Jumat, 28 September 2018
IBU
Sabtu, 27 Januari 2018
INGIN IKUT PULANG
Hari sudah sore ditandai makin ramainya suara tonggeret yang riuh menjerit menghiasi senja menyambut malam. Matahari sudah sejak tadi tergelincir. Gerimis kecil mulai menitik satu satu membasahi dedaunan.
Aku bergegas membereskan barang barang bawaanku dan beranjak dari pondok melalui sela sela batang kopi menuju tempat aku memarkirkan motorku. Tanpa sengaja mataku tertumbuk pada makam kecil tak jauh dari tempatku lewat ketika datang tadi. Aku tersenyum senang memandang makam itu dirawat dengan baik oleh penjaga kebun. Sepertinya baru saja dibersihkan. Tanahnya merah segar tanpa rumput.
Makam itu hanya ditandai dengan botol di sisi kepala dan kakinya. Tak tampak gundukan tanah sebagai ciri itu sebuah makam. Yang kuingat dulu Ayah pernah bilang itu adalah makam kakak sepupuku yang meninggal saat kanak-kanak. Aku lupa siapa namanya. Tapi ingat kalau dulu saat aku kecil sering bertengkar dengan kakakku yang sama-sama berebut mengakui bahwa foto kakak sepupu ini adalah foto kami. Foto anak perempuan kecil yang putih mungil dengan rambut kucir kelapanya yang lucu.
Setengah berlari aku melalui makam itu karena gerimis semakin lebat. Kunyalakan motor dan bergegas ke pondok tetangga untuk berteduh. Hujan ternyata tak lama. Aku pun segera pulang ke rumah karena khawatir kemalaman.
Baru beberapa ratus meter kukendarai motorku, aku sudah merasa kaki kiriku seperti lemas dan dingin. Kupikir karena kehujanan dan sempat lari-lari tadi. Kuabaikan saja rasa itu dan sibuk menyapa penduduk kampung yang kulalui.
Setelah melewati perkampungan aku merasa kaki kiriku sangat berat seperti diganduli beban. Wah jangan jangan kram nih, pikirku. Kucoba kebas kebaskan. Tapi sama sekali tidak mengurangi rasa berat itu. Aku melajukan motorku pelan karena khawatir terpeleset di jalan setapak yang agak becek karena hujan. Sementara rasa berat di kakiku makin terasa dan bulu kudukku sedikit meremang melalui jalanan yang kiri kanannya diapit perkebunan kopi serta mulai gelap dan sangat sepi.
Tiba-tiba seperti ada angin menepuk lengan atasku. Agak terkejut aku memperlambat laju motorku. Dan bertambah terkejut saat tanpa sengaja aku seolah melihat bayangan samar sesosok anak kecil bergelayut di kaki kiriku. Astaghfirullahaladziim..
Aku meyakinkan diriku kalau itu hanya halusinasi belaka dari pikiran negatif saja. Kuabaikan pikiran itu dan berusaha tetap tenang. Tak lama lagi setelah melalui jalanan berbatu ini aku akan sampai ke jalan raya dan perkampungan yang padat penduduk. Pasti tadi aku sedang terbawa suasana jalan setapak perkebunan yang sepi hingga melihat yang tidak-tidak, pikirku. Tapi aihhh, tak bisa kuhindari aku seolah sedang mendengar seseorang berkata padaku bahwa sesuatu atau seseorang menyukaiku dan ingin ikut pulang, suara itu menyarankan untuk membaca ayat kursi berulang ulang sepanjang jalan. Aku yakin itu suara hati kecilku. Aku menurut dan mulai membaca ayat kursi. Sesekali aku juga meminta pada sesuatu yang membuat kakiku terasa berat untuk melepaskan pegangannya di kakiku. Aku memohon Tuhan menjaga dan melindungiku.
Kira-kira dua ratus meter menjelang jalan raya, berat di kaki kiriku hilang begitu saja. Ringan rasanya. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Lega dan makin tenang. Tak lama, di depanku dari jauh kulihat seorang anak berlari riang lalu berdiri di pinggir jalan seperti sedang menungguku lewat. Tapi makin dekat dia terlihat makin jauh dari pinggir jalan setapak. Padahal dia tidak bergerak, hanya berdiri diam sedikit menundukkan wajahnya. Aku tidak terlalu perduli, kupikir itu pasti anak anak kampung karena sudah dekat perkampungan. Kulalui saja anak itu sambil melihat sekilas karena konsentrasiku tertuju pada jalan raya yang mulai terlihat.
Sekali lagi aku bernafas lega setelah berhasil keluar dari jalan setapak perkebunan yang sepi. Masih sekitar 8km lagi untuk tiba di rumahku. Tiba-tiba aku terkesiap, hatiku berdegub kencang, aku ingat anak kecil yang kulalui tadi. Aku tidak melihat jelas wajahnya. Tapi aku melihat rambutnya yang dikucir seperti pohon kelapa, dengan poni menutupi dahi. Uffhhh....
****************
#note : cerita ini hanya fiksi :D
Selasa, 23 Januari 2018
TULISAN DALAM SECANGKIR KOPI
Apa yang kamu harapkan dari pekatnya kopi hitam di hadapanmu?
Tak ada yang bisa kau lihat di sana selain pantulan samar wajahmu dan kepulan asapnya yang sebentar kemudian akan hilang. Karena hitam itu memang tak pernah menjanjikan apapun. Bahkan kadang aromanya terasa terlalu sengak.
Tapi entah kenapa selalu saja kopi hitam itu yang kau jadikan teman setiap waktu. Tak peduli meski lambungmu meronta dan berontak muak. Kopi hitam pahit itu saja yang menjadi teman baik saat senang maupun sedih mu. Dia yang tak pernah mendengus sinis saat kau bahagia dan tak pernah bertepuk tangan saat kau menangis.
Dia yang pahit dan tak pernah mengaku manis. Tetap jujur dengan pahitnya saat membuatmu merasa terinspirasi. Tetap setia dengan pahitnya menemanimu saat kau butuh ditemani. Ikhlas dengan pahitnya saat kau butuh tambahan semangat. Dan tak pernah ingkar dalam tumpukan ampasnya.
Dalam bekunya pagi, aromanya riang menyapa air seduhan yang bergolak. Menyoraki dan membakar semangatmu menjalani hari. Lagi lagi kopi hitam itu yang kau pilih menemanimu memilin awal jalinan hari. Hingga malam memeluk penatmu, ia pula yang menjadi muara kisah harimu tanpa kedustaan.
Apalah arti pekatnya secangkir kopi hitam di hadapanmu itu?
Pekat yang tak bisa kau tulisi dengan tinta putih. Tapi mampu menyerap semua rasa yang kau inginkan tertuang.
Dalam setiap sesapan kau kunyahkan kekesalan dan kemarahan. Dalam setiap tegukan kau kisahkan kegembiraan. Meski pada akhir ampas kau curahkan sepahnya.
Entahlah,...
Kamu sendiri tak pernah tau apa yang kau harap dari pekatnya. Kamu tak pernah meyakini apa artinya selama ini bagimu.
Benarlah,...
Rasai saja, nikmati saja.
Kopimu dalam harimu
*****************
Minggu, 21 Januari 2018
RESAH
Mungkin malam sudah mulai bosan
Ketika kutulisi kelamnya dengan sedu sedan
Bahkan gemintang mulai kesal
Karena kugeser tempatnya dengan coretan
Dan telaga sunyi mengelak
Saat terlalu banyak airmata buncah
Kutuangkan didalamnya dengan bergolak
Pada rindu yang tak pernah sudah
Bisa kukumpulkan beribu teman
Hanya dengan sepercik senyuman
Lalu kepada siapa akan bertuan
Hati sunyi yang selalu berderai airmata
Berkawan secangkir kopi hitam
Kuluruhkan kesah di hati yang basah
Sementara embun malam tergelak
Pada kelu yang belenggu lidah
Dalam mimpimu aku ingin menari
Sembari menangis merobek jiwa
Kuleburkan seluruh isi hati
Berpeluk dalam janji yang tak pasti
******************
Rabu, 17 Januari 2018
MENUNGGU LIAR
#30HariMenulis
Day 8 - 07-06-2016
Menulis FIKSI, dimulai dengan kalimat "Ternyata ia belum mati ..."
Ternyata Ia belum mati..berdenyut liar di bawah sana, menunggu lengah mereka. Menyeringai licik seraya bergerak perlahan dan menghimpun kekuatan. Membiarkan orang-orang itu membusungkan dada dengan bangga dan berkata kalau mereka sudah terbebas. Dan membawa pulang tubuh letih mereka yang seharian tanpa henti membantu pemadaman.
"kenapa tak kau sudahi saja semua ini?" saudaranya si biru lembut dan bersahabat pernah menanyakan perihal kegigihannya bertahan.
"Ini di luar kendali ku..mereka yang memulai menugaskan aku menciptakan petaka ini" tukasnya
"di dukung oleh dosa-dosa sebagian dari mereka sendiri aku bisa bertahan meski untuk sementara bersembunyi dulu di sini".
"Lalu akan sampai kapan?"
"Nanti..sampai nanti jika langit menangis membasahi lahan-lahan gambut itu dan menenangkan jiwaku" jawabnya ketus.
"Aku heran, bagaimana kau bisa bertahan seperti itu?" si biru lembut bertanya lagi. Si Merah mendengus.
"Kau tahu, kedalaman lapisan gambut di area ini bisa mencapai 10--20m, aku masih dapat bersembunyi sampai di kedalaman 5 meter, meskipun di permukaan tanah terlihat sudah tidak ada, tapi aku bisa tetap menjalar di bawah tanah dan nanti akan muncul lagi ke permukaan".
"Bagaimana kau bisa setega itu?" pekik si biru
"Aku?? Tega???" si merah meraung marah.
"Dengar ya saudaraku, Berhentilah menyalahkan ku. Aku sama saja sepertimu. Mulanya aku juga teman mereka, aku hanya membantu mereka. Tapi merekalah yang akhirnya membuatku jadi musuh mereka"
Si Biru terdiam. Benar yang dikatakan saudaranya, si Merah. Mereka bersahabat ketika kecil tapi jika besar dan tak terkendali, mereka bisa menjadi musuh.
Ketika musibah tahunan kabut asap yang terjadi di Riau berulang dan korban berjatuhan, mereka lah yang disalahkan dan dimaki. Dikejar, dihalau dan disemprot. Sampai mereka kucar-kacir, sebagian padam dan beberapa sembunyi di kedalaman lahan gambut, lalu kembali menyala, menjalar dan membakar tanah gambut yang sengaja dikeringkan oleh manusia itu sendiri demi memuaskan kerakusan mereka membuka lahan dan merusak ekosistem. Lalu menghasilkan kabut asap yang membuat heboh negara ini. Tidak hanya negara ini tapi juga negara tetangga yang terkena dampak kabut asap.
Langit Riau tertutup. Penyakit ISPA menelan puluhan ribu jiwa. Maskapai penerbangan tidak beroperasi. Jarak pandang terbatas. Sekolah -sekolah terpaksa diliburkan. Belum lagi banyaknya kegiatan ekonomi masyarakat yang terhambat.
Orang-orang diturunkan ke lahan yang terbakar untuk membantu pemadaman. Tapi saudaraku yang sudah bertebaran menempati banyak titik tak semudah itu dihabisi. Mereka butuh menggali dan memadamkan saudara-saudaraku dengan menyemprotkan air di kedalaman sampai 5 meter. Dan itu sungguh tidak mudah. Selain butuh alat dan air dalam jumlah banyak juga butuh tenaga yang tidak sedikit.
Pun jika manusia-manusia itu melakukan pemadaman dengan mengalirkan air agar membasahi lahan gambut itu sungguh sulit jika lahan tersebut tidak dekat dengan aliran sungai yang memiliki debit air yang besar.
Akhirnya kabut asap yang ditimbulkan oleh gerakan bawah tanahnya saudara-saudaraku Sang Jago Merah bertahan hingga berbulan-bulan. Dan orang-orang memaki kami sebagai biang keladi. Mereka berandai-andai punya avatar pengendali api atau pengendali air agar bisa menurunkan hujan lokal sederas-derasnya agar api di dalam lahan gambut mereka benar-benar habis padam.
Jika panas tidak selama dan seterik sekarang, jika lahan-lahan gambut itu tidak dikeringkan, jika manusia tidak serakah mencari jalan mudah dengan membakar lahan, jika saja musim penghujan segera tiba mungkin derita kabut asap di langit Riau tak akan sebegitu lama. Dan saudara ku si jago merah akan berhenti membuat asap dimana-mana.
Malam merambat gelisah. Sisa-sisa pembakaran masih mengepul dimana-mana. Menutup langit, bahkan embun malam tak leluasa menitik ke bumi terhalang asap yang membentangi alam. Di sebuah lahan gambut yang siang tadi ramai didatangi sukarelawan pengendali kebakaran, setitik cahaya perlahan merambat liar, menari bersama angin malam. Mendesah, meliuk dengan seksi menjulurkan lidahnya menelusuri sekujur tubuh alam, dan lalu bayang putih membumbung tinggi ke udara..kabut asap....
*************
[repost from qberitakan by amimustafa]
ARA
Kembali dari perangku meski tanpa bentuk
Jika belum tiba waktu janji
Biar setan belang hantu belau
Tak bisa memaksa meragah sukmaku
Lalu apa lagi yang d takutkan
Tidak dia, mereka, juga kau!!
Tak peduli yang tersirat dan tersurat
Tak peduli coreng moreng yang tergurat
Apa lagi yang ditakutkan
Jika bahkan maut enggan mendekap
Belajar dari serumpun ilalang
Yang tercerabut tapi kembali tumbuh esok pagi
Bahkan sebatang kayu ara sanggup tumbuh di sela bebatuan padas
[repost my fb-note]
Senin, 15 Januari 2018
MAKAN SIANG TERAKHIR (repost)
Jumat, 05 Januari 2018
BAHAGIA SENYAP DI DADAMU
Kamis, 04 Januari 2018
MEMBELI SENYUM
Ibu, maukah kau membeli senyumku?
Tentu nak, berapa harga yang harus ibu bayar?
Sangat mahal bu, tapi sangat mudah
Katakan nak
Ikutlah denganku, temani aku
Nak, tentu kau tahu itu sangat sulit
Sulitkah ketika ibu menemani teman ibu?
Nak...
Ini aku bu, anakmu, yang meminta
Tapi nak..
Pernahkah ibu mengatakan tapi pada mereka?
Kau tau situasinya berbeda
Lalu, terlalu mahalkah permintaanku, bu?
Aku bahkan pernah mempertaruhkan
nyawaku untukmu nak
Lalu terlalu serakahkah aku jika hanya meminta d temani seperti dulu bu
Nak, cobalah mengerti
Aku mengerti saat ibu menghabiskan waktu bersama mereka
Tapi ibu selalu ada kapan saja kau ingin
Itulah sebabny sekarang aku ingin sekarang ibu bersamaku
Nak, saat ini..
Bu..aku lebih suka saat kita d tempat yang dulu, dimana kita bisa bersenang-senang bersama
Bukankah saat ini kita selalu bersama?
Hanya satu atap, dan itu berbeda
Anakku, kau sangat tau betapa ibu menyayangimu
Maka itu, kali ini saja, marilah bersamaku
Nak,...
Jangan membuatku menyesal telah datang kesini
Ah, nak... ya sudahlah..mari ibu temani
Ibu, tutuplah matamu, jangan lihat yang lain, lihat aku saja
Baiklah nak
Percayalah aku tak kan meminta lebih
Sungguhkah?
Iya bu, hanya temani aku, bukan yang ibu tak bisa melakukannya
ARAK TANGISAN
Kuteguk lagi arak bercampur debu
Dari botol yang tersimpan di lantai batu
Aromanya bau membuat haru
Menguras airmata yang hampir beku
Ijinkan raungan naga itu
Biar hanguskan sejuta ragu
Yang erat cengkram membelenggu
Pada cinta yang sungguh semu
Percayalah perempuanku
Hanya kau saja yang bisa usap airmata itu
Karena tak ada yang sungguh tahu
Bagaimana caranya memeluk sendu mu
Percayalah perempuanku
Bahkan aku tak bisa tahu
Bagaimana mengusap airmata mu
Yang ku bisa hanya sediakan bahu
Biarkan api naga membakar dada mu
Hingga keluar senyum itu walau sendu
Jangan merusak pesta dengan kelu mu
Telan saja hingga mual lambung mu
Teguklah sedikit arak rindu ini buatmu
Akan kubagi kau usah ragu
Tuangkan airmatamu
Agar jangan ia beku dalam kalbu mu
Menangislah hingga penuh kotakmu
Agar kau hadir senyum dan tawa mu
Simpan sendiri dan jangan lagi tergugu
Karena yang mengerti hanya dirimu bahkan bukan aku