Kamis, 08 Juni 2017

MAYLA, A SAD LONELY LIL GIRL INSIDE



#30HariMenulis - Day 8

Aku lagi melow, aku lagi sedih, kecewa, terluka, gak berdaya. Rasanya pengen nangis meraung-raung kayak srigala ketusuk duri sawit yang berbisa. Tapi gak bisa, aku kan manusia bukan srigala. Lagian aku terlalu manis untuk berlaku seperti itu.

Hati ku sakit, jiwa ku terluka, rasanya nyesek di dada, cenat-cenut di hati. Pengen curhat, pengen nangis di pangkuan seseorang. Tapi gak bisa. Kalau ketemu orang aku suka gak tahan pasti senyum atau diam tanpa ekspresi.

Rasanya pengen ngebut bawa motor. Gas abis sampe kecepatan paling tinggi di aspal item yang mulus, trus belokin sedikit stangnya mendadak, kejungkal dan braaaaaakkkkk!! Ngglosor diaspal, bedarah-darah, mati! Aduh, astaghfirullahaladziem...jangan donk!! Ntar gak ikutan lebaran. Lagian aku gak bisa bawa motor.

Jadi gimana donk?? Akhirnya aku cuma bisa duduk bengong di pojokan ranjang. Memeluk lutut, menatap kosong. Sendirian. Lemas. Perut kosong, bibir sama tenggorokan kering, soalnya lagi puasa.

Tuitt-tuiiiit...tuitt-tuiiiit.... Bunyi nada pesan, itu khusus nada dering yang ku setting buat Ardy. Aku sempat ngirain itu bunyi perut ku yang melilit keroncongan. Aku diem aja. Masih dengan pikiran dan tatapan kosong. Perut ku juga dink, kosong.

 *
***

Beberapa hari yang lalu secara gak sengaja aku ketemu dia. Aku sama perawat lagi di pasar cari mangga. Ada yang lagi motoin aku dari samping. Ih ya tu orang gak sopan, moto gak pake ijin. Dia kira bagus kali ya objek foto perempuan diatas kursi roda berkeliaran di pasar.

Pas aku noleh, dia nurunin kamera yang nutupin wajahnya. Mukanya terpana. Aku juga kaget banget. Lelaki tinggi yang kokoh itu, menghampiri ku dengan wajah bengongnya.

Makin dekat aku makin yakin itu siapa. Wajahnya keliatan jelas kaget campur gembira.

"Mayla?...Maylaaa?? Ini kamu Mae?" katanya setengah gak percaya.

Dia bersimpuh di kursi roda ku, memegang tangan ku, natap mata ku penuh rasa kangen. Aku diam aja. Wajah ku datar aja, tatapan ku juga kosong rasanya.

Tiba-tiba pasar yang rame itu terasa sepi dan mati. Rasanya cuma ada kami berdua. Perasaan ku campur aduk. Yang pasti dominan, aku ngrasa seneng, bahagia, ketemu sahabat kanak-kanak ku yang dulu tumbuh bersama. Yang dulu selalu jagain, ngelindungin, nyayangin dan menghibur ku.

Tapi aku udah terbiasa gak bisa ngungkapin perasaan. Aku selalu punya kesulitan nunjukin perasaan ku.

Aku masih diam aja saat Ardy ngambil alih kursi roda ku dari perawat. Mendorong pelan-pelan nganterin ku pulang kerumah.

Sampe rumah Ardy menggendong ku ke sofa jati ruang tamu. Aku nurut aja dengan lemah nyandarin kepala di dadanya. Duh, nyamannya. Ini Ardy-ku dulu, temen masa kanak-kanak dan kekasih saat remaja. Perawat ngambil alih kursi roda ku dan masuk ke dalam ninggalin kami berdua.

Di sofa itu Ardy gak langsung meletakkan ku tapi dia duduk sambil mangku memeluk tubuh ku yang terasa mungil dalam dekapannya. Diciuminya rambut ku sambil nangis terisak-isak. Aku masih diam aja. Tapi ada airmata ngalir di pipi ku. 

"Apa yang sudah terjadi sama kamu, Mae?..Ada apa? Kemana aja kamu selama ini ngilang tanpa berita?" tanyanya lembuuut banget sambil nangis. Pertanyaan yang gak menuntut jawaban. Persis seperti dulu saat aku hilang di perkebunan dan ditemukan dalam keadaan shock tanpa ekspresi.

Aku diam aja, sembunyiin wajah di dadanya. Dia dekap kepala ku. Dieratinnya pelukannya. Dia nangis, aku nangis, kami nangis bareng sampe capek.

Akhirnya diletakkannya aku berbaring di sofa. Dia bersimpuh di samping ku. Merapihkan rambut ku dan mengusapnya penuh kasih sayang. Aku nangis lagi terharu. Digenggamnya tangan ku, seolah mau ngeyakinkan semuanya akan baik-baik aja. Lagi-lagi persis sama seperti waktu itu. Dejavu.

Ardy bangkit ke belakang. Ngambil air hangat dan nyodorin ke aku sambil bantu aku bangkit untuk minum.

Lalu pergi ke belakang, sepertinya ngobrol sama perawat. Lama. Pas dia kembali langsung pamitan untuk pulang ke pondoknya di perkebunan.

Sejak hari itu kami jadi sering kontak. Kata Ardy, dia baru beberapa bulan kembali dari rantau. Menjauh dari kehidupan dunia modern, mengasingkan diri di perkebunan. Bahkan katanya dia baru beli hp setelah ketemu sama aku lagi. Soalnya jarak dari kampung ke perkebunan agak jauh dan dia jarang turun ke kampung. Dia melanggar konsep hidup barunya demi aku, pake hp.  Pelanggaran kedua setelah dia mulai lagi pakai kamera.

Banyak yang dia ceritain ke aku. Tentang konsep permakultur yang sedang dia terapkan di perkebunan. Tentang kegiatan edukasi penduduk dan kebiasaan larinya. Tentang khayalan-khayalannya ke depan. Dan tentang harapannya akan hubungan kami.

Aku juga sempat cerita tentang hidup ku. Keluarga ku yang berantakan gara-gara suami selingkuh dan memilih menikahi sekretarisnya. Tentang kenapa dulu aku pergi ninggalin dia tanpa pamit. Dan tentang kenapa akhirnya aku harus pake kursi roda.

Ketika sampai ke pertanyaan, apa aku pernah selama ini ngehayalin dia seperti dia ngehidupin aku dalam khayalannya, kujawab jujur, enggak. Karena merasa bersalah dan gak pantas buat dia, aku memilih menyimpannya rapih di ruang terindah hati ku dan setengah mati berusaha ku lupain, meski gagal. Bagiku, dia dan kenangan indah tentangnya terlalu sakral untuk ku utak-atik dalam sebuah khayalan. Dia kecewa, terluka dan gak terima atas jawaban ku. Baginya sungguh gak adil sementara dia selalu memikirkan ku tapi aku malah nglupain dia. Sementara dia menanam dan memupuk rasanya pada ku, membiarkannya terus tumbuh dan berbunga, aku malah mengubur dan membekukannya. Dia menyalahkan ku berulang-ulang.

Aku ketakutan liat reaksinya. Dia bilang kalau dia sayang banget sama aku, tapi juga jadi benci banget. Katanya aku adalah soulmate-nya tapi juga nightmare-nya.  Aku takut dia pergi ninggalin aku, mengabaikan ku. Ketakutan yang sama seperti saat aku sendirian nyasar di perkebunan, kedinginan dalam gelap dan dalam serangan rasa nggak diinginkan oleh siapa-siapa.

Aku kecewa, terluka sama kemarahan Ardy. Aku tahan. Aku terima. Sebagai wanita dewasa aku bisa maklum dan bersabar. Tapi Ardy lupa, there's a sad lonely litle girl inside me. Yang berusaha keluar dari diriku. Aku dikuasai trauma masa kecilku.

Seharusnya Ardy yang paling kenal aku saat kecil tau kalau aku punya trauma. Seharusnya dia yang paling bisa pahami aku.  Berhenti menyalahkan ku karena itu bikin aku ngrasa gak diinginkan. Itulah sebabnya aku bener-bener nangis habis-habisan di kamar sampe mata ku bengkak. Aku sampai takut kalau kebanyakan nangis ntar mataku jadi buta dan gak bisa mandangin foto Ardy lagi yang kujadiin wallpaper di hp ku.

Beberapa kali pesan dari Ardy masuk tetep aku gak bereaksi. Diam mandangin hp di tangan. Gak lama dia telpon. Bunyinya makin lama makin memekakkan telinga. Hp ku jatuh di pangkuan. Ku jatohin badan ku ke kasur. Meringkuk meluk lutut. Airmata mulai banjir ngebasahin kasur.

Aku mulai berpikir. Mengkaji ulang hubungan kami. Apa sebaiknya ku hentikan aja. Aku betul-betul gak sempurna buat dia. Dia hanya akan banyak terluka. Mungkin lebih baik aku menyingkir aja dari jalan hidupnya. Kembali mengurung diri dan menutup rapat hati ku. Lama aku mikir, dan nangisin apa yang sedang kupikirkan.

Pelan-pelan ku raih hp dan mulai mengetik.

"Kita gak lagi akan sering2 bicara. 

Aku gak akan menyela dalam kehidupan mu. 

Aku berharap kamu tetep semangat dan berbahagia seperti biasanya. 

Maaf atas semua kesalahan dan kekurangan ku. Maaf atas smua luka mu yang aku sebabkan.

Terimakasih atas seluruh cinta mu yang tercurah buat ku

Aku pamit untuk kembali ke gudang kosong yang gelap itu dan berharap utk gak pernah jatuh cinta lagi. Krn aku pengen kamu jd yg terakhir.

Kita akan saling mencintai dengan cara kita masing2. Dalam khayalan kita sendiri-sendiri."

Airmata ku jatoh berderai-derai saat ngbaca pesan yang ku buat. Berkali-kali kubaca dengan mata kabur karena kebasahan airmata. Lalu ku bulatkan hati ngirim pesan itu ke Ardy. Klik! Pesan terkirim.

Aku duduk di pojokan tempat tidur meringkuk memeluk lutut. Natap jauh entah kemana, tanpa ekspresi.

                                              **************************


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar