Jumat, 07 Juni 2019

TEMU KELUARGA BESAR HAJI ABDUL HAMID

Seperti tiga Hari Raya Idul Fitri sebelumnya, kali ini pada H+2 keluarga Abdul Hamid kembali berkumpul di Sawah Gunung Alip, Banjarsari, Talangpadang. Kegiatan ini telah disepakati bersama sebagai agenda tahunan anak cucu keturunan HAH, Haji Abdul Hamid.

Sejak pagi aku sudah bersiap mencari ikan untuk menu makan siang. Sementara Ayok Tuti dan Ayok Elti menyiapkan sayur asem dan sambal terasi sebagai pelengkap. 

Para Sak, ayok, adek, keponakan dan cucu sudah diberitahu untuk berkumpul melalui pesan di grup wa. Ada yang antusias, ada yang datar-datar saja, ada yang pamit tidak bisa hadir karena berhalangan mudik. Tahun ini memang beberapa keluarga ada yang tidak bisa hadir. Seperti Sak Iwan yang dapat giliran mudik ke kampung istri, Ayok Efi yang berlebaran di Bekasi, Sak Ismet, Meli, Iin dan Sak Bas yang juga yang dengan alasan masing-masing sangat menyesal tidak dapat berkumpul seperti biasa.

Namun ketidak hadiran beberapa anggota keluarga tidak mengurangi meriahnya suasana halal bi halal hari itu. Hiruk pikuk penuh canda tawa mengeratkan kembali tali rasa diantara kami. Hadir mewakili keturunan pertama, istri dari anak ketiga unggang (kakek) Abdul Hamid, satu-satunya yang masih ada yaitu Wak Waimunah. Ada cucu tertua yaitu Sak As'ad beserta istri, anak menantu dan cucu2nya.

Setelah makanan siap, tikar digelar dengan daun pisang sebagai tempat sajinya, bacakan kali ini dibuka dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Wak Waimunah. Alhamdulillah makanan cukup bahkan berlebih. Setelah makan dilanjutkan dengan bincang-bincang dan senda gurau. Yang paling seru ada di sesi  foto. Teriakan dan tawa memecah area persawahan yang baru masuk masa tanam.

Kenapa Sawah Gunung Alip ini yang dipilih sebagai tempat berkumpul? Menurut cerita cucu tertua, hal itu karena ada nilai historisnya, sawah ini adalah sawah pertama yang dibeli oleh Unggang saat pertama kali hijrah dari Kotabumi. 

Masih berdasarkan cerita cucu tertua, dulu Unggang tinggal di Kotabumi, sementara anak tertuanya, H. Toha, ayah dari cucu tertua, belajar mengaji di Waylima. Jarak yang ditempuh cukup jauh dari tempat tinggal unggang. Untuk mengantar beras sebagai stok perbekalan anaknya, unggang mau bersusah payah mengayuh sepeda karena jaman itu hanya itulah alat transportasi yang paling efektif. Jadi supaya tidak terlalu jauh akhirnya Unggang memutuskan pindah dari Kotabumi ke Talangpadang.

Unggang Abdul Hamid adalah orang yang buta huruf dan tidak bisa mengaji. Tak ada kesempatan belajar baginya karena di dusun beliau hanyalah anak yatim miskin yang pada saat itu perlakuan saudara-saudaranya kurang baik pada anak yatim miskin. Meskipun keluarganya kaya raya tidak ada bagian waris bagi anak yang ayahnya meninggal, bahkan jikapun ayahnya memiliki harta biasanya harta sang ayah akan dikuasai keluarga.

Sak Asad pernah berkunjung ke rumah saudara Unggang yang disebutnya sebagai Umeh Gendut, 

"Umeh,..aku ini cucunya Unggang Abdul Hamid" kata Sak memperkenalkan diri selayaknya orang menyambung tali silaturahmi yang lama terputus.

"Ooh, kamu cucung CekNu" ujarnya dengan nada sinis, hanya begitu saja reaksi Umeh Gendut. CekNu adalah nama kecil Unggang sebelum beliau menunaikan ibadah haji. Setelah mempersilahkan Sak Asad duduk Ia lalu masuk kedalam dan tidak keluar lagi sampai lebih dari dua jam. Sampai akhirnya Sak Asad berpamitan pulang.

Sak Asad benar-benar kecewa dan jadi tahu bahwa ternyata di kampung asalnya Unggang sangat tidak dihargai. Itulah sebabnya Unggang bertekad ingin merubah nasib anak keturunannya agar dihargai oleh orang lain. Caranya dengan berilmu dan berharta. Mengirim anak tertuanya belajar agama walau harus keluar kota, menyekolahkan anak keduanya hingga ke ibukota, membangun bisnis untuk anak ketiganya dan anak perempuan satu-satunya yaitu Mama ku mengelola sawah dan kebun yang satu persatu dikumpulkan Unggang.

Menurut Sak, di kampung asalnya ada tiga hal yang menjadi standar sukses untuk bisa terpandang dan dihargai. Pertama punya rumah, kedua bisa menikahkan anak dan ketiga naik haji.

Punya rumah artinya punya harta, bisa menikahkan anak berarti punya kekayaan lebih dan tersohor, karena jaman itu menggelar pesta pernikahan tidak lah murah dan naik haji maksudnya selain kaya raya juga berilmu agama yang baik.

Alhamdulillah berkat kegigihan dan perjuangan keras, Unggang dengan support dari Umeh Hajjah Arinam binti Zakaria berhasil memenuhi tiga standar sukses tersebut. Sak Asad mengingatkan kami semua untuk meneladani semangat juang Unggang dan Umeh. Menjadikan pendidikan sebagai prioritas bagi anak cucu kami, penerus Trah HAH, Haji Abdul Hamid. Dan segera menunaikan ibadah haji  jika telah mampu. Mungkin bisa ditambahkan satu lagi yaitu menyayangi anak yatim.

Matahari sudah menggelincir jatuh, satu persatu berpamitan pulang. Semoga bisa jumpa lagi dalam acara ini tahun depan. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar