sering2 bicara. 

Aku gak akan menyela dalam kehidupan mu. 

Aku berharap kamu tetep semangat dan berbahagia seperti biasanya. 

Maaf atas semua kesalahan dan kekurangan ku. Maaf atas smua luka mu yang aku sebabkan.

Terimakasih atas seluruh cinta mu yang tercurah buat ku

Aku pamit untuk kembali ke gudang kosong yang gelap itu dan berharap utk gak pernah jatuh cinta lagi. Krn aku pengen kamu jd yg terakhir.

Kita akan saling mencintai dengan cara kita masing2. Dalam khayalan kita sendiri-sendiri."

Airmata ku jatoh berderai-derai saat ngbaca pesan yang ku buat. Berkali-kali kubaca dengan mata kabur karena kebasahan airmata. Lalu ku bulatkan hati ngirim pesan itu ke Ardy. Klik! Pesan terkirim.

Aku duduk di pojokan tempat tidur meringkuk memeluk lutut. Natap jauh entah kemana, tanpa ekspresi.

                                              **************************


    

Rabu, 07 Juni 2017

MAYLA HILANG



#30HariMenulis - Day 7

Hari yang melelahkan. Tapi aku senang akhirnya selesai juga pekerjaan hari ini. Hasil panen kopi sudah ditimbang dan besok siap dihampar di halaman untuk dikeringkan.

Upah petik dan angkut para pekerja sudah selesai dihitung. Sebagian sudah dibayarkan. Senang melihat wajah-wajah mereka sumringah puas menghitung uang dan pulang dengan semangat menemui anak istri yang sudah menunggu di rumah.

Aku membereskan gelas-gelas kopi yang berserakan. Mengelap meja dan meletakkan kembali kursi-kursi di tempatnya. Merapihkan karung-karung dan kinjar- keranjang untuk memetik kopi- menggantungnya agar besok siap untuk digunakan lagi.

Malam ini kami tidak akan menginap di pondok kebun. Jadi aku bersiap untuk pulang. Suami ku juga sudah selesai membereskan pondok.

Aku ke bilik mencari Mayla. Tadi dia ribut sekali saat aku sedang sibuk-sibuknya menangani pekerjaan. Betapa hiruk pikuknya keadaan siang tadi. Orang lalu lalang memikul biji-biji kopi basah, menimbangnya dan memindahkannya ke tempat lain. Sementara Mayla memaksa minta perhatian bertanya soal burung kenarinya yang sudah sekarat.

Hampir saja tubuh mungil Mayla tersenggol karung kopi yang dihempaskan pekerja ke timbangan jika aku tidak menyambar dan menyingkirkannya dari sana.

Saat masih kesal dan harus buru-buru mencatatkan hasil timbangan Mayla malah menyodorkan burung di tangannya ke wajahku. Menyesal tadi aku sempat menepiskan tangannya karena terkejut.

Aku sempat melihatnya terpana dan berbalik pergi. Menyelinap di antara kerumunan orang. Ku kira dia pergi ke bilik merawat burung kesayangannya, bermain dan tertidur.

Tapi dia tidak ada di bilik. Aku mencarinya ke sekitar pondok. Tidak ada. Aku pergi ke pondok tetangga. Disana biasanya dia main dengan Ardy, anak tetangga pondok kami.

Pondok Ardy lebih luas dan indah. Terbuat dari kayu hitam berkilat. Halamannya ditumbuhi rumput hijau yang terawat rapih. Ada gazebo di sudut halaman tempat biasanya Mayla dan Ardy bermain.

"Ada apa tante?" Ardy keluar dari pondok menyapaku.

"Apa Mayla main kemari?" tanyaku.

"Enggak, Te" Ardy menggeleng. "Dari siang tadi Mayla nggak main kesini. Memangnya kenapa Mayla?" 

Aku menangkap kegelisahan di mata Ardy. Dia menyayangi Mayla seperti adiknya sendiri. Menjaganya setiap kali mereka main bersama mencari kupu-kupu atau buah-buahan di kebun.

"Wah, kemana ya dia. Tadi tante kira dia tidur di bilik tapi nggak ada. Biasanya kan main kesini" kataku mulai khawatir.

Aku segera berpamitan pada Ardy untuk kembali mencari Mayla. Ardy ikut membantu mencari dan menghubungi orang-orang dan meminta mereka membantu.

Tiba-tiba suasana senja di dusun kecil di perkebunan itu yang tadi mulai hening kembali heboh gara-gara mencari Mayla. Masing-masing memberitahu kan apa yang mereka tahu. Apa yang mereka perkirakan kemana Mayla pergi.

"Terakhir aku melihatnya saat ibu menyingkirkannya dari dekat timbangan" kata salah satu pekerja.

"Aku melihatnya dipinggir jalan setapak. Tapi aku tidak tahu selanjutnya dia kemana" ujar yang lainnya.

Akhirnya kami sepakat menyebar mencari. Ada yang ke arah dusun menuju ke kampung di luar perkebunan karena berpikir siapa tahu Mayla menuju jalan pulang. Beberapa menyusuri jalan setapak menuju perkebunan. Sebagian lagi ke arah sungai. Karena Mayla suka bermain di sungai bersama Ardy.

Aku sangat gelisah dan cemas. Hari mulai gelap, bagaimana jika Mayla belum ditemukan. Bagaimana keadaannya. Dia tentu akan ketakutan. Oh, Tuhan...tolong jaga anakku. Aku mulai menangis membayangkan anak sekecil itu, sendirian, kedinginan dan ketakutan di suatu tempat entah dimana. Tanpa aku di sampingnya. Aku sangat menyesal sudah mengabaikannya tadi. Aku menangis memikirkan keadaan dan perasaan Mayla ku.

Aku mengikuti orang-orang yang mencari kearah jalan setapak menuju perkebunan. Karena beberapa dari mereka menemukan mainan Mayla yang tercecer bersama bangkai burung yang tadi dipegang Mayla. Dibeberapa tempat di jalan setapak itu terlihat daun-daun kopi dan buahnya berceceran berserak. Kami berpikir Mayla yang melakukan ini dengan marah. Kami menelusuri jejak ceceran daun dah buah kopi itu.

Kami berteriak bersahut-sahutan memanggil Mayla. Sementara kegelapan makin pekat. Suara serangga malam terdengar memekakkan telinga. Kilau senter bergerak kesana kemari menyinari sela-sela pohon dan daun kopi. Udara semakin dingin. 

Tiba-tiba seseorang berteriak dari sebelah lain.

"Kami menemukannya!!!"
Aku berlari kearah suara itu secepat kilat sampai menabrak-nabrak batang pisang atau tersebat ranting kopi. Aku tak perduli.

Kudapati Mayla duduk meringkuk di tumpukan daun kering bersandar di batang kopi, kedinginan, wajahnya pucat, matanya sembab menatap kosong. Aku memeluknya erat-erat sambil menangis. Menggendongnya dan membawanya pulang.

Para pencari mengiringi kami sambil berbisik-bisik mengatakan kemungkinan Mayla diculik hantu, karena melihat kondisi Mayla yang tetap diam, tatapannya kosong tanpa ekspresi.

                                                  *********************************

Pic by google

Selasa, 06 Juni 2017

DICULIK HANTU






berkali-kali diabaikan, kalau ditambah sekali lagi itu gak apa-apa. Sungguh gak apa-apa. Aku berbalik meninggalkan mereka pelan-pelan. Berjalan menunduk menyeret kantong mainan ku ditangan kiri dan seekor burung yang sekarat ditangan kanan.


#30HariMenulis - Day 6

Tak ada yang memperhatikan ku pergi. Tidak pula ada yang perduli airmata ku yang nyaris tumpah. Mereka masih sibuk menghitung hasil panen yang mereka petik hari ini. Begitu juga Bapak dan Ibu. Ibu bahkan sempat menepis tanganku saat kutunjukkan burung kenari ku yang sekarat. Aku butuh pendapat apa yang harus kulakukan dengannya. Alih-alih menjawab Ibu malah menyingkirkan tubuhku yang menghalangi timbangan.

Tubuhku yang mungil nyaris tak terlihat menyelinap diantara para kuli perkebunan dan keluar dari kerumunan.

Aku terus saja berjalan. Pelan seolah menghitung satu persatu langkahku dan berharap di langkah kesekian ada yang memanggilku dan meminta ku kembali. Tapi sampai jauh aku berjalan, sampai letih kaki ku melangkah, tak juga ada yang memanggil. 

Tak lagi menjadi 'tidak apa-apa' kemarahan dan kecewaku meledak. Ku tumpahkan pada daun-daun dan buah kopi di sepanjang jalan setapak yang kulalui dengan menjambak dan mencabik mereka lalu menghamburkannya ke jalanan.

Aku tidak menyadari kemana arahku berjalan. Yang kurasakan hanya aku berjalan di jalan setapak yang luruuuuus jauh dengan kiri kanannya pepohonan serupa pintu gerbang melengkung yang sedang merentangkan tangannya untuk memelukku.
Sementara bunyi Tonggeret terdengar seperti hymne yang mengiringi langkah seorang putri di balairung kerajaan.

Ketika aku tersadar, hari mulai gelap. Angin senja mulai merayapi tubuhku. Aku melihat sekeliling. Hanya hamparan pohon-pohon kopi berhias buah merah hijau berkilat. Beberapa bunga kopi berwarna putih masih terlihat menghiasi serupa mahkota cantik nan wangi. Aku tidak tau berada dimana.

Tiba-tiba saja aku tak dapat melihat jalan yang tadi kulalui. Aku bahkan tidak ingat kemana barang-barang yang tadi kubawa. Aku mulai gelisah. Berpikir untuk pulang. Tapi bagaimana? Aku menyusuri barisan pohon kopi berusaha tetap lurus satu ruas. Tapi tetap saja tak ada jalan setapak tadi. Aku mulai ketakutan. Dan menangis.

Gigitan nyamuk di kulitku tak lagi ku perdulikan. Pun nyamuk-nyamuk yang merubungi seluruh tubuhku. Dingin, gelap, sendiri. Betapa kecewanya aku. Tak ada yang perduli. Apa mereka tidak merasa kehilanganku? Umurku masih lima tahun, dan mereka tidak perduli anak lima tahun sudah masuk gerbang malam begini tidak ada di rumah. Aku sungguh kecewa dan terluka.

Aku berhenti menangis. Walau masih dicekam rasa takut yang luar biasa. Seolah kegelapan menjadi sosok raksasa yang mendekapku. Belum lagi bunyi-bunyi serangga malam yang mirip seperti orang sedang mengobrol hiruk pikuk. Aku duduk meringkuk bersandar di batang kopi.

Kedinginan, letih, ketakutan, kecewa, marah dan tak berdaya membuat tubuhku serasa tak bertulang. Aku mulai mendengar suara-suara aneh. Seperti suara lebah. Kilatan-kilatan cahaya dan suara-suara tapak kaki di daun kering.

"Maylaaa....."

"Maylaaaaaaa....."

Sayup-sayup kudengar namaku dipanggil. Aku diam saja. Aku tak mampu memutuskan harus menjawab atau diam saja. Akhirnya ya aku diam saja. Pikiranku terasa kosong.

"Aku menemukan mainannya di sekitar sini" ujar seseorang.

"Benar, daun-daun dan buah kopi yang berserakan seperti sengaja di hambur juga mengarah kesini" timpal yang lain. Sinar lampu senter terlihat menyorot kesana kemari.

"Maylaaaa...." itu suara Bapak.

"Maylaaaaa..." aku mengenali suara Ibu.

Mereka terus berteriak memanggilku. Semua orang memanggilku. Untuk apa? Kenapa tadi sore mereka tak perduli. Aku sedikit lega mereka akhirnya menemukanku meringkuk ketakutan ditumpukan daun kering bersandar di batang kopi. Dengan tubuh dingin, wajah pucat dan tatapan yang kosong. Kudengar mereka saling berbisik melihat kondisi ku yang demikian bahwa aku baru saja diculik hantu.


                                     ******************